. . . lanjutan
Pada tanggal 16 Oktober 1945, Ir. Soerachman, Menteri Ekonomi Republik Indonesia menyampaikan surat kepada Kepala Dewan RAPWI yang menegaskan kesediaan pihak Republik Indonesia untuk bekerja sama dengan RAPWI atas dasar peri kemanusiaan. Tetapi kehadiran tentara Belanda telah menimbulkan berbagai keresahan. Sulit untuk membedakan pakaian seragam tentara Inggris dan tentara Belanda.
Selanjutnya dalam surat itu, Ir. Soerachman mengatakan bahwa suatu syarat utama untuk memulihkan ketenteraman agar Sekutu tidak menggunakan tentara Belanda. Biarkan mereka tetap di atas kapal atau di dalam tangsi (a prerequisite to restore tranquility is thus not to employ any more Dutch forces and to keep them either on board or within barracks). Demikian antara lain isi nota protes Soerachman kepada RAPWI pusat.
Insiden-insiden yang terjadi seperti disebutkan dalam nota protes Ir. Soerachman digambarkan ketika tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Ooyen kembali di Indonesia. Bersamaan dengan kedatangan Jenderal Van Ooyen tampak pula adanya patroli Belanda di seputar jalan-jalan kota Jakarta. Pasukasn KNIL yang terdiri dari orang Belanda dan suku Ambon itu melakukan tindak perampokan secara membabi buta. Apa saja yang mereka curigai, mereka tembak. Mereka sengaja berburu apa saja yang dapat dirampok dari rumah-rumah pribadi penduduk dan menangkap siapa saja menurut kehendak mereka tanpa disertai surat penangkapan resmi.
Sebagian besar yang menjadi sasaran dan korban mereka adalah rumah penduduk yang tidak berdosa sehingga menimbulkan insiden demi insiden. Melihat keadaan yang gawat itu, Presiden Soekarno memerintahkan kepada kaum nasionalis Indonesia agar menyingkir untuk menjaga keselamatan mereka. Demikian pula kepada anggota-anggota kelompok bersenjata supaya menghindari jalan-jalan di Jakarta. Keadaan di jalan-jalan kota Jakarta pada pukul 20:00 sudah sunyi. Hanya kegiatan patroli Belanda yang terus-menerus melakukan perampokan. Hal itu menunjukkan cerminan kewibawaan Presiden Soekarno terhadap rakyatnya, demikian diuraikan dalam buku George Mc.T Kahin.
Apabila terjadi sengketa di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, tentu saja dapat dipahami karena pasukan Inggris dan Belanda ingin menguasai wilayah yang sangat penting dan strategis bagi Republik Indonesia. Kehilangan wilayah berarti atribut sebagai negara dalam hukum internasional pun akan hilang. Adanya bentrokan yang terjadi itu, telah memperoleh perhatian besar dari wartawan asing.
Mr. Ali Sastromiadjojo sebagai pegawai tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam buku 'Tonggak-tonggak di Perjalananku', antara lain mengisahkan bahwa para wartawan asing yang ingin masuk ke pedalaman Indonesia harus mendapatkan surat pass dari pemerintah sebagai visa bagi mereka. Hal ini adalah salah satu contoh peraturan yang dikeluarkan secara efektif yang menurut hukum internasional merupakan suatu perwujudan dari kedaulatan Republik Indonesia.
Peristiwa Surabaya patut memperoleh perhatian khusus dalam sejarah perang kemerdekaan bangsa Indonesia. Perang yang timbul antara tentara Inggris dan Indonesia telah menampilkan sosok perwujudan kedaulatan Indonesia kepada dunia luar sebagai subyek hukum internasional. Dalam hubungan ini, tentara Inggris tidak semata-mata melaksanakan tugas RAPWI, tetapi juga ingin menguasai kota Surabaya dan menduduki gedung-gedung resmi serta membiarkan Belanda kembali berkuasa dengan memasang lagi bendera Belanda, bahkan menyebarkan pamflet melalui pesawat udara berisikan perintah agar TKR dan para pemuda menyerahkan senjata mereka kepada Inggris. Upaya itu tidak lain bertujuan hanya untuk melicinkan jalan bagi Belanda kembali menduduki dan menguasai kota Surabaya sesuai dengan isi Perjanjian Inggris-Belanda dalam Civil Affairs Aggreement, 24 Agustus 1945.
Pertempuran terjadi karena rakyat dan pemuda Surabaya bersama Tentara Keamanan Rakyat tidak menginginkan Belanda kembali ke kota mereka. Tentara Inggris ternyata tidak mampu menghadapi perlawanan sengit dari pihak Indonesia sehingga mereka akhirnya minta bantuan Presiden Soekarno untuk menghentikan pertempuran. Permintaan itu kemudian dipenuhi oleh beliau, yang dalam perundingan 29 Oktober 1945 pukul 19:30 menghasilkan persetujuan gencatan senjata. Peristiwa ini merupakan perjanjian internasional yang mengandung 6 syarat.
Apabila sesudah tanggal 30 Oktober 1946 masih terdapat warga Belanda yang diangkut ke Jakarta sampai bulan Mei 1947 dengan kereta api POPDA, hal itu dilakukan bukanlah berdasarkan kewajiban perjanjian Indonesia dengan Sekutu, tetapi harus ditafsirkan atas pertimbangan peri kemanusiaan seperti apa yang dinyatakan oleh Ir. Soerachman, Menteri Perekonomian RI dalam suratnya pada 16 Oktober 1945 kepada Kepala RAPWI Inggris.
SELESAI.
No comments:
Post a Comment