Translate

Monday, March 27, 2017

PERUNDINGAN-PERUNDINGAN MENJELANG HOGE VELUWE (BAGIAN 1)

Suasana memanas. Pendaratan tentara Sekutu dicurigai membawa pasukan-pasukan NICA Belanda, sehingga mengakibatkan pertempuran antara lain di Semarang dan Surabaya. Akhirnya pertemuan Indonesia-Belanda diselenggarakan di Jakarta bertempat di paviliun kediaman Letnan Jenderal Christison, tanggal 23 Oktober 1945.

Semula, Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Indonesia. Karena paksaan Inggris, serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja perundingan. Di sini mulai tampak peranan diplomasi perjuangan Indonesia.

Dr. H.J. Van Mook menyatakan :
"In de wereld van die dagen had nu eenmaal de sensationele stichting van de republiek een groot aantal reacties te hare gunste opgewekt.. Daarom heb ik ook toen geemeend zulk een eerste contact niet te moeten weigeren" (...pada waktu itu pembentukan republik yang begitu sensasional telah menimbulkan berbagai reaksi dukungan dunia. Atas alasan ini maka saya berpendapat bahwa kontak pertama dengan pihak republik tidak dapat diabaikan).

Ini merupakan kemenangan pertama bagi diplomasi perjuangan Indonesia. Pertemuan tersebut di atas merupakan penjajakan informal (tidak resmi) terhadap posisi masing-masing. Perlu diingat pada saat itu masing-masing negara mengajukan posisi secara maksimal.

Presiden Soekarno hadir pada pembukaan pertemuan. Di Negeri Belanda hal ini menimbulkan berbagai kecaman terhadap Van Mook. Sementara itu kecaman di dalam negeri muncul pula karena pertemuan pertama itu berlangsung secara akrab sehingga kalangan "Persatoen Perdjoeangan" menuduh sebagai pertemuan antek Belanda. Menurut Van Mook pertemuan pertama itu diliputi suasana "sfeer van gemoedelijkheid en oude relatie" (suasana akrab antar sahabat lama).

Sebagai penengah, dipandang dari posisi Letnan Jenderal Christison, manuver diplomasi Inggris dapat disamakan dengan diplomasi modern confidence building measures. Suasana akrab dan bersahabat ini dapat dipertahankan oleh Soetan Sjahrir dan Van Mook sampai akhir perundingan Hoge Veluwe. Kendati berada ditengah hangatnya konflik senjata serta kecaman di kubu Indonesia dan Belanda.

Pertemuan pertama yang berlangsung akrab ini, tetap tidak menjembati posisi delegasi Indonesia yang menginginkan pengakuan secara penuh, yang meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda, sesuai pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (hak penentuan nasib sendiri Indonesia, tetapi tetap dalam lingkungan Gemeenebest Kerajaan Belanda), sesuai posisi yang ditawarkan Belanda.

Antara perundingan pertama dan kedua yang berlangsung di Jakarta tanggal 10 Februari 1946, terjadi berbagai gejolak yang meningkatkan suhu konflik bersenjata, sehingga pemerintahan terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta.

Terjadi konflik politis di dalam kubu Indonesia dan Belanda yang pada hakikatnya tepat memberikan peranan di meja perundingan melalui diplomasi Soetan Sjahrir dan Van Mook. Peranan Inggris sebagai penengah diserahkan kepada diplomat profesional, Sir Archibald Clark Kerr, Duta Besar Inggris di Moskow. Kehadiran diplomat profesional Inggris itu merupakan hasil persetujuan Inggris-Belanda di Chequers (peristirahatan PM Inggris Attlee), tanggal 25 Desember 1945, sebagai upaya mengatasi deadlock pada pertemuan pertama.

Kelanjutan perundingan Indonesia-Belanda serta peranan penengah Inggris, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tekanan dari Partai Buruh Inggris yang sedang berkuasa dan pihak Amerika Serikat turut berpengaruh. Tampilnya diplomat profesional Inggris sebagai penengah kemungkinan besar karena pihak militer Inggris selaku pemrakarsa perundingan terpengaruh suara-suara negatif, sebagai akibat terbunuhnya Brigadi Mallaby. Seperti diketahui, Mallaby (Jenderal Inggris) terbunuh dalam pertempuran Surabaya. Hingga kini tidak diketahui siapa pembunuh Jenderal Mallaby.

Perundingan kedua berlangsung secara informal dan akrab. Dalam rangka confidence building measures peranan utamt masih tetap dilakukan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Van Mook. Van Mook telah melakukan konsultasi ke Den Haag dan kembali membawa usul-usul kompromi baru.

Usul kompromi Belanda pada intinya adalah masih mempertahankan konsep Gemeenebest, namun di atas persamaan kedudukasn dan penentuan nasib sendiri, setelah masa transisi sepuluh tahun. Diusulkan pula tata cara konsultasi dan arbitrasi penentuan hubungan selanjutnya antara Indonesia-Belanda. Untuk mengatasi kecurigaan pihak Republik Indonesia, Belanda dalam penjelasan tambahan tanggal 22 Februari 1946 menawarkan konsep federasi. Delegasi Indonesia tidak menerima begitu saja, tetapi berjanji akan mempelajari usul-usul tersebut setelah konsultasi dengan Pemerintah Republik Indonesia, KNIP.

. . . bersambung

MANUVER DIPLOMASI INDONESIA, BELANDA DAN INGGRIS MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE

Situasi dan kondisi pada masa menjelang perundingan Hoge Veluwe, Indonesia, Belanda dan Inggris saling bertentangan. Selain itu, kecurigaan intern yang tertanam di kubu pejuang Indonesia dan di dalam kubu Belanda, menjadi kendala yang sering kali menghambat manuver diplomasi. Ini sangat mempengaruhi efektivitas diplomasi dalam menyelesaikan persengketaan secara tepat, tuntas dan cepat.

Meskipun perbedaan selalu timbul, terdapat persamaan pendapat khususnya pihak-pihak yang memilih prioritas melaui jalur diplomasi, baik Indonesia, Belanda dan Inggris. Mereka berupaya agar dapat segera melakukan penyelesaian secara diplomasi untuk menghindari pertumpahan darah yang berkepanjangan dan menelan korban nyawa serta materi.

Terjadi a race against time (berlomba dengan waktu) karena unsur-unsur dari kedua pihak mengecam cara-cara diplomasi. Mereka beranggapan jalur diplomasi sebagai pengkhianatan belaka. Setiap konsesi dan kompromi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara memuaskan, akan dijadikan senjata untuk membuktikan kesalahan penyelesaian melalui diplomasi. Ini memperkuat keinginan untuk menyelesaikan persengketaan di medan perang.

Pada posisi seperti terungkap di atas, para diplomat Indonesia dan Belanda sibuk menguras otak dan ketrampilan bersilat lidah berhadapan di meja perundingan, serta harus gigih menghadapi pihak yang menentang jalur diplomasi di negara masing-masing.

Diplomasi Inggris saat itu harus diakui sebagai faktor penekan yang efektif. Inggris memaksa kedua pihak yang bersengketa untuk selalui kembali ke meja perundingan, walau berulang kali mengalami jalan buntu. Ditinjau dari kepentingan strategi dan manuver diplomasi perjuangan Republik Indonesia, tekanan Inggris sangat menguntungkan. Antara lain, untuk mempercepat posisi Indonesia segera memperoleh pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Republik Indonesia. Selain itu untuk memenangkan waktu dalam melakukan konsolidasi kekuatan di dalam negeri (angkatan perang, aparatur pemerintah, dan lain-lain).

Peranan Inggris sebagai penengah, langsung atau tidak langsung merupakan faktor pendukung yang positif dalam diplomasi perjuangan Indonesia. Di dalam bukunya Van Mook menulis :

". . . Voorts bleek duidelijk, dat de Britten alles wilden vermijden hetgeen hen in strijd zou kunnen brengen met de republikeinen. . . " (jelas bahwa pihak Inggris ingin menghindari permusuhan dengan pihak pejuang Republik Indonesia).

MOTIVASI DIPLOMASI INGGRIS

Berlainan dengan Indonesia-Belanda, diplomasi Inggris harus mengharapi front dari dalam dan luar. Baik dari kalangan politisi Inggris, khususnya partai buruh yang sedang berkuasa, maupun kalangan angkatan bersenjata yang bertugas di Indonesia. Jawa yang ingin secepatnya keluar dari jeratan tugas mengembalikan tawanan perang Sekutu dan tentera Jepanga dari kantong-kantong Jawa.

Untuk ini diperlukan kondisi mantap. Inggris juga melihat kenyataan secara de facto pemerintah Indonesia telah berkuasa. Kendati mendapat tentangan keras dari Belanda, namun prakarsa pertama diplomasi Inggris sebagai penengah adalah mempertemukan kedua pihak di meja perundingan. Ini merupakan gagasan dari kalangan Angkatan Bersenjata Inggris yang diprakarsai Letnan Jenderal Christison. Hal ini menarik Indonesia dan Belanda, karena angkatan bersenjata masing-masing kurang mendukung penyelesaian persengketaan melalui jalur diplomasi.

Pada tahap selanjutnya hingga masa perundingan Hoge Veluwe, dan setelahnya prakarsa Letnan Jenderal Christison kemudian dilanjutkan para diplomat profesional Inggris seperti, Archibald Clark Kerr (kemudian bergelar Lord Inverchapel).

Secara garis besar dapat diuraikan motivasi diplomasi Inggris yang bersedia menjadi penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari pertemuan pertama pada 23 Oktober 1945 di Jakarta hingga penandatanganan Perjanjian Linggajati tanggal 25 Maret 1947, adalah sebagai berikut :
  1. Tidak menghendaki adanya pergolakan di wilayah Asia karena akan mempengaruhi wilayah dan sekitarnya.
  2. Pergolakan yang berlarut-larut akan mengundang turut campurnya tangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu anggota permanennya Uni Soviet yang berambisi menanamkan pengaruh di Asia Tenggara
Selain itu, Partai Buruh Inggris sangat menaruh simpati pada perjuangan Republik Indonesia.

Sunday, March 26, 2017

MOTIVASI DIPLOMASI BELANDA MENGEMBALIKAN HINDIA-BELANDA DALAM BENTUK BARU

Motivasi diplomasi Belanda dengan tujuan mengembalikan Hindia-Belanda dalam bentuk baru, sesuai dengan situasi dan kondisi dekolonisasi yang berlangsung setelah Perang Dunia II, adalah berdasarkan pidato Ratu Belanda Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (ada yang menyebutkan 7 Desember 1942 sesuai dengan nama Divisi Belanda yang dikirim ke Indonesia), demikian pula pernyataan pemerintah Belanda tertanggal 6 November 1945 menjabarkan dengan dasar pidato Ratu Wilhelmina tersebut.

Konsepsi perundingan yang kemudian diajukan Belanda tanggal 10 Februari 1946 pada hakikatnya merupakan ulangan dari yang pernah dinyatakan  tanggal 7 Desember 1942 dan 6 November 1945, baik oleh Ratu Wilhelmina maupun pemerintah Belanda.

Secara garis besar isi ketiga dokumen penting yang memberi motivasi Belanda yang mungkin merupakan perjuangan mereka pula, adalah sebagai berikut :
  1. Indonesia akan dijadikan negara Gemeenebest (anggota persemakmuran) berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri (self government) di dalam lingkungan Kerajaan Belanda (termasuk Suriname dan Curacao).
  2. Masalah dalam negeri diurus oleh Indoensia sedang urusan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda.
  3. Sebelum membentuk Gemeenebest akan diadakan suatu pemerintah peralihan selama 10 tahun.
  4. Indonesia akan dijadikan anggota PBB.
Apabila Indonesia memiliki tokoh trio selaku pelaksana utama diplomasi perjuangan (Soekarno-Hatta-Sjahrir), maka Belanda di dalam pelaksanaan diplomasi (terutama menjelang perundingan Hoge Veluwe), Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dr.H.J. Van Mook adalah satu-satunya yang tampak menonjol, sehingga terkesan sebagai one man show. Hal ini menimbulkan berbagai kecaman di negeri Belanda, terutama dari golongan ekstremis kolonialis Belanda yang tergabung dalam Indie in Nood (Hindia-Belanda dalam malapetaka).

Seperti yang terjadi di Indonesia, masyarakat di Belanda yang mendukung cara Dr. H.J. Van Mook melalui penyelesaian diplomasi harus menghadapi dua front.

Front pertama, pihak Republik Indonesia dengan jalur diplomasi. Termasuk bekas negara Sekutu yakni Amerika Serikat, dan Inggris yang harus diyakinkan terhadap niat Belanda menyesuaikan diri dengan dekolonisasi setelah Perang Dunia II.

Front kedua, di pihak Belanda selain dari golongan kolonialis juga golongan gereja.Terutama partai Katholik dan pihak militer yang menganggap penyelesaian melalui pertempuran bersenjata jauh lebih efektif. Lebih jauh karena angkatan perang Indonesia masih usia muda dan belum dapat melakukan konsolidasi. Mereka menilai pendekatan diplomasi sangat lamban, kompromisits dan merendahkan martabat bangsa Belanda. Khususnya menghadapi Republik Indonesia "buatan" Jepang yang berada di bawah kekuasaan kaum ekstrimis fanatik yang tidak dapat berpikir secara rasional.

Situasi di Belanda mencapai puncaknya ketika berlangsung kampanye pers secara besar-besaran mendiskreditkan Van Mook. Dia hampir dipecat. Alasan bahwa golongan moderat di Indonesia Soekarno-Hatta-Sjahrir adalah kelompok yang masih dapat diajak berunding atau berdiplomasi, ditolak. Melalui intervensi pribadi Ratu Wilhelmina maka keadaan pun dapat diatasi. Ratu berpendapat tidak selayaknya mengganti seorang panglima yang tengah bertugas di medan perang. Demikian ungkapan mantan Menteri Luar Negeri, Ide Anak Agung Gde Agung.

Khusus pada masa perundingan Indonesia-Belanda menjelang Hoge Veluwe, sebagian besar manuver diplomasi Belanda merupakan prakarsa Van Mook. Dia melakukan konsultasi yang erat dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dengan dukungan Soekarno-Hatta. Selain itu Inggris memberikan tekanan secara terus menerus.

Prakarsa Van Mook dan Soetan Sjahrir melalui Hoge Veluwe gagal. Kegagalan itu membawa dampak negatif bagi kedua tokoh tersebut serta memperkuat keyakinan para penentang diplomasi di Belanda maupun Indonesia, bahwa penyelesaian melalui jalur diplomasi hanya membuang waktu.

Kedua tokoh pelaku diplomasi Indonesia dan Belanda ini patut dicatat sebagai diplomat yang berpenampilan tenang dan tegar di dalam menjalankan misi masing-masing negara. Kendati menghadapi tantangan dari dalam maupun luar yang berat, mereka tetap bertahan.

Hubungan Van Mook dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir sangat menarik. Seolah-olah terjadi hubungan pribadi yang akrab, sehingga selama perundingan diplomasi berlangsung mampu mampu menjembatani perbedaan antara delegasi Indonesia dan Belanda. Baik pada masa menjelang perundingan Hoge Veluwe maupun setelahnya.

Di dalam buku "Indonesie, Nederland en de Wereld" Van Mook menyatakan sejak pertemuan pertama dengan Soetan Sjahrir, dia secara pribadi telah tertarik dan menilai Soetan Sjahrir seorang yang memiliki "krachtige en aantrekkelijke persoonlijkheid" (berkepribadian kuat dan menarik).

Apakah Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga memiliki penilaian yang sama terhadap Van Mook, hingga hari ini tidak pernah terungkap. Namun yang jelas, hubungan pribadi kedua tokoh diplomasi ini langsung atau tidak telah mampu mengatasi berbagai jalan buntu selama perundingan.

PERMULAAN DIPLOMASI MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Selain itu ABRI berhasil menegakkan kewibawaan negara terhadap berbagai pergolakan di daerah, percobaan kudeta dan pemberontakkan. ABRI telah memprakarsai dan mendorong pembangunan berencana serta memberi dukungan penuh dalam meletakkan landasan yang kukuh bagi bangsa Indonesia memasuki tahap tinggal landas.
Apabila hal ini dikaitkan dengan amanat Jenderal Urip Sumohardjo pada saat pelantikannya, "tentara kami adalah 70 juta (seluruh) rakyat Indonesia", maka prioritas diplomasi pada perang kemerdekaan itu adalah diplomasi perjuangan. Suatu sifat diplomasi Indonesia yang beberapa puluh tahun kemudian dirumuskan secara lebih terperinci oleh Presiden Soeharto, tanggal 12 September 1978.

Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Veluwe muncul berbagai dilema. Suatu dilema yang harus dihadapi para diplomat Indonesia maupun Belanda adalah tekanan langsung dan tidak langsung dari kaum politisi di negeri masing-masing. Tekanan itu datang dari golongan pendukung perundingan dan golongan yang ingin menuntaskan penyelesaian secepatnya di medan pertempuran.

Inggris selaku penengah di dalam perundingan antara Indonesia-Belanda tidak luput dari dilema. Inggris yang turut terlibat dalam persengketaan kedua negara itu menyimpan keinginan mendukung Belanda. Karena Belanda adalah teman seiring dalam Blok Negara Sekutu Perang Dunia II. Namun di lain pihak Inggris ingin segera keluar dari jeratan persengketaan serta secepatnya mengupayakan proses perundingan Indonesia-Belanda agar berhasil.

Faktor penting yang turut mempengaruhi adalah proses dekolonialisasi yang sedang melanda jajahan Inggris pada saat itu, yakni India dan Burma. Pada waktu itu Inggris tidak mungkin memberikan prioritas untuk melakukan penyelesaian melalui perang senjata karena sebagian besar tentaranya terdiri dari pasukan-pasukan India, dan pasukan ini dalam keadaan lelah berperang. Selain itu didesak oleh para penguasa India untuk segera kembali.

Latar belakang di atas turut berpengaruh terhadap motivasi yang menggerakkan berbagai manuver para diplomat Indonesia, Belanda dan Inggris. Terutama pada saat-saat menjelang perundingan Hoge Veluwe.

Kelompok nasionalis pejuang pendukung taktik dan strategi diplomasi perjuangan yang diprakarsai tokoh trio Soekarno-Hatta-Sjahrir terpaksa harus menghadapi dua front.

Front pertama, adalah Belanda yang masih harus diyakinkan tentang kesanggupan Republik Indonesia menjadi negara yang sungguh-sungguh merdeka. Bukan suatu negara "buatan" Jepang. Diplomasi perjuangan itu berlandaskan isi Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 maupun makna keputusan Badan Pekerja KNIP tanggal 17 Oktober 1945 serta Maklumat Politik Republik Indonesia 1 November 1945.

Pada hakikatnya diplomasi perjuangan, terpaksa menempuh jalan berliku-liku. Dituntut kesabaran yang tinggi untuk mencapai pengakuan eksistensi Republik Indonesia. Tidak saja oleh Belanda tetapi juga oleh masyarakat dunia, terutama yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Front kedua, unsur-unsur revolusioner di dalam negeri yang tergabung dalam Persatoean Perdjoeangan pimpinan Tan Malaka yang ingin lebih tegas menghadapi Belanda. Mereka menguras seluruh ketekunan rasional, kepala dingin dan kesabaran para pendukung diplomasi perjuangan pimpinan Soekarno-Hatta-Sjahrir.

Unsur-unsur dalam negeri tersebut selalu menganggap diplomasi perjuangan yang dilakukan Soekarno-Hatta-Sjahrir sangat lambat dan terlalu kompromistis. Mereka menganggap jalur diplomasi tidak menjamin tercapainya sasaran kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Ucapan bernada keras dari unsur-unsur revolusioner terhadap kelompok pelaku diplomasi perjuangan, hampir memecah persatuan kubu perjuangan Republik Indonesia. Bahkan hampir menggagalkan proses perundingan diplomasi perjuangan yang tengah berlangsung. Ucapan itu sesungguhnya ditujukan kepada Soekarno-Hatta sebagai "kolaborator Jepang" dan kepada Soetan Sjahrir dan kawan-kawan sebagai "antek Belanda"/

Upaya-upaya menggagalkan diplomasi perjuangan juga dilancarkan oleh "front pertama", khususnya Belanda yang ingin memanfaatkan pertentangan antar kelompok pendukung diplomasi perjuangan. Taktik devide et impera dilakukan antara lain dengan memberi nama kelompok "moderat" bagi para pendukung diplomasi perjuangan dan kelompok "ekstrimis" yang bukan pendukung.

Kelompok moderat, menurut Van Mook lebih mudah didekati. Kenyatan ini memberikan bukti bagi para pejuang yang kurang setuju dengan jalur diplomasi perjuangan. Serta memperkuat tuduhan bahwa Soetan Sjahrir dan kawan-kawan adalah antek Belanda yang selalu bersedia memberi konsesi atau secara kasar diungkapkan "menjual bangsa dan negara".

Kontroversi ini tidak hanya berkecamuk di pihak Republik Indonesia, tetapi juga di kubu Belanda.

SELESAI.

PERMULAAN DIPLOMASI MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE (BAGIAN 1)

Menjelang perundingan Hoge Veluwe di Negeri Belanda, dalam rangka melakukan langkah penyeleesaian persengketaan antara Indonesia-Belanda. Maka di Jakarta berlangsung perundingan babak pertama antara pihak Indonesia-Belanda dari tanggal 23 Oktober 1945 hingga 31 Maret 1946. Tatkala itu merupakan saat-saat Indonesia sedang melangkah menanam benih-benih politik luar negeri. Khususnya dalam rangka melaksanakan diplomasi perjuangan, ditengah kancah peperangan.

Dalam rangka menghadapi kolonialisme Belanda, muncul perbedaan pendapat di antara masing-masing kubu di dalam negeri. Kubu yang memilih penyelesaian sengketa dengan Belanda melalui perjuangan bersenjata dan kubu yang memilih penyelesaian melalui jalur diplomasi. Perdebatan perbedaan pendapat antara dua kubu di dalam negeri, ditandai dengan suasana gejolak perjuangan pada masa itu. Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di pihak Belanda. Kala itu konsep strategi perjuangan Indonesia maupun Belanda masih mencari bentuk yang sepadan.

Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Veluwe tercatat proses diplomasi Indonesia-Belanda dengan Inggris yang berperan selaku penengah. Pada saat itu telah berhasil dipersiapkan konsep-konsep yang kemudian dapat dikembangkan di dalam perundingan-perundingan selanjutnya, sehingga mampu menghasilkan kemenangan di dalam diplomasi perjuangan Republik Indonesia. Kemenangan itu tercermin dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh dunia internasional, khususnya oleh Belanda pada akhir tahun 1949.

Pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia itu berkat dukungan kuat dari hasil perjuangan bersenjata rakyat bersama-sama dengan angkatan perang Indonesia, yang ternyata lebih gigih dari angkatan perang Belanda. Akhirnya Belanda terkucil di forum internasional.

Konsep Politik Luar Negeri Republik Indonesia secara ideal dan konstitusional tercantum di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan secara terperinci penjabarannya untuk pertama kali dirumuskan oleh Badan Pekerja Komite Nasional dirumuskan tanggal 17 Oktober 1945. Masalah ini terdesak oleh situasi dan kondisi saat itu, karena konsep perjuangan yang jelas belum pernah dirumuskan. Sejak saat itu perjuangan diplomasi dijadikan prioritas utama.

Latar belakang pertemuan informal pertama Indonesia-Belanda tanggal 23 Oktober 1945, berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk bersedia mengeluarkan pernyataan bersama (komunike) tanggal 25 Oktober 1945. Pernyataan bersama itu menyatakan pentingnya masalah perdamaian yang kekal di kawasan Lautan Teduh. Patut dicatat pula Maklumat Pemerintah tanggal 27 Oktober 1945 menyatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilaksanakan berdasarkan peri kemanusiaan dan Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, dasar yuridis menjadi pegangan Indonesia sejak awal perundingan dengan pihak Belanda.

Keputusan lain yang menjadi dasar konsep politik luar negeri dan diplomasi perjuangan Indonesia, adalah Maklumat (manifes) Politik Republik Indonesia tanggal 1 November 1945. Agar bangsa Indonesia dan dunia internasional dapat memahami sikap pemerintah Indonesia, sehingga tidak terpengaruh oleh propaganda Belanda. Selama ini Belanda selalu menghembuskan berita-berita sumbang, bahwa Republik Indonesia itu adalah ciptaan Jepang dan beraliran komunis. Upaya menepis berita sumbang itu merupakan langkah prioritas utama diplomasi Republik Indonesia.

Perlu diketahui pidato Presiden Soekarno di depan angkatan Pemuda yang memilih jalan penyelesaian melalui kekerasan bersenjata, mendahului Maklumat Politik itu awal September 1945 menekankan bahwa perjuangan diplomasi merupakan syarat utama bagi eksistensi Republik Indonesia di dunia internasional. Namun kegiatan diplomasi tersebut harus didasari kekuataan paksaan, yang tidak saja bersumber pada bangsa Indonesia, antara lain melalui kekuatan bersenjata, namun juga melalui kekuatan opini dunia internasional.

Presiden Soeharto dalam amanatnya pada hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Ke-49 tanggal 5 Oktober 1994, antara lain menjelaskan, bahwa dalam perjuangan mengemban amanat rakyat, ABRI telah melakukan tiga misi besar sejarah. Yakni, dalam perang kemerdekaan bersama rakyat ABRI berhasil memberikan dukungan kekuatan kepada perjuangan diplomasi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

. . . bersambung

Saturday, March 25, 2017

HASIL RAPAT KEDUA SEKUTU DAN TENTARA RAKYAT (17 JANUARI 1946)

A further meeting was held at AFNEI Headquarters on 17 January 1946 to discuss the evacuation of APWI and the Japanese forces from the interior of Java.

Attended by :
  • Brigadier N.D. Wingrove, Chief of Staff Allied Forces
  • Colonel P.E. Crook, RAPWI Control Allied Forces
  • Lieutnant Colonel C.W. Ridley, GSO (OPS) Allied Forces
  • Mayor Jenderal Sudibyo, POPDA Chief of Markas Besar Tentara Rakyat Indonesia
  • Letnan Kolonel Latif Hendraningrat, Staff Markas Besar Tentara Rakyat Indonesia
  • Dr. Mangoendjojo, Representative of the Sultan of Yogyakarta
  • Letnan Soetomo, Tentara Rakyat Indonesia
  1.  As far as the evacuation of APWI was concerned the following decisions were made : (a) That the evacuation of APWI by TRI would proceed with the utmost dispatch. (b) That TRI would inform AFNEI at least 24 hours ahead of the date and time arrival of each train, and of the numbers of men, women and children in it, TRI stated that they hoped the first train reach Batavia within one week. (c) That as soon as possible TRI will send AFNEI Headquarters the total number of all APWI, by classes (i.e. men, women and children), who are awaiting evacuation from within Java. This, of course, excludes such number already under Allied protection. (d) That H.Q. RAPWI and H.Q. AFNEI would send a further list of places, which they had now received, where APWI were believed to be located.
  2. The TRI representatices asked that the signed agreement should be given to them, by the Allies to the effect that no APWI would be armed and subsequently used to fight against their national cause. While this was noted it was pointed out by the Allies they already had a statement to this effect in minutes at the meeting held at H.Q. AFNEI on 9 January 1946, forwarded under H.Q. AFNEI No.40516 A GSO dated 10 January 1946, which was signed by the Brigadier General Staff AFNEI.
  3. The TRI first stated that their difficulty in obtaining a sufficient sense of security at Semarang and Surabaya, to enable them to evacuate the Japanese to these places without considerable risk of restarting of serious trouble. They stated that they only way in which they could obtain sufficient security, was for the Allies, since they could not agree to the handing over parts of these two towns to TRI authority to allow a TRI force to enter these towns as TRI to co-operate with the Allies under Allied Command.
  4. The Allies pointed out that under the orders of the United Nations they were the sole authority in such places as they found it necesary to the station troops. Therefore, although they fully appreciated the TRI difficulties, it was quite impossible for them to do anyrhing which would delegate this authority to anyone else. The only way thereforce, in which the TRI  could be allowed in these towns, should be as police to help the local Allied Command in maintaining law and order in camping areas. Whether they should be asked to do this or not was entirely a question of whether the local Allied Commander decided it was necessary or not. If they should be asked, then they would be in exactly the same position as TRI in Batavia. That would be the part of the Allied police force under command of the Allied Commander.
  5. As a result od the discussion outlined in paragraphs 3 and 4 above, and since the TRI representatives considered this would not under present conditions, procure sufficient security it was decided that : (a) The question of evacuating Japanese would be left over until APWI had been evacuated so as to enable TRI to concentrate all their efforts on this most important APWI task. (b) As soon as APWI had been evacuated for the question of evacuating the Japanese forces would again be discussed, bu which time the situation in Java would probably be such as to make decision easier. (c) Meanwhile TRI would consider the problem and take such preliminary step, as the concentration of Japanese from outlaying areas to controlled concentration camps, as would facilitate their quick evacuation as soon as all APWI had been evacuated, and final decision arrived at.
  6. Publicity. That no information of any kind would be given to the Press beyond the fact thet discussions were in progress, until actual result stated. A simultaneous release would then be made by both H.Q. AFNEI and TRI.

HASIL RAPAT PERTAMA ANTARA SEKUTU DAN MARKAS BESAR TENTARA RAKYAT

Hasil pertemuan antara Sekutu dan Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat, pada 9 Januari 1946 disimpulkan sebagai berikut :
  1. The minutes of the meeting held at this Headquarters on 9 January 1946 are forwarded for your information.
  2. The following decisions were made :
A. A P W I
  1. The Indonesians would start evacuating all APWI from their present locations at once.
  2. That they would all be evacuated to Batavia.
  3. That the Indonesians would be responsible for delivering them over to the Allies in Batavia in good order, and would make all arrangements for their transportations, security and feeding en route. 
  4. That the Allies would guarantee that these APWI would not be armed after being handed over.
B. Japanese
  1. That both of Allies and the Indonesians were anxious to evacuate the Japanese from Java as soon as possible.
  2. That all their arms and equipment would either be destroyed under the Allied supervision in the interior of Java, or would be handed over to the Allies at the concentration port or ports. That in the latter case the Indonesians might send representatives to see that all arms and ammunition were correctly destroyed by the Allies and not handed over to anyone else.
  3.  That the handing over control of Semarang or Surabaya was not possible.
  4. In views of point (3) above that if the Indonesians found it too, difficult to hand over the Japanese at Semarang and Surabaya, the Allies would receive them in Batavia.
  5. That the Indonesians representatives would discuss points (3) and (4) with their confederates and return with their agreement or further proposals on January 1946.

PESERTA RAPAT SEKUTU DENGAN MARKAS BESAR TENTARA RAKYAT

Peserta rapat antara Sekutu dan Markas Besar Tentara antara lain :

Dari pihak Inggris
  1. Brigadier N.D. Wingrove, Chief of Staff
  2. Colonel P.E. Crook, Control Staff
  3. Lieutnant Colonel C.W. Ridley, GSO (OPS)
  4. dan lain-lain
 Dari pihak Indonesia
  1. Jenderal Mayor Sudibyo Kepala POPDA Markas Besar
  2. Tentara Keamanan Rakyat Letnan Kolonel Latif Hendraningrat
  3. Staf Markas Besar Tentara Rakyat Dokter Boedihardjo
  4. Sekretaris Amir Sjarifoedin

PERAN DIPLOMASI KURUN WAKTU OPERASI POPDA (BAGIAN 3 - SELESAI)

. . . lanjutan

Pada tanggal 16 Oktober 1945, Ir. Soerachman, Menteri Ekonomi Republik Indonesia menyampaikan surat kepada Kepala Dewan RAPWI yang menegaskan kesediaan pihak Republik Indonesia untuk bekerja sama dengan RAPWI atas dasar peri kemanusiaan. Tetapi kehadiran tentara Belanda telah menimbulkan berbagai keresahan. Sulit untuk membedakan pakaian seragam tentara Inggris dan tentara Belanda.
Selanjutnya dalam surat itu, Ir. Soerachman mengatakan bahwa suatu syarat utama untuk memulihkan ketenteraman agar Sekutu tidak menggunakan tentara Belanda. Biarkan mereka tetap di atas kapal atau di dalam tangsi (a prerequisite to restore tranquility is thus not to employ any more Dutch forces and to keep them either on board or within barracks). Demikian antara lain isi nota protes Soerachman kepada RAPWI pusat.

Insiden-insiden yang terjadi seperti disebutkan dalam nota protes Ir. Soerachman digambarkan ketika tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Ooyen kembali di Indonesia. Bersamaan dengan kedatangan Jenderal Van Ooyen tampak pula adanya patroli Belanda di seputar jalan-jalan kota Jakarta. Pasukasn KNIL yang terdiri dari orang Belanda dan suku Ambon itu melakukan tindak perampokan secara membabi buta. Apa saja yang mereka curigai, mereka tembak. Mereka sengaja berburu apa saja yang dapat dirampok dari rumah-rumah pribadi penduduk dan menangkap siapa saja menurut kehendak mereka tanpa disertai surat penangkapan resmi.

Sebagian besar yang menjadi sasaran dan korban mereka adalah rumah penduduk yang tidak berdosa sehingga menimbulkan insiden demi insiden. Melihat keadaan yang gawat itu, Presiden Soekarno memerintahkan kepada kaum nasionalis Indonesia agar menyingkir untuk menjaga keselamatan mereka. Demikian pula kepada anggota-anggota kelompok bersenjata supaya menghindari jalan-jalan di Jakarta. Keadaan di jalan-jalan kota Jakarta pada pukul 20:00 sudah sunyi. Hanya kegiatan patroli Belanda yang terus-menerus melakukan perampokan. Hal itu menunjukkan cerminan kewibawaan Presiden Soekarno terhadap rakyatnya, demikian diuraikan dalam buku George Mc.T Kahin.

Apabila terjadi sengketa di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, tentu saja dapat dipahami karena pasukan Inggris dan Belanda ingin menguasai wilayah yang sangat penting dan strategis bagi Republik Indonesia. Kehilangan wilayah berarti atribut sebagai negara dalam hukum internasional pun akan hilang. Adanya bentrokan yang terjadi itu, telah memperoleh perhatian besar dari wartawan asing. 

Mr. Ali Sastromiadjojo sebagai pegawai tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam buku 'Tonggak-tonggak di Perjalananku', antara lain mengisahkan bahwa para wartawan asing yang ingin masuk ke pedalaman Indonesia harus mendapatkan surat pass dari pemerintah sebagai visa bagi mereka. Hal ini adalah salah satu contoh peraturan yang dikeluarkan secara efektif yang menurut hukum internasional merupakan suatu perwujudan dari kedaulatan Republik Indonesia.
Peristiwa Surabaya patut memperoleh perhatian khusus dalam sejarah perang kemerdekaan bangsa Indonesia. Perang yang timbul antara tentara Inggris dan Indonesia telah menampilkan sosok perwujudan kedaulatan Indonesia kepada dunia luar sebagai subyek hukum internasional. Dalam hubungan ini, tentara Inggris tidak semata-mata melaksanakan tugas RAPWI, tetapi juga ingin menguasai kota Surabaya dan menduduki gedung-gedung resmi serta membiarkan Belanda kembali berkuasa dengan memasang lagi bendera Belanda, bahkan menyebarkan pamflet melalui pesawat udara berisikan perintah agar TKR dan para pemuda menyerahkan senjata mereka kepada Inggris. Upaya itu tidak lain bertujuan hanya untuk melicinkan jalan bagi Belanda kembali menduduki dan menguasai kota Surabaya sesuai dengan isi Perjanjian Inggris-Belanda dalam Civil Affairs Aggreement, 24 Agustus 1945.

Pertempuran terjadi karena rakyat dan pemuda Surabaya bersama Tentara Keamanan Rakyat tidak menginginkan Belanda kembali ke kota mereka. Tentara Inggris ternyata tidak mampu menghadapi perlawanan sengit dari pihak Indonesia sehingga mereka akhirnya minta bantuan Presiden Soekarno untuk menghentikan pertempuran. Permintaan itu kemudian dipenuhi oleh beliau, yang dalam perundingan 29 Oktober 1945 pukul 19:30 menghasilkan persetujuan gencatan senjata. Peristiwa ini merupakan perjanjian internasional yang mengandung 6 syarat.

Apabila sesudah tanggal 30 Oktober 1946 masih terdapat warga Belanda yang diangkut ke Jakarta sampai bulan Mei 1947 dengan kereta api POPDA, hal itu dilakukan bukanlah berdasarkan kewajiban perjanjian Indonesia dengan Sekutu, tetapi harus ditafsirkan atas pertimbangan peri kemanusiaan seperti apa yang dinyatakan oleh Ir. Soerachman, Menteri Perekonomian RI dalam suratnya pada 16 Oktober 1945 kepada Kepala RAPWI Inggris.

SELESAI.

PERAN DIPLOMASI KURUN WAKTU OPERASI POPDA (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

"Di mana pemerintah Belanda tidak berfungsi, anda dapat memanfaatkan para pemimpin Indonesia yang memegang pemerintahan lokal untuk masalah keamanan dan ketertiban".

Atas dasar kesadaran anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan para pemuda, maka ketika Letnan Jenderal Christison mendarat di Jakarta telah mendapat pengawalan TKR dari Tanjung Priok sampai kota Jakarta. Demikian pula halnya ketika Van Mook mendarat di Tanjung Priok pada tanggal 22 September 1945 harus dikawal oleh TKR. Kenyataan tersebut adalah suatu bukti bahwa anggota TKR pun telah menjalankan tugas perjuangan yang patut memperoleh penilaian sebagai sumbangan kepada diplomasi maupun perang.
Pengalaman Letnan Jenderal Christison dan Van Mook dalam perjalanan dari Tanjung Priok sampai Jakarta dengan pengawalan anggota TKR, mereka dapat membaca sendiri tulisan slogan-slogan yang terpampang dan bernada tidak menghendaki lagi kehadiran Belanda di Indonesia.

Perlu dicatat pula mengenai tugas yang dilakukan para taruna Akademi Militer Tangerang pada bulan Desember 1945. Mereka bertugas mengantarkan paket perbekalan RAPWI dari Jakarta ke Bandung selama tiga kali, yang dalam pola diplomasi, menurut A. Toynbee disebut sebagai suatu jawaban atas suatu tantangan (Challenge and Response).

Mr. Muh. Yamin seorang ahli sejarah dan tokoh politik Indonesia di dalam bukunya Sapta Parwa II menyebutkan bahwa memang adalah suatu ciri khas yang selalu timbul dalam sejarah diplomasi karena perang itu akibat tindakan manusia yang berjuang.
Dari pembicaraan antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Letnan Jenderal Christison dalam upaya menciptakan keadaan yang stabil, telah tercapai kesepakatan bahwa TKR harus meninggalkan kota Jakarta. Resimen TKR di Jakarta terpaksa pindah ke Cikampek. Menurut A. Toynbee ini merupakan pola diplomasi mundur setapak untuk kemudian kembali maju (withdrawal and return). Soetan Sjahrir sebagai seorang diplomat yang berkaliber sering menggunakan taktik ini dalam perjuangan diplomasi.

Dampak perlawanan militer dan diplomasi Indonesia diakui pula oleh Laksamana Mountbatten. Dalam suratnya kepada Markas Besar Angkatan Perang di London para 11 Oktober 1945 dilaporkan :
  1. Indonesia menahan 10.000 orang tawanan APWI dalam kamp-kamp yang digunakan sebagai sandera.
  2. Pemerintahan ada di tangan Repulik Indonesia, mereka mengancam untuk melumpuhkan sarana pemerintah dengan melancarkan pemogokan.
  3. Angkatan Perang Indonesia memiliki persenjataan lengkap ex Jepang, dan terlatih. Diperkirakan jika Sekutu diikuti oleh Belanda, Indonesia akan melepaskan tembakan ke arah Sekutu. Hal yang demikian, telah terjadi di Surabaya sesudah mendengarkan seruan Panglima Besar Soedirman melalui siaran radio.
Jenderal A.H Nasution juga memberikan peringatan tentang kemungkinan adanya orang-orang Belanda yang menyamar sebagai anggota Sekutu dengan berbicara bahasa Inggris dan menyelinap masuk dalam rombongan RAPWI. Pihak pejabat Indonesia terpaksa memberikan pelayanannyakarena mereka bertindak selaku utusan Internasional.

Orang-orang Belanda ini secara teratur menyusun kekuatan di kamp-kamp interniran agar dapat menerbut kembali kekuasaan dari Jepang, dan segera menempati kembali jabatan-jabatan dalam pemerintahan Hindia-Belanda seperti Residen serta instansi lain pada departemen-departemen di seluruh Indonesia di samping membentuk pasukan kepolisian untuk menjaga keamanan. Tetapi konsolidasi kekuatan yang dilakukan Belanda itu,  kemudian dilarang oleh pimpinan Sekutu. Hanya Sekutu yang boleh berhubungan dengan pihak Jepang di Indonesia. Jepang tidak diperbolehkan menyerahkan pemerintahan mereka secara langsung kepada Belanda dan Indonesia.

Pengaturan pemerintah dan militer Indonesia yang berlangsung dengan baik, telah membuat Laksamana Mountbatten mengeluarkan perintah agar para tawanan dan interniran itu tidak meninggalkan kamp-kamp mereka karena keselamatan mereka berada di tangan Sekutu. Sehubungan dengan hal di atas telah terjadi peristiwa yang unik.

Spit adalah mantan wakil ketua Volkstraad dan menurut hukum tata negara Hindia-Belanda, menjadi orang kedua yang berkuasa jika Gubernur Jenderal berhalangan. Para tanggal 1 September 1945, Spit yang didampingi Ny. Starkenborgh serta Kolonel Voorts dari KNIL meminta kepada komandan Jepang agar menyerahkan pemerintahan kepada mereka. Tetapi permintaan ini ditolak oleh komandan Jepang, bahkan mereka lalu dikembalikan ke dalam kamp Cideng.

Contoh lain yang merupakan diplomatic demarche (nota protes) yang dikirim pihak Indonesia, adalah ketika berlangsung penyusupan tentara Belanda yang mengikuti rombongan RAPWI. Akibatnya, secara beruntun telah terjadi insiden, dimana orang-orang Belanda melakukan penurunan bendera Merah-Putih dan merebut gedung-gedung pemerintah serta sarana angkutan. Pelaksanaan tugas para pejabat Republik Indonesia dalam menyelenggarakan pengungsian APWI yang tadinya berjalan lancar, telah terhalang dan menghadapi kendala akibat penyusupan orang-orang Belanda.

. . . bersambung

Friday, March 24, 2017

PERAN DIPLOMASI KURUN WAKTU OPERASI POPDA (BAGIAN 1)

Operasi pengangkutan POPDA berdasarkan mandat KNIP yang diberikan kepada pemerintah (Kabinet Sjahrir II, 12 Maret 1946). Mandat yang terdiri dari 12 pasal itu, dalam angkutan interniran di daerah yang dikuasai Indonesia dialkukan berdasarkan Manifesto Politik Repubik Indonesia 1 November 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebelum itu operasi angkutan tidak dilakukan berdasarkan mandat Pemerintah.

Ditinjau dari sejarah alam kurun waktu operasi POPDA teramat singkat (24 April - November 1946, hanya 145 hari) berhubung terdapat gangguan, untuk diuraikan bagaimana diplomasi turut memainkan peranan.

Van Mook tanggal 4 September 1945 mengirim telegram kepada Laksamana Mountbatten yang isinya mendorong agar Sekutu hanya berhubungan dengan Jepang saja dan tidak dengan Indonesia. Pada 15 September 1945, ketika NICA ikut mendarat dengan kapal Sekutu HMS Cumberland, Abdulkadir  Widjojoatmojo (Kepala NICA) mengusulkan pada 24 September 1945 agar pada waktu masuk ke Batavia, Belanda memakai bendera Cina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hal ini merupakan tantangan bagi Belanda yang kemudian dijawab (sebagai diplomaticc encounter) oleh Presiden Soekarno dalam suratnya kepada Laksamana Mountbatten tanggal 30 September 1945 yang memperingatkan bahwa Indonesia kini sudah merupakan suatu kenyataan.

Menurut Jenderal A.H Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan II, (jilid II, III dan IV) ia telah memepringatkan Sekutu agar,

"Tentara Republik Indonesia mengawasi kalau bersama RAPWI turut serta pula orang-orang NICA. Jika terbukti demikian, tanpa provokasi, pasti akan terjadi pertempuran, dan pemuda Indonesia tidak segan-segan menghadapi tentara Inggris yang modern."

Sehubungan dengan itu, Letnan Jenderal Christison menyatakan :
"Tentara Inggris dan India tidak mempunyai tujuan politik dan tentara Sekutu tidak terlibat dalam politik nasional".

Sementara itu, Sekutu telah pula mengadakan tekanan terhadap Belanda. Christison juga mengharapkan agar para pemimpin Indonesia memperlakukan dirinya serta tentara Sekutu (pasukan India) sebagai tamu, dan memberikan jaminan bahwa tujuan utama kedatangan utama mereka adalah untuk melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkannya kembali ke Jepang.
Menilai keadaan di Jawa serius dan menurut Letnan Jenderal Christison Indonesia sangat kuat, maka guna kelancaran tugas yang diembannya, dia berani meminta bantuan lebih jauh kepada Indonesia. Bahkan di luar kewenangan yang telah diberikan padanya karena mengingat bahwa operasi Sekutu di jawa dan bagian Indonesia lainnya sangat terbatas, maka dia  mengimbau agar para pejabat Indoensia tetap bertanggung jawa atas jalannya pemerintahan dalam wilayah yang dikuasai pihak Republik Indonesia. Hal itu sebenarnya bertentangan dengan instruksi dari pusat.

Bagi Letnan Jenderal Christison, untuk kelancaran tugas dan terlaksana dengan baik, tidak ada pilihan lain kecuali mengakui de facto Republik Indonesia. Letnan Jenderal Christison mengimbau agar Laksamana Mountbatten memberikan nasihat kepada Van Mook untuk mengakui keberadaan atau eksistensi Republik Indonesia. Surat Mountbatten kepada Van Mook antara lain berbunyi :

"Sebaiknya Van Mook pergi ke Negeri Belanda dan memberikan saran kepada pemerintah serta gambaran keadaan yang sebenarnya, dan menghadapi kenyataan bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pemerintah Indonesia telah berjalan dengan baik di bawah kepimpinan Soekarno".

Tindakan tentara, rakyat dan pemuda Indonesia itu telah meyakinkan Jenderal Christison setelah mendengarkan nasihat Mayor Jenderal Chambers yang mengatakan :
. . . bersambung

PERJANJIAN GENCATAN SENJATA 20 OKTOBER 1945 (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Sikap tegas dan unjuk gigi pihak Indonesia telah mengakibatkan dua hal :
  1. Perundingan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1946 dan 1947 mulai dimungkinkan setelah melihat ketangguhan Republik Indonesia yang mempertahankan dan membela diri dengan gigih yang ditunjukkannya, antara lain di dalam pertempuran Surabaya.
  2. Pertempuran menyebabkan tugas RAPWI tidak dapat diselesaikan tahun 1945, tetapi berlanjut di tahun berikutnya. Inggris terpaksa mengubah sikapnya dengan meminta bantuan Tentara Keamanan Rakyat untuk melindungi rombonga RAPWI dalam tugas penyingkiran. Tugas RAPWI dari Jakarta ke Bandung konvoinya sering mengalami serangan yang mengalami serangan yang mengakibatkan kerugian besar.
Diungkapkan bahwa Panglima Tertinggi Sekutu tampaknya sudah minta agar konvoi RAPWI dari Jakarta ke Bandung dikawal dan dilindungi oleh Tentara Keamanan Rakyat. Salah satu serangan itu telah mengakibatkan kerugian sangat besar bagi Inggris. Namun konvoi terakhir dari RAPWI yang dikawal Tentara Keamanan Rakyat tiba dengan selamat di Bandung.

Selain itu, dari perkembangan tersebut telah mengakibatkan bahwa pada 7 Januari 1945 di Semarang dilantik walikota Moch. Ichsan S.H di Markas Brigade ke-49 Tentara Sekutu, yang dihadiri pula oleh Brigadir Morris. Pelantikan seorang wakilota di Semarang oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah salah satu perwujudan dari pengakuan de facto Sekutu terhadap keberadaan Republik Indonesia. Adapun tujuan sebenarnya mengenai pengangkatan Moch. Ichsan S.H sebagai walikota Semarang, adalah untuk mempermudah pasukan Inggris jika tentara Sekutu akan meninggalkan kota tersebut.

Selain itu, terdapat pula akibat selanjutnya. Pada 9 Januari 1946 di Jakarta terjadi pembicaraan antara Brigadir Wingrove (Sekutu) dan Mayor Jenderal Sudibyo (Markas Besar TKR). Tentara Inggris meminta bantuan TKR untuk mengangkut warga APWI yang masih berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumlahnya antara 14.000 hingga 15.000 orang. Pihak Indonesia menyetujui permintaan itu, tetapi mengalami kesukaran dalam menentukan lokasi kamp mereka yang letaknya tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Peristiwa tersebut di Belanda telah menimbulkan rekasi. Seorang pakar hukum internasional Prof. J.G. Resink, mengatakan bahwa kenyataan ini merupakan pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia.

SELESAI.

PERJANJIAN GENCATAN SENJATA 20 OKTOBER 1945 (BAGIAN 1)

Perjanjian gencatan senjata dalam peristiwa Surabaya merupakan suatu perjanjian sementara antara Presiden Soekarno dari Republik Indoensia dengan Brigadier Mallaby dan dilaksanakan di Surabaya pada 19 Oktober 1945. Isinya :
  1. Perjanjian diadakan antara Panglima Pendudukan tentara Inggris dengan Presiden Soekarno, Presiden Republik Indonesia untuk memelihara ketenteraman kota Surabaya.
  2. Demi ketenteraman diadakan penghentian tembak-menembak oleh kedua belah pihak.
  3. Keselamatan tiap orang (termasuk interniran) akan dijamin oleh kedua belah pihak.
  4. Syarat-syarat yang tercantum dalam surat selebaran yang dijatuhkan melalui pesawat terbang pada 27 Oktober 1945 akan dibicarakan pada 30 Oktober 1945 (keesokan harinya) antara Presiden Soekarno dengan Panglima Tertinggi Tentara Pendudukan Inggris.
  5. Pada malam itu setiap orang bebas bergerak ke mana saja, baik orang Indonesia maupun Inggris.
  6. Semua pasukan akan masuk dalam tangsinya masing-masing. Semua korban luka-luka di angkut ke rumah sakit, dan dijamin keselamatannya oleh kedua belah pihak.
Pelaksanaan perjanjian gencatan senjata tersebut di atas diumumkan oleh Kementerian Penerangan pada siang hari 30 Oktober 1945, termasuk antara lain perintah melalui selebaran agar Tentara Keamanan Rakyat menyerahkan senjata dicabut/dilarang dan Tentara Keamanan Rakyat diakui dapat melanjutkan penggunaan senjata. Gencatan senjata serta persetujuan pelaksanaannya merupakan indikasi bahwa Inggtis mengakui Republik Indonesia telah mempunyai status internasional sebagai pihak yang sedang berperang (belligerent) bukan sedang melakukan pemberontakan (insurgency) biasa.

Disayangkan bahwa pada 20 Oktober 1945 Brigadir Mallaby mati terbunuh. Namun pertempuran sengit yang terjadi di Surabaya telah menyadarkan Inggris bahwa perang kemerdekaan yang didukung oleh seluruh massa rakyat untuk membela dan mempertahankan wilayah Republik Indonesia, tidak dapat dihapus dengan mudah. Hal itu, kemduian mendorong Inggris untuk mengubah kebijaksanaannya terhadap Republik Indonesia yang oleh George Mc.T. Kahin dilukiskan sebagai suatu jalan keluar untuk menyelesaikan tugas Sekutu.

"Dan kini harus ditemukan suatu sarana dasar untuk berunding dengan para pemimpin Indonesia. Berdasarkan suatu kenyataan yang ditemuinya di lapangan, maka Inggris mengambil sikap tegas terhadap Belanda yang menolak untuk berunding dengan pihak Republik Indonesia. Selanjutnya pihak Inggris harus mengadakan tekanan keras terhadap Belanda sampai tercapai suatu situasi damai yang benar-benar efektif."

. . . bersambung

PENGANGKUTAN DAN EVAKUASI DEMI PERI KEMANUSIAAN (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Anjuran Letnan Jenderal Christison diterima baik oleh pihak Republik Indonesia dan penyelenggaraan angkutan ini dilakukan sama seperti selanjutnya, yaitu dua kali seminggu. Setelah berlangsung sekitar sebulan, dari pihak Belanda meminta agar frekuensi angkutan itu dikurangi sebab sarana akomodasi di Jakarta sebagai kamp transito telah terlalu penuh sehingga tidak mampu lagi untuk menampung mereka. Kemudian angkutan hanya dilakukan sekali seminggu sekali. Laporan dari dinas khusus Markas Besar Tentara Republik Indonesia telah menguraikan situasi dan kondisi itu, khususnya dalam kamp-kamp interniran.
Setelah terjadi peristiwa Surabaya (10 November 1945), pada bulan Desember 1945 situasi dan kondisi berkembang cepat di pulau Jawa. Perkembangan ini sangat mempengaruhi situasi kamp wanita di Makassar, Jakarta yang ditutup karena alasan untuk menjaga keamanan. Pihak Belanda merasa prihatin tentang keadaan di kamp-kamp di Jakarta karena sebagai kamp transito sudah sarat dengan penghuni, juga keamanan para warganya terancam sehingga mereka terpaksa melakukan penjagaan. Kamp Cideng dan Adek harus menampung APWI yang datang dari Jawa Tengah, sementara penghuni lama masih harus menunggu angkutan untuk repatriasi di kamp transito.

Situasi keamanan kamp-kamp yang tersebar di pedalaman pulau-pulau Jawa pada bulan September - November 1945 juga makin mengkhawatirkan. Melalui upaya Palang Merah Internasional, RAPWI dengan pertolongan sekadarnya dari Jepang, memindahkan para penghuni kamp ke ibukota daerah atau tempat lain yang dianggap lebih aman agar memudahkan proses repatriasi. Untuk menghindari terjadinya tembak-menembak para penghuni kamp diperingatkan dengan keras agar tidak meninggalkan kamp mereka.

Selanjutnya laporan itu menyebutkan, warga Amerika, Inggris dan Belanda asli pada bulan September 1945 telah diangkut. Warga Belanda lainnya hingga beberapa bulan kemudian masih belum memperoleh kontak dengan keluarga atau saudara mereka. Atas kebaikan hati Inggris, mereka diizinkan mengirim berita telegram ke Belanda dengan isi teks baku dan terbatas "aman di tangan Inggris" (safe in British hands).

Kendala itu dialami karena Belanda belum memiliki sarana angkutan kapal laut dan pesawat udara yang memadai untuk merepatriasi warganya yang berada di Asia menuju Eropa. Kapal-kapal Belanda yang masuk pool Sekutu dalam Perang Dunia II dengan susah payah baru dua buah dapat dibebaskan. Pada bulan September 1945 warga APWI Australia baru dapat berangkat meminggalkan Jakarta.

Akhirnya Belanda, menyewa pesawat terbang pengangkut Amerika di bawah nama Dinas Angkutan Udara Pemerintah Belanda (De Nederlands Regeeringsluchttransport Dienst) yang mulai berfungsi sejak 19 November 1945. Kemudian pada bulan Desember 1945 transportasi skala besar dimulai dengan menggunakan kapal laut Nieuw Amsterdam dan Oranje yang bertugas nonstop selama masa tahun 1946 sampai 1947.

Pada awall 1946 sekitar 4.500 orang wanita dan anak-anak telah dapat diberangkatkan dari Pulau Jawa dan Sumatera ke Thailand untuk mempersatukan mereka dengan keluarga (Family Reunion). Di sana mereka masih ditempatkan dalam kamp untuk menunggu angkutan repatriasi.

Rombongan APWI yang terakhir tiba di Jakarta dari Malang pada tanggal 23 Mei 1947. Kelonggaran yang diberikan oleh pihak pemerintah Republik Indonesia kepada Belanda yang bersifat peri kemanusiaan telah banyak membantu meringankan situasi dan kondisi para penderita warga Belanda. Pada waktu itu, Belanda ternyata tidak mampu lagi menyediakan akomodasi kamp transito yang baru untuk mereka sehingga angkutan peri kemanusiaan oleh POPDA dihentikan.

Langkah ini dilakukan setelah pihak Belanda memberitahukan bahwa warganya yang harus ke Jakarta dari daerah pedalaman Pulau Jawa telah memenuhi harapan mereka. Dengan demikian, berakhir pulalah operasi POPDA yang telah melaksanakan tugas internasional Republik Indonesia yang pertama hingga memantapkan kedudukan di mata dunia.

SELESAI.

PENGANGKUTAN DAN EVAKUASI DEMI PERI KEMANUSIAAN (BAGIAN 1)

Tugas evakuasi bekas tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoners of War and Internees) di Pulau Jawa dilaksanakan dalam tiga tahap oleh :
  1. RAPWI (Recovery of War and Internees). Angkatan perang Inggtis membebaskan APWI sejak pendudukan bulan September 1945 hingga terjadi peristiwa Surabaya.
  2. POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI) mulai tanggal 24 April 1946 hingga 30 November 1946 dengan kewajiban kontraktual berupa Perjanjian Markas Besar Tentara Republik Indonesia dengan Markas Besar Inggris AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies Headquarters) pada 17 Januari 1946.
  3. POPDA, berdasarkan apa yang dinamakan Pengangkutan demi Peri Kemanusiaan, yang oleh Inggris dinamakan Mercy Converyance dari tanggal 30 November 1946 hingga akhir Mei 1947.
Kegiatan operasi yang terangkum dalam butir 3 diberi nama demikian sesuai dengan isi surat Ir. Soerachman, selaku Menteri Perekonomian Republik Indonesia kepada Kepala RAPWI Inggris di Jakarta pada 16 Oktober 1945. Di dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Republik Indonesia bersedia dan memperkenankan tentara Inggris melaksanakan tugasnya untuk menemukan kembali, membebaskan, serta merepatriasi APWI di Pulau Jawa yang masih berada dalam daerah kekuasaan Republik Indonesia.

Dalam perundingan antara delegasi Indoensia di masa kabinet Sjahrir II dengan delegasi Belanda (di bawah pimpinan Van Mook) pada 27 Maret 1946, ditegaskan kembali bahwa Republik Indonesia akan menerima kehadiran angkatan perang Inggris dan Belanda di Indonesia guna melaksanakan tugas Sekutu tersebut di atas.

Sebelum Letnan Jenderal Christison meninggalkan Indonesia bulan November 1946, telah dianjurkannya agar pihak pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan kelonggaran kepada Belanda dalam melaksanakan tugas itu. POPDA diharapkan dapat melanjutkan memberi jasa angkutan ke Jakarta bagi warga Belanda yang masih berada di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Hal itu mereka namakan sebagai angkutan yang bersifat peri kemanusiaan. Di perkirakan, sisa jumlah warga Belanda antara 14.000 hingga 15.000 orang. Banyak di antara mereka yang tidak memenuhi persyaratan sebagai APWI karena tidak pernah ditawan atau masuk kamp interniran.

. . . bersambung

Tuesday, March 21, 2017

OPERASI POPDA (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Dalam BAB I Perjanjian Markas Besar Tentara Republik Indonesia Inggris mengenai pengangkutan APWI telah diungkapkan bahwa pada 23 Maret 1946 Mayor Jenderal Sudibyo bersama rombongan telah mendarat di lapangan udara Kemayoran dengan 3 pesawat terbang (bekas milik Jepang) berbendera Indonesia. Hal ini merupakan pembuka dari tugas resmi POPDA berdasarkan perjanjian antara pihak pemerintah Republik Indonesia dengan Inggris.

Pada 24 April 1946 rombongan APWI yang pertama berangkat dari Jawa Tengah menuju Jakarta, dan dari Malang menuju Probolinggo di Jawa Timur. Kecuali antara minggu ketiga Juli 1946 hingga pertengahan September 1946, pengungsian itu terus berlangsung (sejak akhir April sampai dengan Oktober 1946).

Pada 9 Juni 1946 sebuah kapal milik Republik Indonesia di bawah pimpinan Letnan Rachmat Sumengkar yang mengangkut APWI sebanyak 180 orang dari Madura ke Probolinggo dihadang oleh kapal perang Belanda. Mereka memaksa mengambil alih para interniran itu, sehingga telah melanggar ketentuan dalam prosedur yang telah disepakati pemerintah Republik Indonesia dengan Inggris. Berhubung dengan peristiwa tersebut, sejak minggu ketiga Juli 1946 pihak Indonesia terpaksa menghentikan operasi POPDA.

Kemudian diadakan pembicaraan antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Jenderal Christison yang selanjutnya dilakukan antara kepala POPDA, Mayor Jenderal Abdul Kadir dan Brigadir Jenderal I.C.A. Lauder untuk pelaksanaan teknisnya pada 3 September 1946, memberikan jaminan bahwa tidak akan terjadi lagi gangguan serupa, pengungsian itu dimulai lagi pada 13 September 1946. Kereta api terakhir yang mengangkut APWI tiba di Jakarta pada 19 Oktober 1946 dipimpin langsung oleh Jenderal Mayor Abdul Kadir.

Pada bulan Juli 1946, sekitar 35.000 bekas tentara Jepang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia. Sekitar 15.000 APWI diangkut melalui udara dan 19.000 APWI lainnya menggunakan kereta api.

Bagian terbesar rombongan APWI diangkut dengan kereta api dikawal oleh pasukan Tentara Rakyat Indonesia. Kereta api tiba dengan selamat di stasiun Manggarai (Jakarta).

Dengan demikian usai sudah tugas POPDA sesuai perjanjian 17 Januari 1946. Pertanggung jawaban POPDA merupakan penutupan yang membebaskan masing-masing pihak dari tuntutan kewajiban perjanjian (acquit et decharge) dan diterima oleh kedua pihak.

SELESAI.

OPERASI POPDA (BAGIAN 1)

Berita mengenai perkembangan situasi dan kondisi di Indonesia itu sampai kepada Laksamana Mountbatten pada 26 September 1945 yang telah mengubah kebijakan tindakan Sekutu. Kemudian Sekutu melarang Belanda mengambil alih pembinaan keamanan di Pulau Jawa dan Sumatera. Laksamana Mountbatten dalam kunjungannya ke Indonesia, hanya akan mendarat di Jakarta dan Surabaya. Belanda sangat marah karena Sekutu mengharuskan agar Belanda berunding dengan Indonesia.

Pengangkutan rombongan APWI dengan pesawat udara, diberangkatkan dari lapangan terbang Panasan (Solo).

Letnan Jenderal Christison yang pada 26 September 1945 ditunjuk untuk memimpin AFNEI, mendarat di Jakarta 29 September 1945 ditambah satu detasemen Belanda. Tugasnya adalah untuk melucuti senjata bekas tentara Jepang dan mengangkut APWI, serta membagikan bahan pangan dan obat-obatan melalui RAPWI Sekutu. Letnan Jenderal Christison mengira bahwa di luar daerah kunci tidak terdapat orang-orang interniran. Tetapi perkiraan itu tidak tepat.

Sejak Oktober 1945 Republik Indonesia telah mendirikan kamp-kamp di beberapa tempat sebagai persiapan pengumpulan para interniran untuk disalurkan ke pusat terminal dan kemudian hari pengangkutannya dapat dilanjutkan. Data jumlah interniran yang dimiliki langkah Sekutu itu ternyata tidak tepat, sehingga menghadapi kesulitan pada awal penangannya.

Sementara itu, para pemuda Indonesia meminta Presiden Soekarno untuk membentuk tentara dan juga organisasi perjuangan. Dalam hubungan ini, Jepang menunjukkan sikap pasif. Bahkan di beberapa tempat Jepang menyerahkan senjata mereka kepada para pemuda atau ditukar dengan barang kebutuhan hidup sehari-hari yang diperlukannya seperti bahan pangan. Sebagai contoh, di Semarang, pihak tentara Jepang menukarkan senjatanya dengan barang, sedang di Surabaya mereka menyerahkan kepada Tentara Republik Indonesia dalam jumlah yang dapat dimanfaatkan ketika terjadi pertempuran sengit bulan November 194. Di daerah Jawa Barat, Bandung dan Jakarta, hal itu tidak terjadi.

TIGA GOLONGAN INTERNIRAN (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Pada 16 Desember 1945 Perdana Menteri Soetan Sjahrir menyatakan :
"Kekuatan massa yang lepas kendali harus diatur kembali, dipersatukan dan emosinya diredakan sampai kesadarannya pulih kembali."

Wakil Presiden Mohammad Hatta juga meminta agar organisasi pemuda tidak main hakim sendiri.
Alasan kedua :
Orang menganggap Belanda sebagai musuh karena pada pertengahan tahun 1946 terdapat laporan yang mengatakan bahwa pria Belanda yang cukup umur harus diungsikan karena adanya tuduhan bahwa mereka telah dipersenjatai. Dalam perundingan Markas Besar AFNEI dengan Markas Besar Tentara Republik Indonesia 10 dan 19 Januari 1946, Mayor Jenderal Sudibyo menuntut agar kaum pria diungsikan terlebih dahulu dan tidak boleh dipersenjatai lagi karena dikhawatirkan akan dipergunakan untuk melawan pemerintah Republik Indonesia.

Alasan ketiga :
Di daerah pedalaman terdapat gerakan yang menahan orang-orang Belanda dan dijadikan sandera untuk digunakan dalam pertukaran dengan para pemuda yang ditangkap oleh pihak Belanda karena tuduhan teroris dan disekap di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu).

Ketika POPDA pada awal Januari hingga April 1946 sedang mengadakan persiapan transportasi, dalam Badan Kongres Pemuda di Madiun diajukan protes kepada Perdana Menteri Soetan Sjahrir atas penahanan para pemuda yang dilakukan oleh Sekutu dan Belanda (NICA) di Pulau Onrust. Mereka menuntut agar para pemuda itu dibebaskan terlebih dahulu sebelum bekas tawanan dan interniran diungsikan oleh POPDA dan melarang melakukan transportasi jika mereka belum dibebaskan.

Ancaman selanjutnya berasal dari Badan Kongres Laskar Rakyat terhadap para interniran yang berada di kamp-kamp di daerah pedalaman. Mereka mengancam, apabila protes mereka tidak berhasil, mereka akan mengambil tindakan terhadap penghuni kamp. Pada bulan Juni 1946 juga datang tuntutan dari Surabaya bahwa para interniran itu harus ditukar dengan orang-orang Indonesia yang ditawan.

Alasan keempat :
Dalam rangka pengangkutan interniran, motivasi POPDA tidak lain hanya memindahkan bekas tawanan dan interniran ke tempat-tempat terminal guna mempermudah RAPWI melanjutkannya dengan pesawat terbang, kapal laut atau kereta api. POPDA dalam hal ini hanya mengikuti petunjuk pihak Sekutu (RAPWI) di mana harus dibuka kamp-kamp transito. POPDA pusat didirikan di lapangan terbang Panasan, Solo. Tempat transito lainnya terdapat di Cirebon, Tegal, Probolinggo, dan Malang. Bantuan perlengkapan berupa truk untuk pengangkutan serta senjata untuk para pengawal, diterima oleh Markas Besar Tentara dan diatur oleh POPDA Yogyakarta.

SELESAI.

TIGA GOLONGAN INTERNIRAN (BAGIAN 1)

Sejumlah warga Belanda - Indo mengeluh karena terpisah dari keluarga mereka akibat dimasukkan ke dalam kamp interniran. Sebenarnya mereka tidak perlu mengeluh, pada zaman penjajahan Jepang banyak warga Belanda yang hidup dalam lingkungan interniran. Tetapi kemudian keturunan Belanda (kaum Indo) oleh Jepang disamakan kedudukannya sebagai pribumi dalam rangka menarik mereka untuk turut di dalam gerakan Kemakmuran Asia Timur Raya dan dimasukkan dalam Djawa Hookookai (Badan Kebangkitan Rakyat). 

Namun pada zaman penjajahan Jepang itu, orang-orang Belanda-Indo merasa lebih senang dianggap sebagai warga negara Belanda sepenuhnya dan ingin ikut repatriasi. Hal tersebut telah menciptakan masalah baru dengan kedatangan RAPWI yang membebaskan para penghuni kamp dan ikut sertanya NICA.

NICA ini kemudian dipersenjatai dan beroperasi di bawah organisasi AMACAB (Allied Military Administration Civil Affairs Branch). Perhatikan peristiwa yang terjadi di Sumatera (pada postingan : Situasi di Sumatera). Mereka mengeluh dan tidak mengerti mengapa Republik Indonesia bertindak dengan menginternir orang-orang Belanda.

Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut :

Alasan pertama :
Revolusi sudah mulai berkecamuk, gejolak dan suasana anti-Belanda sudah menggejala di masyarakat Indonesia. Dalam ilmu psikologi ini dinamakan crowd behavior, karena menyangka bahwa orang Belanda akan mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia sehingga timbul perasaan dan gerakan anti-Belanda.

Kebijakan untuk mengadakan kamp interniran dimaksudkan agar pemerintah dapat lebih efektif melindungi mereka sendiri (gefasseerde internering) seperti halnya yang dilakukan pada tentara Jepang di berbagai tempat. Sebagai contoh, tentara Jepang di Jawa Timur menjadi tahanan sukarela dan minta agar Tentara Kemanan Rakyat melindungi mereka. Contoh lain, seorang anggota militer Indonesia yang beristrikan wanita Belanda mempunyai seorang anak laki-laki juga merasa lebih aman kalau dilindungi. Dalam hal ini, anak dan keponakannya mengakui, bahwa "Demi keamanan, kamu harus dilindungi. Kalau tidak mungkin kami dibunuh". Keadaan pada akhir Oktober 1945 memang demikian halnya sehingga perlu didirikan kamp-kamp perlindungan.

. . . bersambung

ORGANISASI POPDA

Kota Solo dipilih oleh AFNEI dan Markas Besar Tentara Republik Indonesia sebagai pusat POPDA. Dari kota ini, transportasi udara maupun kereta api diselenggarakan ke tempat transito guna pengangkutan selanjutnya dari pulau Jawa ke Pulau Galang. Pos komando (posko) POPDA I juga membuka kamp yang dilengkapi dengan poliklinik dari Palang Merah Indonesia guna merawat bekas tawanan dan interniran yang sakit. Pada bulan Mei 1946, telah diangkut APWI dari Solo ke Semarang dengan pesawat terbang untuk selanjutnya diteruskan ke Pulau Galang.

POPDA II dibuka di Malang sebagai pusat pengumpulan APWI di Jawa Timur, yang sebagian diangkut ke Surabaya. Pada waktu itu, terjadi gangguan terhadap kapal yang mengangkut APWI karena ditahan oleh kapal perang Belanda Evertsen sehingga menyebabkan hambatan. Pihak Republik Indonesia mengajukan protes mengenai kejadian tersebut. Karena itu, ditempuh kebijaksanaan selanjutnya bahwa transportasi bekas tawanan dan interniran itu diselenggarakan dengan kereta apo untuk menghindarkan gangguan semacam itu. 

POPDA III dibuka di Tegal yang berfungsi untuk menampung APWI dari daerah pantai. Di samping itu, pihak Republik Indonesia juga bertugas mengangkut dan menyalurkan bekas tentara Jepang. Untuk itu telah dibuka kantor POPDA IV di Probolinggo khusus untuk mengangkut bekas tentara Jepang dari seluruh Jawa.

POPDA Pusat (POPDA I) harus mengumpulkan semua data dan menentukan jadwal transportasi ke daerah yang dikuasai Sekutu. Dalam melaksanakan operasinya POPDA bekerja sama dan memberi wewenang (desentralisasi) kepada para komandan tentara setempat yang bertanggung jawab atas keperluan lokal daerah masing-masing.

Komite Nasional Indonesia setempat juga turut mengatur urusan pengungsian itu dari daerah lokasi yang kecil-kecil, dan meneruskannya kepada tentara di Jawa Timur di mana seorang penghubung ditempatkan untuk mengatur jalannya operasi. Para penghubung ini memantau terus gerakan transportasi dengan mencatat dara yang mutakhir untuk dilaporkannya kepada POPDA Pusat di Solo.

Kegiatan operasi POPDA tidak mungkin berjalan dengan baik, jika pihak pemerintah dan tentara tidak mendukung keamanan pelaksanaannya. Pada bulan April 1946, pemerintah menyerukan dan mengimbau agar semua golongan nasional yang sedang berjuang turut membantuk pengungsian POPDA. Seruan itu, ternyata dipatuhi semua pihak.

Markas Besar Laskar Hizbullah turut membantu Tentara Rakyat Indonesia hingga tidak pernah terjadi konflik dan provokasi. Para Komandan Divisi diimbau agar pasukan di bawah komandonya bersikap bijaksana demi kelancaran transportasi APWI. Melalui siaran radio di Surabaya, Bung Tomo yang mempunyai peran besar dalam membangkitkan semnagat rakyat melawan Sekutu, dengan tegas menyerukan agar mendukung keberhasilan pelaksanaan transportasi bekas tentara Jepang dan APWI itu. Terhadao mereka yang mengganggu operasi transportasi tersebut akan dikenakan hukuman.

Monday, March 20, 2017

LAHIRNYA POPDA

Menelusuri Organisasi POPDA dan kegiatan dalam sejarah Indonesia perlu diawali dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indoenesia. Pada 16 Agustus 1945 bertempat di kediaman Laksamana Muda Maeda (Jepang) di Jalan Imam Bonjol, Jakarta telah dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan oleh para tokoh nasional Indonesia, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Wikana, Adam Malik, Sukarni, dll.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 kurang lima menit waktu setempat, di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Ir. Soekarno di depan rakyat Indonesia. Bendera Merah Putih, yang pada hari bersejarah itu dikibarkan dengan khidmat oleh Latief Hendraningrat dan Suhud Marokusuma sebagai tanda lahirnya negara Republik Indonesia, adalah hasil jahitan pada malam sebelumnya oleh Ibu Fatmawati, istri dari Presiden Soekarno.

Peristiwa bersejarah lainnya yang perlu dicatat adalah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945 yang berlangsung di Yogyakarta.

Pada awalnya, yang diangkat sebagai Panglima Besar adalah Soepriadi, seorang bekas Shodanco (Komandan Pleton) PETA dari Blitar, yang dikabarkan telah gugur setelah gagal mengadakan pemberontakan terhadap Jepang.

Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Indonesia Patriot (Memoirs) pada halaman 250 mengungkapkan mengenai pembentukan Angkatan Bersenjata Tentara Keamanan Rakyat. Pada 4 Oktober 1945, Didi Kartasasmita mengemukakan kepada Mohammad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, bahwa beberapa teman bekas perwira KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) telah bersedia untuk menyumbangkan tenaganya dalam pembentukan organisasi Angkatan Bersenjata atau Tentara Keamanan Rakyat.

Ketika Mohammad Hatta menanyakan bagaimana ikatannya dengan sumpah kesetiaan KNIL kalau masuk ke dalam Tentara Keamanan Rakyat, dijawab oleh Didi, bahwa hal itu tanggung jawab masing-masing. Didi Kartasasmita juga menyatakan agar diperkenankan untuk menanyakan hal itu pula kepada bekas perwira KNIL yang paling senior yaitu Mayor Oerip Soemohardjo.

Keesokan harinya Mayor Oerip Soemohardjo menghadap Mohammad Hatta karena Presiden Soekarno sedang ke luar kota. Mohammad Hatta menjelaskan Republik Indonesia kini sedang menyusun organisasi angkatan bersenjata yang harus dibentuk secepatnya. Mohammad Hatta menanyakan Mayor Oerip Soemohardjo apakah ia bersedia menerima perintah melaksanakan hal itu. Mayor Oerip Soemohardjo menyatakan kesediaannya melakukan tugas tersebut. Ia juga mengutarakan pendapatnya agar pusar Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat itu sebaiknya didirikan di Purwokerto, di tengah Pulau Jawa. Tetapi seminggu kemudian ia mengubah pendapatnya dan menyatakan sebaiknya di tempatkan di Yogyakarta.

Sebagai Menteri Pertahanan telah dipilih Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal Sudirman (bekas Daidanco, Komandan Batalion PETA) menjadi Panglima Besar Tentara Republik Indonesia.

Dengan demikian organisasi Angkatan Bersenjata Tentara Keamanan Rakyat mulai tersusun mantap. Timbulnya pemikiran ke arah tugas pengangkutan bekas tentara Jepang dan APWI itu, bermula ketika berlangsung perundingan awal dengan pihak Sekutu pada bulan Januari 1946 hingga 23 April 1946, yang menghasilkan persetujuan yang harus dilaksanakan oleh Markas Bekas Tentara Keamanan Rakyat dalam bentuk organisasi POPDA.

PERJANJIAN PENGANGKUTAN APWI ANTARA MARKAS BESAR TENTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN INGGRIS (BAGIAN 5 - SELESAI)

. . . sambungan

Mulai tanggal 28 Februari hingga 3 Maret 1946, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melangsungkan sidangnya. Komite Nasional Indoensia mengkritik politik Soetan Sjahrir mengenai perundingan dengan Belanda sehingga Soetan Sjahrir menyerahkan mandatnya kembali sebagai Perdana Menteri sebelum sempat menjawab usul Belanda (Van Mook). Penyerahan kembali mandat adalah akibat paksaan dan tekanan dari pihak golongan oposisi.
Pada 12 Maret 1946 telah dibentuk Kabinet Parlementer Kedua dan Soetan Sjahrir kembali sebagai Perdana Menteri. Atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Pusat, telah disusun bersama, jawaban Indoensia kepada Belanda atas 6 pasal tersebut. Jawaban disampaikan oleh Soetan Sjahrir kepada Belanda pada 13 Maret 1946. Jawaban tersebut merupakan mandat pemerintah kepada Kabinet Sjahrir yang dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :

"Selama perundingan berlangsung, semua gerakan militer dihentikan dan pihak Republik Indoensia akan melakukan pengawalan dan evakuasi bekas tawanan dan interniran lainnya".

Perundingan pertama Indonesia - Belanda diadakan pada 13 Maret 1946. Sementara itu pada 6 Maret 1946, timbul suatu masalah yang dipandang sebagai selingan. Dalam pembicaraan disinggung mengenai traktat Federation Indo-Chinoise yang terdiri dari Laos, Kamboja, Annam, Cochin-China dan Tonkin. Federasion Indo-Chinoise ini menjadi peserta Union-Francaise.

Van Mook mengajukan penawaran kepada Republik Indonesia yang terdiri dari 4 rumusan :
  1. De facto Negara Republik Indonesia diakui sebagai anggota Gemeenebest bersama dengan Nederland, Suriname, Curacao dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
  2. Menerima tentara Belanda dalam rangka turut meyelesaikan tugas Sekutu.
  3. Penghentian permusuhan antara kedua pihak.
  4. Dijanjikan akan diadakan badan permusyawaratan umum sebagai struktur Negara Indonesia.
Ternyata dalam pertemuan di Hoge Veluwe, usul Republik Indonesia mengenai traktat Vietnam untuk dilakukan di Indonesia telah ditolak oleh Belanda.

Pada 27 Maret 1946 rumusan dalam butir 2 di atas dapat diterima oleh delegasi Indonesia, tentang kedatangan pasukan Sekutu termasuk pasukan Belanda di Jawa dan Sumatera dalam rangka menyelesaikan tugas repatriasi bekas tentara Jepang dan evakuasi APWI.

Kemudian terjadi peristiwa 3 pada Juli 1946, di mana Persatoean Perdjoeangan (Tan Malaka) berhasil menghimpun 143 organisasi guna menjatuhkan pemerintah dengan cara perebutan kekuasaan. Tetapi usaha itu gagal kendati sempat menculik Soetan Sjahrir, Ir. Darmawan Mangunkusumo, Dr. Soemitro, dan Mayor Jenderal Sudibyo (Ketua POPDA).

Pengangkutan pertama para tawanan dan interniran yang diselenggarakan POPDA telah disepakati pada 23 April 1946. Mayor Jenderal Sudibyo mendarat di lapangan udara Kemayoran Jakarta, guna memberikan konfirmasi kepada Sekutu bahwa gelombang pertama transportasi POPDA dlaksanakan 24 April 1946. 

SELESAI.

PERJANJIAN PENGANGKUTAN APWI ANTARA MARKAS BESAR TENTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN INGGRIS (BAGIAN 4)

. . . sambungan

Pembicaraan antara Brigadir Wingrove dengan Mayor Jenderal Sudibyo di Jakarta pada 19 Januari 1946 berkisar pada masalah permintaan bantuan kepada Tentara Keamanan Rakyat untuk mengungsikan anggota APWI yang masih berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur berjumlah sekitar 14.000  sampai 15.000 orang. Pihak Indonesia setuju untuk membantu. Namun terdapat kesulitan untuk menemukan lokasi dari kamp-kamp yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Apa yang telah dirundingkan oleh pihak Sekutu dan pimpinan Tentara Republik Indonesia mengenai pengungsian APWI dan tentara Jepang merupakan perjanjian dalam hukum internasional. Seorang bekas interniran mengatakan : 

".. one must have been released from camp under the terms of RAPWI aggreement to recall that of a genuine international aggreement between the British and Indonesian Republican Authorities."

Kabinet presidensial pemerintah Republik Indonesia dibubarkan pada 14 November 1945, dan dibentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Soetan Sjahrir sebagai Perdana Menteri.
Tiga hari kemudian, pada 17 November 1945, untuk pertama kali Van Mook mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir yang hanya berlangsung selama tiga jam. Hasilnya nihil, karena tidak tercapai kesamaan paham. Waktu itu Van Mook mengatakan tidak mungkin diadakan perundingan jika tidak ada iklim yang menjamin keamanan. 

Sementara itu, pada 4 Januari 1946 pemerintah Republik Indonesia telah pindah ke Yogyakarta. Pada 10 Februari 1946, Van Mook menyampaikan kepada Perdana Menteri Soetan Sjahrir Pernyataan Pemerintah (Statement of Policy) Belanda yang memuat 6 pasal :
  1. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran (Gemeenebest Dominion).
  2. Orang yang dilahirkan di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
  3. Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia sendiri, masalah luar negeri ditangani Kerajaan Belanda.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat akan dibentuk di bawah wakil Mahkota Belanda.
  5. Pemerintah Peralihan (Interim) akan bertugas selama 10 tahun sambil menunggu terbentuknya Pemerintahan Persemakmuran.
  6. Indonesia akan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
. . . bersambung