Motivasi diplomasi Belanda dengan tujuan mengembalikan Hindia-Belanda dalam bentuk baru, sesuai dengan situasi dan kondisi dekolonisasi yang berlangsung setelah Perang Dunia II, adalah berdasarkan pidato Ratu Belanda Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (ada yang menyebutkan 7 Desember 1942 sesuai dengan nama Divisi Belanda yang dikirim ke Indonesia), demikian pula pernyataan pemerintah Belanda tertanggal 6 November 1945 menjabarkan dengan dasar pidato Ratu Wilhelmina tersebut.
Konsepsi perundingan yang kemudian diajukan Belanda tanggal 10 Februari 1946 pada hakikatnya merupakan ulangan dari yang pernah dinyatakan tanggal 7 Desember 1942 dan 6 November 1945, baik oleh Ratu Wilhelmina maupun pemerintah Belanda.
Secara garis besar isi ketiga dokumen penting yang memberi motivasi Belanda yang mungkin merupakan perjuangan mereka pula, adalah sebagai berikut :
- Indonesia akan dijadikan negara Gemeenebest (anggota persemakmuran) berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri (self government) di dalam lingkungan Kerajaan Belanda (termasuk Suriname dan Curacao).
- Masalah dalam negeri diurus oleh Indoensia sedang urusan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda.
- Sebelum membentuk Gemeenebest akan diadakan suatu pemerintah peralihan selama 10 tahun.
- Indonesia akan dijadikan anggota PBB.
Apabila Indonesia memiliki tokoh trio selaku pelaksana utama diplomasi perjuangan (Soekarno-Hatta-Sjahrir), maka Belanda di dalam pelaksanaan diplomasi (terutama menjelang perundingan Hoge Veluwe), Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dr.H.J. Van Mook adalah satu-satunya yang tampak menonjol, sehingga terkesan sebagai one man show. Hal ini menimbulkan berbagai kecaman di negeri Belanda, terutama dari golongan ekstremis kolonialis Belanda yang tergabung dalam Indie in Nood (Hindia-Belanda dalam malapetaka).
Seperti yang terjadi di Indonesia, masyarakat di Belanda yang mendukung cara Dr. H.J. Van Mook melalui penyelesaian diplomasi harus menghadapi dua front.
Front pertama, pihak Republik Indonesia dengan jalur diplomasi. Termasuk bekas negara Sekutu yakni Amerika Serikat, dan Inggris yang harus diyakinkan terhadap niat Belanda menyesuaikan diri dengan dekolonisasi setelah Perang Dunia II.
Front kedua, di pihak Belanda selain dari golongan kolonialis juga golongan gereja.Terutama partai Katholik dan pihak militer yang menganggap penyelesaian melalui pertempuran bersenjata jauh lebih efektif. Lebih jauh karena angkatan perang Indonesia masih usia muda dan belum dapat melakukan konsolidasi. Mereka menilai pendekatan diplomasi sangat lamban, kompromisits dan merendahkan martabat bangsa Belanda. Khususnya menghadapi Republik Indonesia "buatan" Jepang yang berada di bawah kekuasaan kaum ekstrimis fanatik yang tidak dapat berpikir secara rasional.
Situasi di Belanda mencapai puncaknya ketika berlangsung kampanye pers secara besar-besaran mendiskreditkan Van Mook. Dia hampir dipecat. Alasan bahwa golongan moderat di Indonesia Soekarno-Hatta-Sjahrir adalah kelompok yang masih dapat diajak berunding atau berdiplomasi, ditolak. Melalui intervensi pribadi Ratu Wilhelmina maka keadaan pun dapat diatasi. Ratu berpendapat tidak selayaknya mengganti seorang panglima yang tengah bertugas di medan perang. Demikian ungkapan mantan Menteri Luar Negeri, Ide Anak Agung Gde Agung.
Khusus pada masa perundingan Indonesia-Belanda menjelang Hoge Veluwe, sebagian besar manuver diplomasi Belanda merupakan prakarsa Van Mook. Dia melakukan konsultasi yang erat dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dengan dukungan Soekarno-Hatta. Selain itu Inggris memberikan tekanan secara terus menerus.
Prakarsa Van Mook dan Soetan Sjahrir melalui Hoge Veluwe gagal. Kegagalan itu membawa dampak negatif bagi kedua tokoh tersebut serta memperkuat keyakinan para penentang diplomasi di Belanda maupun Indonesia, bahwa penyelesaian melalui jalur diplomasi hanya membuang waktu.
Kedua tokoh pelaku diplomasi Indonesia dan Belanda ini patut dicatat sebagai diplomat yang berpenampilan tenang dan tegar di dalam menjalankan misi masing-masing negara. Kendati menghadapi tantangan dari dalam maupun luar yang berat, mereka tetap bertahan.
Hubungan Van Mook dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir sangat menarik. Seolah-olah terjadi hubungan pribadi yang akrab, sehingga selama perundingan diplomasi berlangsung mampu mampu menjembatani perbedaan antara delegasi Indonesia dan Belanda. Baik pada masa menjelang perundingan Hoge Veluwe maupun setelahnya.
Di dalam buku "Indonesie, Nederland en de Wereld" Van Mook menyatakan sejak pertemuan pertama dengan Soetan Sjahrir, dia secara pribadi telah tertarik dan menilai Soetan Sjahrir seorang yang memiliki "krachtige en aantrekkelijke persoonlijkheid" (berkepribadian kuat dan menarik).
Apakah Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga memiliki penilaian yang sama terhadap Van Mook, hingga hari ini tidak pernah terungkap. Namun yang jelas, hubungan pribadi kedua tokoh diplomasi ini langsung atau tidak telah mampu mengatasi berbagai jalan buntu selama perundingan.
No comments:
Post a Comment