Translate

Friday, March 24, 2017

PENGANGKUTAN DAN EVAKUASI DEMI PERI KEMANUSIAAN (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Anjuran Letnan Jenderal Christison diterima baik oleh pihak Republik Indonesia dan penyelenggaraan angkutan ini dilakukan sama seperti selanjutnya, yaitu dua kali seminggu. Setelah berlangsung sekitar sebulan, dari pihak Belanda meminta agar frekuensi angkutan itu dikurangi sebab sarana akomodasi di Jakarta sebagai kamp transito telah terlalu penuh sehingga tidak mampu lagi untuk menampung mereka. Kemudian angkutan hanya dilakukan sekali seminggu sekali. Laporan dari dinas khusus Markas Besar Tentara Republik Indonesia telah menguraikan situasi dan kondisi itu, khususnya dalam kamp-kamp interniran.
Setelah terjadi peristiwa Surabaya (10 November 1945), pada bulan Desember 1945 situasi dan kondisi berkembang cepat di pulau Jawa. Perkembangan ini sangat mempengaruhi situasi kamp wanita di Makassar, Jakarta yang ditutup karena alasan untuk menjaga keamanan. Pihak Belanda merasa prihatin tentang keadaan di kamp-kamp di Jakarta karena sebagai kamp transito sudah sarat dengan penghuni, juga keamanan para warganya terancam sehingga mereka terpaksa melakukan penjagaan. Kamp Cideng dan Adek harus menampung APWI yang datang dari Jawa Tengah, sementara penghuni lama masih harus menunggu angkutan untuk repatriasi di kamp transito.

Situasi keamanan kamp-kamp yang tersebar di pedalaman pulau-pulau Jawa pada bulan September - November 1945 juga makin mengkhawatirkan. Melalui upaya Palang Merah Internasional, RAPWI dengan pertolongan sekadarnya dari Jepang, memindahkan para penghuni kamp ke ibukota daerah atau tempat lain yang dianggap lebih aman agar memudahkan proses repatriasi. Untuk menghindari terjadinya tembak-menembak para penghuni kamp diperingatkan dengan keras agar tidak meninggalkan kamp mereka.

Selanjutnya laporan itu menyebutkan, warga Amerika, Inggris dan Belanda asli pada bulan September 1945 telah diangkut. Warga Belanda lainnya hingga beberapa bulan kemudian masih belum memperoleh kontak dengan keluarga atau saudara mereka. Atas kebaikan hati Inggris, mereka diizinkan mengirim berita telegram ke Belanda dengan isi teks baku dan terbatas "aman di tangan Inggris" (safe in British hands).

Kendala itu dialami karena Belanda belum memiliki sarana angkutan kapal laut dan pesawat udara yang memadai untuk merepatriasi warganya yang berada di Asia menuju Eropa. Kapal-kapal Belanda yang masuk pool Sekutu dalam Perang Dunia II dengan susah payah baru dua buah dapat dibebaskan. Pada bulan September 1945 warga APWI Australia baru dapat berangkat meminggalkan Jakarta.

Akhirnya Belanda, menyewa pesawat terbang pengangkut Amerika di bawah nama Dinas Angkutan Udara Pemerintah Belanda (De Nederlands Regeeringsluchttransport Dienst) yang mulai berfungsi sejak 19 November 1945. Kemudian pada bulan Desember 1945 transportasi skala besar dimulai dengan menggunakan kapal laut Nieuw Amsterdam dan Oranje yang bertugas nonstop selama masa tahun 1946 sampai 1947.

Pada awall 1946 sekitar 4.500 orang wanita dan anak-anak telah dapat diberangkatkan dari Pulau Jawa dan Sumatera ke Thailand untuk mempersatukan mereka dengan keluarga (Family Reunion). Di sana mereka masih ditempatkan dalam kamp untuk menunggu angkutan repatriasi.

Rombongan APWI yang terakhir tiba di Jakarta dari Malang pada tanggal 23 Mei 1947. Kelonggaran yang diberikan oleh pihak pemerintah Republik Indonesia kepada Belanda yang bersifat peri kemanusiaan telah banyak membantu meringankan situasi dan kondisi para penderita warga Belanda. Pada waktu itu, Belanda ternyata tidak mampu lagi menyediakan akomodasi kamp transito yang baru untuk mereka sehingga angkutan peri kemanusiaan oleh POPDA dihentikan.

Langkah ini dilakukan setelah pihak Belanda memberitahukan bahwa warganya yang harus ke Jakarta dari daerah pedalaman Pulau Jawa telah memenuhi harapan mereka. Dengan demikian, berakhir pulalah operasi POPDA yang telah melaksanakan tugas internasional Republik Indonesia yang pertama hingga memantapkan kedudukan di mata dunia.

SELESAI.

No comments:

Post a Comment