Berlainan dengan Indonesia-Belanda, diplomasi Inggris harus mengharapi front dari dalam dan luar. Baik dari kalangan politisi Inggris, khususnya partai buruh yang sedang berkuasa, maupun kalangan angkatan bersenjata yang bertugas di Indonesia. Jawa yang ingin secepatnya keluar dari jeratan tugas mengembalikan tawanan perang Sekutu dan tentera Jepanga dari kantong-kantong Jawa.
Untuk ini diperlukan kondisi mantap. Inggris juga melihat kenyataan secara de facto pemerintah Indonesia telah berkuasa. Kendati mendapat tentangan keras dari Belanda, namun prakarsa pertama diplomasi Inggris sebagai penengah adalah mempertemukan kedua pihak di meja perundingan. Ini merupakan gagasan dari kalangan Angkatan Bersenjata Inggris yang diprakarsai Letnan Jenderal Christison. Hal ini menarik Indonesia dan Belanda, karena angkatan bersenjata masing-masing kurang mendukung penyelesaian persengketaan melalui jalur diplomasi.
Pada tahap selanjutnya hingga masa perundingan Hoge Veluwe, dan setelahnya prakarsa Letnan Jenderal Christison kemudian dilanjutkan para diplomat profesional Inggris seperti, Archibald Clark Kerr (kemudian bergelar Lord Inverchapel).
Secara garis besar dapat diuraikan motivasi diplomasi Inggris yang bersedia menjadi penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari pertemuan pertama pada 23 Oktober 1945 di Jakarta hingga penandatanganan Perjanjian Linggajati tanggal 25 Maret 1947, adalah sebagai berikut :
- Tidak menghendaki adanya pergolakan di wilayah Asia karena akan mempengaruhi wilayah dan sekitarnya.
- Pergolakan yang berlarut-larut akan mengundang turut campurnya tangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu anggota permanennya Uni Soviet yang berambisi menanamkan pengaruh di Asia Tenggara
No comments:
Post a Comment