. . . lanjutan
Selain itu ABRI berhasil menegakkan kewibawaan negara terhadap berbagai pergolakan di daerah, percobaan kudeta dan pemberontakkan. ABRI telah memprakarsai dan mendorong pembangunan berencana serta memberi dukungan penuh dalam meletakkan landasan yang kukuh bagi bangsa Indonesia memasuki tahap tinggal landas.
Apabila hal ini dikaitkan dengan amanat Jenderal Urip Sumohardjo pada saat pelantikannya, "tentara kami adalah 70 juta (seluruh) rakyat Indonesia", maka prioritas diplomasi pada perang kemerdekaan itu adalah diplomasi perjuangan. Suatu sifat diplomasi Indonesia yang beberapa puluh tahun kemudian dirumuskan secara lebih terperinci oleh Presiden Soeharto, tanggal 12 September 1978.
Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Veluwe muncul berbagai dilema. Suatu dilema yang harus dihadapi para diplomat Indonesia maupun Belanda adalah tekanan langsung dan tidak langsung dari kaum politisi di negeri masing-masing. Tekanan itu datang dari golongan pendukung perundingan dan golongan yang ingin menuntaskan penyelesaian secepatnya di medan pertempuran.
Inggris selaku penengah di dalam perundingan antara Indonesia-Belanda tidak luput dari dilema. Inggris yang turut terlibat dalam persengketaan kedua negara itu menyimpan keinginan mendukung Belanda. Karena Belanda adalah teman seiring dalam Blok Negara Sekutu Perang Dunia II. Namun di lain pihak Inggris ingin segera keluar dari jeratan persengketaan serta secepatnya mengupayakan proses perundingan Indonesia-Belanda agar berhasil.
Faktor penting yang turut mempengaruhi adalah proses dekolonialisasi yang sedang melanda jajahan Inggris pada saat itu, yakni India dan Burma. Pada waktu itu Inggris tidak mungkin memberikan prioritas untuk melakukan penyelesaian melalui perang senjata karena sebagian besar tentaranya terdiri dari pasukan-pasukan India, dan pasukan ini dalam keadaan lelah berperang. Selain itu didesak oleh para penguasa India untuk segera kembali.
Latar belakang di atas turut berpengaruh terhadap motivasi yang menggerakkan berbagai manuver para diplomat Indonesia, Belanda dan Inggris. Terutama pada saat-saat menjelang perundingan Hoge Veluwe.
Kelompok nasionalis pejuang pendukung taktik dan strategi diplomasi perjuangan yang diprakarsai tokoh trio Soekarno-Hatta-Sjahrir terpaksa harus menghadapi dua front.
Front pertama, adalah Belanda yang masih harus diyakinkan tentang kesanggupan Republik Indonesia menjadi negara yang sungguh-sungguh merdeka. Bukan suatu negara "buatan" Jepang. Diplomasi perjuangan itu berlandaskan isi Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 maupun makna keputusan Badan Pekerja KNIP tanggal 17 Oktober 1945 serta Maklumat Politik Republik Indonesia 1 November 1945.
Pada hakikatnya diplomasi perjuangan, terpaksa menempuh jalan berliku-liku. Dituntut kesabaran yang tinggi untuk mencapai pengakuan eksistensi Republik Indonesia. Tidak saja oleh Belanda tetapi juga oleh masyarakat dunia, terutama yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Front kedua, unsur-unsur revolusioner di dalam negeri yang tergabung dalam Persatoean Perdjoeangan pimpinan Tan Malaka yang ingin lebih tegas menghadapi Belanda. Mereka menguras seluruh ketekunan rasional, kepala dingin dan kesabaran para pendukung diplomasi perjuangan pimpinan Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Unsur-unsur dalam negeri tersebut selalu menganggap diplomasi perjuangan yang dilakukan Soekarno-Hatta-Sjahrir sangat lambat dan terlalu kompromistis. Mereka menganggap jalur diplomasi tidak menjamin tercapainya sasaran kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Ucapan bernada keras dari unsur-unsur revolusioner terhadap kelompok pelaku diplomasi perjuangan, hampir memecah persatuan kubu perjuangan Republik Indonesia. Bahkan hampir menggagalkan proses perundingan diplomasi perjuangan yang tengah berlangsung. Ucapan itu sesungguhnya ditujukan kepada Soekarno-Hatta sebagai "kolaborator Jepang" dan kepada Soetan Sjahrir dan kawan-kawan sebagai "antek Belanda"/
Upaya-upaya menggagalkan diplomasi perjuangan juga dilancarkan oleh "front pertama", khususnya Belanda yang ingin memanfaatkan pertentangan antar kelompok pendukung diplomasi perjuangan. Taktik devide et impera dilakukan antara lain dengan memberi nama kelompok "moderat" bagi para pendukung diplomasi perjuangan dan kelompok "ekstrimis" yang bukan pendukung.
Kelompok moderat, menurut Van Mook lebih mudah didekati. Kenyatan ini memberikan bukti bagi para pejuang yang kurang setuju dengan jalur diplomasi perjuangan. Serta memperkuat tuduhan bahwa Soetan Sjahrir dan kawan-kawan adalah antek Belanda yang selalu bersedia memberi konsesi atau secara kasar diungkapkan "menjual bangsa dan negara".
Kontroversi ini tidak hanya berkecamuk di pihak Republik Indonesia, tetapi juga di kubu Belanda.
SELESAI.
No comments:
Post a Comment