Kota Solo dipilih oleh AFNEI dan Markas Besar Tentara Republik Indonesia sebagai pusat POPDA. Dari kota ini, transportasi udara maupun kereta api diselenggarakan ke tempat transito guna pengangkutan selanjutnya dari pulau Jawa ke Pulau Galang. Pos komando (posko) POPDA I juga membuka kamp yang dilengkapi dengan poliklinik dari Palang Merah Indonesia guna merawat bekas tawanan dan interniran yang sakit. Pada bulan Mei 1946, telah diangkut APWI dari Solo ke Semarang dengan pesawat terbang untuk selanjutnya diteruskan ke Pulau Galang.
POPDA II dibuka di Malang sebagai pusat pengumpulan APWI di Jawa Timur, yang sebagian diangkut ke Surabaya. Pada waktu itu, terjadi gangguan terhadap kapal yang mengangkut APWI karena ditahan oleh kapal perang Belanda Evertsen sehingga menyebabkan hambatan. Pihak Republik Indonesia mengajukan protes mengenai kejadian tersebut. Karena itu, ditempuh kebijaksanaan selanjutnya bahwa transportasi bekas tawanan dan interniran itu diselenggarakan dengan kereta apo untuk menghindarkan gangguan semacam itu.
POPDA III dibuka di Tegal yang berfungsi untuk menampung APWI dari daerah pantai. Di samping itu, pihak Republik Indonesia juga bertugas mengangkut dan menyalurkan bekas tentara Jepang. Untuk itu telah dibuka kantor POPDA IV di Probolinggo khusus untuk mengangkut bekas tentara Jepang dari seluruh Jawa.
POPDA Pusat (POPDA I) harus mengumpulkan semua data dan menentukan jadwal transportasi ke daerah yang dikuasai Sekutu. Dalam melaksanakan operasinya POPDA bekerja sama dan memberi wewenang (desentralisasi) kepada para komandan tentara setempat yang bertanggung jawab atas keperluan lokal daerah masing-masing.
Komite Nasional Indonesia setempat juga turut mengatur urusan pengungsian itu dari daerah lokasi yang kecil-kecil, dan meneruskannya kepada tentara di Jawa Timur di mana seorang penghubung ditempatkan untuk mengatur jalannya operasi. Para penghubung ini memantau terus gerakan transportasi dengan mencatat dara yang mutakhir untuk dilaporkannya kepada POPDA Pusat di Solo.
Kegiatan operasi POPDA tidak mungkin berjalan dengan baik, jika pihak pemerintah dan tentara tidak mendukung keamanan pelaksanaannya. Pada bulan April 1946, pemerintah menyerukan dan mengimbau agar semua golongan nasional yang sedang berjuang turut membantuk pengungsian POPDA. Seruan itu, ternyata dipatuhi semua pihak.
Markas Besar Laskar Hizbullah turut membantu Tentara Rakyat Indonesia hingga tidak pernah terjadi konflik dan provokasi. Para Komandan Divisi diimbau agar pasukan di bawah komandonya bersikap bijaksana demi kelancaran transportasi APWI. Melalui siaran radio di Surabaya, Bung Tomo yang mempunyai peran besar dalam membangkitkan semnagat rakyat melawan Sekutu, dengan tegas menyerukan agar mendukung keberhasilan pelaksanaan transportasi bekas tentara Jepang dan APWI itu. Terhadao mereka yang mengganggu operasi transportasi tersebut akan dikenakan hukuman.
No comments:
Post a Comment