. . . lanjutan
"Di mana pemerintah Belanda tidak berfungsi, anda dapat memanfaatkan para pemimpin Indonesia yang memegang pemerintahan lokal untuk masalah keamanan dan ketertiban".
Atas dasar kesadaran anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan para pemuda, maka ketika Letnan Jenderal Christison mendarat di Jakarta telah mendapat pengawalan TKR dari Tanjung Priok sampai kota Jakarta. Demikian pula halnya ketika Van Mook mendarat di Tanjung Priok pada tanggal 22 September 1945 harus dikawal oleh TKR. Kenyataan tersebut adalah suatu bukti bahwa anggota TKR pun telah menjalankan tugas perjuangan yang patut memperoleh penilaian sebagai sumbangan kepada diplomasi maupun perang.
Pengalaman Letnan Jenderal Christison dan Van Mook dalam perjalanan dari Tanjung Priok sampai Jakarta dengan pengawalan anggota TKR, mereka dapat membaca sendiri tulisan slogan-slogan yang terpampang dan bernada tidak menghendaki lagi kehadiran Belanda di Indonesia.
Perlu dicatat pula mengenai tugas yang dilakukan para taruna Akademi Militer Tangerang pada bulan Desember 1945. Mereka bertugas mengantarkan paket perbekalan RAPWI dari Jakarta ke Bandung selama tiga kali, yang dalam pola diplomasi, menurut A. Toynbee disebut sebagai suatu jawaban atas suatu tantangan (Challenge and Response).
Mr. Muh. Yamin seorang ahli sejarah dan tokoh politik Indonesia di dalam bukunya Sapta Parwa II menyebutkan bahwa memang adalah suatu ciri khas yang selalu timbul dalam sejarah diplomasi karena perang itu akibat tindakan manusia yang berjuang.
Dari pembicaraan antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Letnan Jenderal Christison dalam upaya menciptakan keadaan yang stabil, telah tercapai kesepakatan bahwa TKR harus meninggalkan kota Jakarta. Resimen TKR di Jakarta terpaksa pindah ke Cikampek. Menurut A. Toynbee ini merupakan pola diplomasi mundur setapak untuk kemudian kembali maju (withdrawal and return). Soetan Sjahrir sebagai seorang diplomat yang berkaliber sering menggunakan taktik ini dalam perjuangan diplomasi.
Dampak perlawanan militer dan diplomasi Indonesia diakui pula oleh Laksamana Mountbatten. Dalam suratnya kepada Markas Besar Angkatan Perang di London para 11 Oktober 1945 dilaporkan :
- Indonesia menahan 10.000 orang tawanan APWI dalam kamp-kamp yang digunakan sebagai sandera.
- Pemerintahan ada di tangan Repulik Indonesia, mereka mengancam untuk melumpuhkan sarana pemerintah dengan melancarkan pemogokan.
- Angkatan Perang Indonesia memiliki persenjataan lengkap ex Jepang, dan terlatih. Diperkirakan jika Sekutu diikuti oleh Belanda, Indonesia akan melepaskan tembakan ke arah Sekutu. Hal yang demikian, telah terjadi di Surabaya sesudah mendengarkan seruan Panglima Besar Soedirman melalui siaran radio.
Jenderal A.H Nasution juga memberikan peringatan tentang kemungkinan adanya orang-orang Belanda yang menyamar sebagai anggota Sekutu dengan berbicara bahasa Inggris dan menyelinap masuk dalam rombongan RAPWI. Pihak pejabat Indonesia terpaksa memberikan pelayanannyakarena mereka bertindak selaku utusan Internasional.
Orang-orang Belanda ini secara teratur menyusun kekuatan di kamp-kamp interniran agar dapat menerbut kembali kekuasaan dari Jepang, dan segera menempati kembali jabatan-jabatan dalam pemerintahan Hindia-Belanda seperti Residen serta instansi lain pada departemen-departemen di seluruh Indonesia di samping membentuk pasukan kepolisian untuk menjaga keamanan. Tetapi konsolidasi kekuatan yang dilakukan Belanda itu, kemudian dilarang oleh pimpinan Sekutu. Hanya Sekutu yang boleh berhubungan dengan pihak Jepang di Indonesia. Jepang tidak diperbolehkan menyerahkan pemerintahan mereka secara langsung kepada Belanda dan Indonesia.
Pengaturan pemerintah dan militer Indonesia yang berlangsung dengan baik, telah membuat Laksamana Mountbatten mengeluarkan perintah agar para tawanan dan interniran itu tidak meninggalkan kamp-kamp mereka karena keselamatan mereka berada di tangan Sekutu. Sehubungan dengan hal di atas telah terjadi peristiwa yang unik.
Spit adalah mantan wakil ketua Volkstraad dan menurut hukum tata negara Hindia-Belanda, menjadi orang kedua yang berkuasa jika Gubernur Jenderal berhalangan. Para tanggal 1 September 1945, Spit yang didampingi Ny. Starkenborgh serta Kolonel Voorts dari KNIL meminta kepada komandan Jepang agar menyerahkan pemerintahan kepada mereka. Tetapi permintaan ini ditolak oleh komandan Jepang, bahkan mereka lalu dikembalikan ke dalam kamp Cideng.
Contoh lain yang merupakan diplomatic demarche (nota protes) yang dikirim pihak Indonesia, adalah ketika berlangsung penyusupan tentara Belanda yang mengikuti rombongan RAPWI. Akibatnya, secara beruntun telah terjadi insiden, dimana orang-orang Belanda melakukan penurunan bendera Merah-Putih dan merebut gedung-gedung pemerintah serta sarana angkutan. Pelaksanaan tugas para pejabat Republik Indonesia dalam menyelenggarakan pengungsian APWI yang tadinya berjalan lancar, telah terhalang dan menghadapi kendala akibat penyusupan orang-orang Belanda.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment