Suasana memanas. Pendaratan tentara Sekutu dicurigai membawa pasukan-pasukan NICA Belanda, sehingga mengakibatkan pertempuran antara lain di Semarang dan Surabaya. Akhirnya pertemuan Indonesia-Belanda diselenggarakan di Jakarta bertempat di paviliun kediaman Letnan Jenderal Christison, tanggal 23 Oktober 1945.
Semula, Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Indonesia. Karena paksaan Inggris, serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja perundingan. Di sini mulai tampak peranan diplomasi perjuangan Indonesia.
Dr. H.J. Van Mook menyatakan :
"In de wereld van die dagen had nu eenmaal de sensationele stichting van de republiek een groot aantal reacties te hare gunste opgewekt.. Daarom heb ik ook toen geemeend zulk een eerste contact niet te moeten weigeren" (...pada waktu itu pembentukan republik yang begitu sensasional telah menimbulkan berbagai reaksi dukungan dunia. Atas alasan ini maka saya berpendapat bahwa kontak pertama dengan pihak republik tidak dapat diabaikan).
Ini merupakan kemenangan pertama bagi diplomasi perjuangan Indonesia. Pertemuan tersebut di atas merupakan penjajakan informal (tidak resmi) terhadap posisi masing-masing. Perlu diingat pada saat itu masing-masing negara mengajukan posisi secara maksimal.
Presiden Soekarno hadir pada pembukaan pertemuan. Di Negeri Belanda hal ini menimbulkan berbagai kecaman terhadap Van Mook. Sementara itu kecaman di dalam negeri muncul pula karena pertemuan pertama itu berlangsung secara akrab sehingga kalangan "Persatoen Perdjoeangan" menuduh sebagai pertemuan antek Belanda. Menurut Van Mook pertemuan pertama itu diliputi suasana "sfeer van gemoedelijkheid en oude relatie" (suasana akrab antar sahabat lama).
Sebagai penengah, dipandang dari posisi Letnan Jenderal Christison, manuver diplomasi Inggris dapat disamakan dengan diplomasi modern confidence building measures. Suasana akrab dan bersahabat ini dapat dipertahankan oleh Soetan Sjahrir dan Van Mook sampai akhir perundingan Hoge Veluwe. Kendati berada ditengah hangatnya konflik senjata serta kecaman di kubu Indonesia dan Belanda.
Pertemuan pertama yang berlangsung akrab ini, tetap tidak menjembati posisi delegasi Indonesia yang menginginkan pengakuan secara penuh, yang meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda, sesuai pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (hak penentuan nasib sendiri Indonesia, tetapi tetap dalam lingkungan Gemeenebest Kerajaan Belanda), sesuai posisi yang ditawarkan Belanda.
Antara perundingan pertama dan kedua yang berlangsung di Jakarta tanggal 10 Februari 1946, terjadi berbagai gejolak yang meningkatkan suhu konflik bersenjata, sehingga pemerintahan terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta.
Terjadi konflik politis di dalam kubu Indonesia dan Belanda yang pada hakikatnya tepat memberikan peranan di meja perundingan melalui diplomasi Soetan Sjahrir dan Van Mook. Peranan Inggris sebagai penengah diserahkan kepada diplomat profesional, Sir Archibald Clark Kerr, Duta Besar Inggris di Moskow. Kehadiran diplomat profesional Inggris itu merupakan hasil persetujuan Inggris-Belanda di Chequers (peristirahatan PM Inggris Attlee), tanggal 25 Desember 1945, sebagai upaya mengatasi deadlock pada pertemuan pertama.
Kelanjutan perundingan Indonesia-Belanda serta peranan penengah Inggris, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tekanan dari Partai Buruh Inggris yang sedang berkuasa dan pihak Amerika Serikat turut berpengaruh. Tampilnya diplomat profesional Inggris sebagai penengah kemungkinan besar karena pihak militer Inggris selaku pemrakarsa perundingan terpengaruh suara-suara negatif, sebagai akibat terbunuhnya Brigadi Mallaby. Seperti diketahui, Mallaby (Jenderal Inggris) terbunuh dalam pertempuran Surabaya. Hingga kini tidak diketahui siapa pembunuh Jenderal Mallaby.
Perundingan kedua berlangsung secara informal dan akrab. Dalam rangka confidence building measures peranan utamt masih tetap dilakukan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Van Mook. Van Mook telah melakukan konsultasi ke Den Haag dan kembali membawa usul-usul kompromi baru.
Usul kompromi Belanda pada intinya adalah masih mempertahankan konsep Gemeenebest, namun di atas persamaan kedudukasn dan penentuan nasib sendiri, setelah masa transisi sepuluh tahun. Diusulkan pula tata cara konsultasi dan arbitrasi penentuan hubungan selanjutnya antara Indonesia-Belanda. Untuk mengatasi kecurigaan pihak Republik Indonesia, Belanda dalam penjelasan tambahan tanggal 22 Februari 1946 menawarkan konsep federasi. Delegasi Indonesia tidak menerima begitu saja, tetapi berjanji akan mempelajari usul-usul tersebut setelah konsultasi dengan Pemerintah Republik Indonesia, KNIP.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment