Berita mengenai perkembangan situasi dan kondisi di Indonesia itu sampai kepada Laksamana Mountbatten pada 26 September 1945 yang telah mengubah kebijakan tindakan Sekutu. Kemudian Sekutu melarang Belanda mengambil alih pembinaan keamanan di Pulau Jawa dan Sumatera. Laksamana Mountbatten dalam kunjungannya ke Indonesia, hanya akan mendarat di Jakarta dan Surabaya. Belanda sangat marah karena Sekutu mengharuskan agar Belanda berunding dengan Indonesia.
Pengangkutan rombongan APWI dengan pesawat udara, diberangkatkan dari lapangan terbang Panasan (Solo). |
Letnan Jenderal Christison yang pada 26 September 1945 ditunjuk untuk memimpin AFNEI, mendarat di Jakarta 29 September 1945 ditambah satu detasemen Belanda. Tugasnya adalah untuk melucuti senjata bekas tentara Jepang dan mengangkut APWI, serta membagikan bahan pangan dan obat-obatan melalui RAPWI Sekutu. Letnan Jenderal Christison mengira bahwa di luar daerah kunci tidak terdapat orang-orang interniran. Tetapi perkiraan itu tidak tepat.
Sejak Oktober 1945 Republik Indonesia telah mendirikan kamp-kamp di beberapa tempat sebagai persiapan pengumpulan para interniran untuk disalurkan ke pusat terminal dan kemudian hari pengangkutannya dapat dilanjutkan. Data jumlah interniran yang dimiliki langkah Sekutu itu ternyata tidak tepat, sehingga menghadapi kesulitan pada awal penangannya.
Sementara itu, para pemuda Indonesia meminta Presiden Soekarno untuk membentuk tentara dan juga organisasi perjuangan. Dalam hubungan ini, Jepang menunjukkan sikap pasif. Bahkan di beberapa tempat Jepang menyerahkan senjata mereka kepada para pemuda atau ditukar dengan barang kebutuhan hidup sehari-hari yang diperlukannya seperti bahan pangan. Sebagai contoh, di Semarang, pihak tentara Jepang menukarkan senjatanya dengan barang, sedang di Surabaya mereka menyerahkan kepada Tentara Republik Indonesia dalam jumlah yang dapat dimanfaatkan ketika terjadi pertempuran sengit bulan November 194. Di daerah Jawa Barat, Bandung dan Jakarta, hal itu tidak terjadi.
No comments:
Post a Comment