Translate

Sunday, January 25, 2015

KONTAK DENGAN SEKUTU

Pemindahan Kekuasaan Medan Mandala

Wilayah Indonesia tadinya berada dalam komando Barat Daya Pasifik (S.W.P.A) di bawah Jenderal MacArthur. Tetapi menurut ketentuan Persetujuan Postdam sejak tanggal 15 Agustus 1945 digeser ke dalam Komando Asia Tenggara (S.E.A.C) di bawah Laksamana Lord Louis Mountbatten. Menurut Howard Jones hal itu terjadi karena desakan Presiden Roosevelt yang tidak menginginkan pasukan Amerika Serikat terlibat dalam soal pengembalian daerah jajahan Belanda.

Pemindahan kekuasaan medan mandala itu diputuskan tanpa memberitahukan pemerintah Belanda dan karena itu pemerintah Belanda merasa dilangkahi. Hal tersebut terjadi karena waktu yang mendesak dan latar belakang sejarah peperangan di Asia Tenggara. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada bala tentara Jepang tahun 1942, Belanda pun melakukan hal yang sama tanpa memberitahu lebih dahulu sekutu-sekutunya, tentara Inggris, Australia dan Amerika Serikat di Pulau Jawa, sedangkan mereka masih bersiap-siap untuk bertempur terus melawan tentara Jepang.

Di pihak Belanda terdapat dua macam pandangan tentang pemindahan Indonesia dari Komando Barat Daya Pasifik ke Komando Asia Tenggara. Van Mook dan van Kleffens masing-masing menjabat sebagai Menteri Jajahan dan Menteri Luar Negeri Belanda dalam Kabinet Gerbrandy. Semasa perang dia menyatakan bahwa mereka lebih menyukai bila Indonesia tetap berada di bawah juridiksi Amerika Serikat, karena Komando Barat Daya Pasifik mempunyai kapal-kapal transpor, pesawat terbang dan angkatan darat lebih banyak daripada Komando Asia Tenggara. Hubungan pribadi Van Mook dan Jenderal MacArthur berjalan baik karena kerjasama yang pernah dilakukan pada waktu pengambilalihan kekuasaan di Irian (New Guinea) dari tangan Amerika Serikat kepada pemerintah Hindia Belanda.

Sedangkan Perdana Menteri Gerbrandy dan anggota-anggota kabinet lainnya menyatakan bahwa pemindahan kekuasaan kepada Inggris secara politis akan lebih menguntungkan, jarena Amerika Serikat tidak akan bersedia membantu Belanda mengembalikan tanah jajahannya kapada Belanda.

PENGAKUAN TERHADAP REPUBLIK INDONESIA YANG DIRAHASIAKAN (... BAGIAN II)

... Mengapa hal itu dapat terjadi, sehingga semua pengakuan de facto seakan-akan sama sekali tidak ada pengaruhnya? Kalaupun ada yang mau mengakuinya memberikan kepadanya predikat terselubung? Sebabnya tak lain adalah karena Sekutu dan dalam hal ini Inggris yang baru saja keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, telah menandatangani Civil Affairs Agreement di London tanggal 24 Agustus 1945 dengan sekutunya (Belanda) yang berarti telah memberikan pengakuan de jure kekuasaan Belanda terhadap jajahannya Hindia Belanda.

Inggris yang bertanggung jawab menyelesaikan akibat-akibat perang di Asia Tenggara ternyata menepati janjinya, sehingga Belanda yang tadinya tidak mempunyai tempat bertumpu sejak diusir oleh Jepang dari Indonesia, kini telah mulai mempunyai kedudukan kuat berkat bantuan Inggris. Tapi Inggris disamping itu mengimbanginya dengan tindakan memaksa Belanda agar bersedia menyelesaikan sengketanya dengan Indonesia secara damai melalui perundingan banhkan Inggris menyediakan perantara.

Belanda yang bertekad untuk kembali menjajah Indonesia melihat Republik Indonesia sebagai penghalang utama yang harus disingkirkan dengan jalan apapun. Oleh karena itu, Belanda sama sekali tidak berminat untuk berunding dengan Republik Indonesia bahkan pemerintah Belanda sangat menentangnya. Hal itu jelas tercermin dalam keterangan Menteri Daerah Seberang Lautan, Prof. Logemann ketika menerangkan bahwa dia tidak bersedia berunding dengan Soekarno. Karena berunding dengan Soekarno adalah tidak terhormat dan tidak membuahkan hasil (even onwaardig als onvruchtbaar). "Onwaardig", karena Soekarno mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan rezim Jepang dan bermusuhan dengan Belanda dan "Onvruchtbaar", karena dengan pemimpin ini, yang tidak akan puas melainkan dengan kemerdekaan 100%, tidak dapat dicapai dasar-dasar yang sama untuk berunding.

Ketika pihak Inggris menyelenggarakan pertemuan segi tiga yang pertama di rumah panglimanya di Jakarta antara Sekutu, Belanda dan Indonesia yang dihadiri Jenderal Christion, Belanda diwakili oleh Van Mook dan pembantu-pembantunya, pihak Republik Indonesia oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sjarifuddin. Akibatnya Van Mook dikecam habis-habisan oleh pemerintah Belanda karena mau bertemu dengan Soekarno, bahkan pemerintah Belanda mempertimbangkan untuk memecat dan menggantinya.

Tetapi Belanda tidak berdaya menolak tekanan Inggris itu, karena dalam operasinya di Indonesia, Belanda masih lemah dan mengandalkan pasukan Inggris, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk meneruskan perundingan, tetapi dengan tujuan tidak untuk mencari penyelesaian. Selama kekuatan militernya belum dapat disiapkan, maka perundingan dipergunakan untuk mengulur-ulur waktu. Kesempatan itu betapa pun pahitnya dapat dimanfaatkan oleh Republik Indonesia sehingga akhirnya berhasil mencapai Persetujuan Linggajati dengan Belanda yang diparaf 15 November 1946 dan ditandatangani 25 Maret 1947.

Persetujuan Linggajati membuka pintu pengakuan internasional. Sesudah persetujuan itu, tidak saja Sekutu, tapi juga dunia memberikan pengakuan de facto. Bahkan pengakuan de jure kepada Republik Indonesia diberikan oleh Mesir dan Afghanistan. Negara-negara Arab memberikan pengakuannya sebagai berikut:
  • Pengakuan de jure Mesir (10 Juni 1947)
  • Pengakuan de facto Lebanon (29 Juni 1947)
  • Pengakuan de facto Suriah (2 Juli 1947)
  • Pengakuan de facto Irak (16 Juli 1947)
  • Pengakuan de facto Arab Saudi (24 September 1947)
  • Pengakuan de facto Yaman (4 Mei 1948)
 Pengakuan-pengakuan lain sesudah Linggajati antara lain adalah sebagai berikut :
  • Pengakuan de jure Afghanistan (23 September 1947)
  • Pengakuan de facto Birma (23 November 1947)
  • Pengakuan de facto Inggris (31 Maret 1947)
  • Pengakuan de facto Amerika Serikat (23 April 1947)
  • Pengakuan de facto Uni Soviet (5 Mei 1948)
Masih ada pengakuan lain, seperti pengakuan de facto Australia, Pakistan dan lain-lainnya.

Sedangkan pengakuan de jure selain dari Mesir dan Afghanistan, baru diberikan dunia internasional kepada Republik Indonesia setelah penyerahan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda 27 Desember 1949 sesuai dengan ketentuan Konferensi Meja Bundar yang selesai dirampungkan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian berakhirlah satu babak berdarah dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda dan bersama itu berakhir pula kegiatan diplomasi Indonesia untuk memperoleh pengakuan.

PENGAKUAN TERHADAP REPUBLIK INDONESIA YANG DIRAHASIAKAN ( . . . BAGIAN I)

Dalam periode perjuangan fisik terutama dalam rangka mengadakan kontak dengan pihak Sekutu, banyak peristiwa yang dapat diartikan sebagai pengakuan de facto terhadap Indonesia. Tetapi kenyataannya tidak membawa akibat dan implikasi hukum terhadap Sekutu dan terhadap hubungan Indonesia dengan dunia luar.

Tatkala Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu untuk Hindia Belanda Letnan Sir Philip Christison mendarat di Jakarta Oktober 1945, dia menyatakan akan meminta kepada pemimpin Indonesia untuk membantu dalam pelaksanaan tugasnya, dan bahwa pembesar-pembesar pemerintah Indonesia sepenuhnya bertanggung jawab terhadap administrasi, keamanan dan ketertiban wilayah yang dikuasainya. Dengan pernyataan itu menurut Ide Anak Agung Gde Agung, Jenderal Christison dalam kenyataannya telah mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia.

Begitu pula ketika Wakil Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dan Brigadir A.C. Lauder, Kepala Staf AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) tanggal 30 November 1945 mencapai kesepakatan mengenai pemulangan dan Pengangkoetan Djepang dan APWI, hal itu juga merupakan pengakuan de facto Sekutu terhadap Republik Indonesia yang disebut Mr. Mohamad Roem sebagai pengakuan yang dirahasiakan.

Hal yang sama tercermin pula pada pengarahan yang diberikan oleh Panglima Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC), Laksamana Lord Louis Mountbatten kepada Komandan Skuadron Angkatan Laut Inggris yang tiba di Tanjung Priok tanggal 15 September 1945, Laksamana Muda Sir Wilfred R. Patterson, supaya pasukan-pasukan Inggris jangan dipergunakan untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan. Tetapi juga jangan mengambil tindakan-tindakan seolah-olah mengakui Republik Indonesia. Pengarahan itu juga pada hakikatnya tidak lain adalah pengakuan de facto lagi oleh Sekutu terhadap Republik Indonesia.

Walaupun telah ada pengarahan tersebut, pihak Belanda terutama Mr. C.O van der Plas, dalam kerja sama dengan Laksamana Patterson, telah merencanakan hendak menangkap Soekarno dan Mohammad Hatta serta menduduki gedung-gedung pemerintahan di Jakarta, yang kemudian akan diserahkan kepada Belanda (NICA). Tetapi sebelum semuanya dapat terlaksana, masuk laporan kepada Laksamana Mountbatten tentang keadaan sebenarnya di Pulau Jawa dari Letnan Kolonel Lawrence van der Post, seorang perwira intelejen Inggris yang pernah ditawan oleh Jepang. Juga laporan dari Letnan Kolonel Maisy dan Wing Commande Davis, yang bertugas sebagai pemimpin rumah sakit untuk tawanan perang dan sebagai kepala camp-camp tawanan perang.

Berdasarkan laporan-laporan itu, Mountbatten menyatakan kepada Belanda (van der Plas) tanggal 27 September 1945 di Singapura, bahwa tidak seorang pun prajurit Inggris akan dipergunakan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda. Pasukan Inggris hanya dipergunakan untuk menolong para tawanan. Belanda sendirilah yang harus menduduki Pulau Jawa. Pasukan Inggris akan dipergunakan jika Belanda bersedia mengadakan pembicaraan dengan Soekarno dan kawan-kawannya. Sikap itu sejalan dengan sikapnya di Birma, ketika ia mengadakan hubungan dengan Jenderal Aung San, yang juga bekerja sama dengan Jepang. Pernyataan Laksamana Mountbatten ini dibenarkan oleh Menteri Pertahanan Inggris I.J. Lawson, yang sedang berkunjung ke Singapura.

Pendirian itu dan banyak kontak lain Sekutu dengan pemerintah Indonesia, membuktikan bahwa Inggris menerima kenyataan yang sedang berlaku di Pulau Jawa. Dan dari deretan perkembangan tersebut tercermin berkali-kali pengakuan de facto Sekutu terhadap wujud Republik Indonesia meskipun tidak dinyatakan secara terbuka.

PENGAKUAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA OLEH DUNIA INTERNASIONAL

Memperoleh pengakuan dunia merupakan prioritas utama bagi pemerintah Indonesia, karena meskipun telah tercatat lahir akibat proklamasi yang dikumandangkan 17 Agustus 1945, namn menurut ketentuan hukum internasional masih terdapat syarat-syarat lain yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum mendapatkan pengakuan internasional. Sebenarnya syarat-syarat itu telah tersedia dan bagi Indonesia tidak menjadi masalah, jika Belanda tidak mengajukan tuntutan terhadap jajahannya.

Apabila seorang bayi lahir, maka dia secara otomatis diterima sebagai warga masyarakat. Tetapi tidak demikian halnya dengan suatu negara dalam masyarakat dunia. Kesatuan politik baru berhak memperoleh pengakuan apabila negara yang diwakilinya menurut Philip C. Jessup telah memiliki tiga atribut sebagai berikut :
  1. Mempunyai wilayah, ketentuan ini penting, karena banyak kelompok manusia seperti pengembara (gypsy), suku-suku nomaden tidak memiliki atribut negara, berhubung tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Dengan wilayah diartikan pula bahwa negara mempunyai tapal batas dan juridiksi dalam lingkungan tertentu.
  2. Penduduk, merupakan atribut penting lain. Kutub utara, misalnya, yang tidak mempunyai penduduk manusia menetap tidak dapat disebut negara.
  3. Pemerintah yang cukup bebas, mampu dan berkeinginan untuk menjalin hubungan internasional dan bersedia menerima dan menunaikan kewajiban internasional merupakan atribut ketiga.
Pengalaman Indonesia mengetengahkan pula syarat keempat untuk memperoleh pengakuan internasional. Bagi negara bekas jajahan disamping tiga syarat yang telah dijelaskan di atas diperlukan syarat keempat yaitu penyelesaian politik antara negara penjajah dan negara bekas jajahannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya terdapat dua pendekatan :
  1. Pendekatan yang sering dilakukan Inggris. Pendekatan ini lebih tradisional dan lebih menekankan segi hukum (legal). Andaikata telah memenuhi syarat sekurang-kurangnya telah dapat misalnya menguasai paling sedikit dua pertiga wilayah dan ada tanfa-tanda kestabilan pemerintahan. maka hal itu secara otomatis sudah segera mengundang pengakuan. Mengikuti teori ini pemerintah Inggris mengakui pemerintah komunis di daratan Cina bulan Januari 1950, walaupun mempunyai sistem pemerintahan berbeda.
  2. Pendekatan yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat lebih banyak bersifat politis. Menurut pendekatan ini pengakuan adalah alat politik yang dapat dipakai untuk membantu sahabat dan menyanggah musuh. Tidak bersedianya Amerika Serikat segera mengakui RRC adalah satu contoh. Begitu pula tidak bersedianya Uni Soviet mengakui rezim Franco di Spanyol adalah contoh lain. Kedua negara tersebut tidak memberikan pengakuannya demi untuk menyatakan rasa tidak setuju.
Jika ditinjau dari kedua pendekatan tersebut, maka menurut pendekatan pertama Indonesia segera sudah harus mendapat pengakuan, karena telah memenuhi tiga syarat yang ditentukan itu. Sedangkan menurut pendekatan kedua, pengakuan terhadap Indonesia harus ditangguhkan hingga syarat keempat yaitu penyelesaian politik telah dapat dipenuhi.

PENGERTIAN "AKTIF" DALAM POLITIK BEBAS AKTIF

Di samping ciri-ciri bebas, politik luar negeri Indonesia adalah juga aktif. Dengan ciri-ciri aktif dapat disanggah anggapan keliru yang mengatakan bahwa politik bebas aktif adalah politik netral. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam tulisannya yang berjudul Politik Luar Negeri Indonesia tahun 1953 juga menegaskan bahwa "Politik luar negeri Indonesia bukanlah politik netral, karena tidak ditempa dalam hubungan negara-negara yang sedang berperang, tetapi dengan tujuan memperkokoh dan memperjuangkan perdamaian."

Politik bebas aktif sejak lahirnya sudah ditakdirkan aktif. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama mengumandangkan : "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan." Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dicanangkan pula bahwa Indonesia berkewajiban untuk "ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." Bagaimana gerangan dapat "menghapuskan penjajahan di atas bumi" dan bagaimana pula mungkin "ikut serta melaksanakan ketertiban dunia", apabila Indonesia menjalankan politik yang tidak aktif?

Meskipun demikian secara jujur harus diakui bahwa dalam masa perjuangan fisik (1945-1950) Indonesia tidak dapat aktif menjalankan politik luar negerinya di gelanggang internasional. Hal itu semata-mata adalah karena di masa-masa tersebut seluruh perhatian dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang sedang terancam oleh kegiatan Belanda untuk mencekik pemerintah Republik Indonesia yang masih muda itu.

ARTI "TIDAK MEMIHAK" DAN "TIDAK MENGIKAT" DALAM POLITIK BEBAS AKTIF

Akhirnya demi menghindarkan salah faham yang sering kali terjadi dalam penafsiran pengertian bebas, kiranya penting untuk lebih mempertegas perbedaan antara dua istilah yang sering digunakan secara bergiliran dengan pengertian yang sama. Kedua isilah itu adalah kata-kerja "tidak memihak" dan "tidak mengikat". Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebenarnya adalah politik luar negeri yang "tidak mengikat" diri dengan kekuatan militer negara adikuasa, tetapi bukan sama sekali yang "tidak memihak". 

Dalam pelaksanaannya politik bebas aktif kadang-kadang memihak Barat dan kadang-kadang memihak Timur. Hal tersebut tercermin dalam pemberian suaranya di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut statistik, antara tahun 1951 dan tahun 1957, Indonesia 89 kali menyokong Amerika Serikat, dan 91 kali menyokong Uni Soviet; 80 kali abstain dan 68 kali bersama-sama dengan kedua negara adikuasa tersebut.

PENDAPAT GEORGE MCTURNAN KAHIN TERHADAP POLITIK BEBAS AKTIF

"Although most of Indonesia's post-revolutionary leaders espoused roughly the same political principles as did mosts leaders in the United States and the democracies of Western Europe, this did not entail a common international orientation. A conviction of paramount importance among Indonesian leaders was that their country should pursue an independent foreign policy tied to neither the American-Western European nor the Soviet power block, but that Indonesian should follow whatever course between them seemed best suited to their own interests and to what they conceived to be the interests of international peace. This strong desire for an autonomous international role stemmed primarily from Indonesia's own conditioning within the international community. In the first place, the outlook of the leaders was a reaction to their long history of colonial subjection; as in other recently freed ex-colonial countries there was great sensitiveness to any kind of international relationship that might be interpreted as subservience to an outside power. Secondly, Indonesians had been keenly disillusioned with both the United States and the Soviet Russia during the course of their revolutionary struggle; the policies od both of these powers toward Indonesia during the critical years 1946-1949 appeared to them to much more actuated by calculations of narrow self-interest than by the principle of self-determination for subject peoples."

Yang artinya :
"Meskipun kebanyakan pemimpin Indonesia pasca revolusi kurang lebih berpegang pada prinsip politik yang sama seperti halnya pemimpin di Amerika Serikat dan negara-negara Demokrasi Eropa, namun hal ini tidak mengakibatkan orientasi internasional yang sama. Satu keyakinan yang maha penting hidup dikalangan pemimpin Indonesia adalah bahwa negara mereka harus menjalankan politik luar negeri yang bebas tidak terikat kepada Amerika Serikat - Eropa Barat dan juga tidak kepada blok kekuatan Soviet, tetapi bahwa Indonesia harus mengikuti jalan apa saja di antara mereka yang kelihatan lebih cocok bagi kepentingan Indonesia dan apa saja yang dianggap menjadi kepentingan terbaik bagi perdamaian dunia. Keinginan ini yang begitu kuat untuk memainkan peranan internasional yang bebas timbul terutama dari keadaan Indonesia sendiri di dalam masyarakat internasional. Pada tempat pertama, pendirian pemimpin mereka itu merupakan reaksi terhadap sejarahnya yang panjang dari tekanan penjajahan; seperti halnya di negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka di mana terdapat kepekaan yang besar terhadap semacam hubungan internasional yang dapat ditafsirkan sebagai ketergantungan terhadap negara luar. Kedua, bangsa Indonesia telah mengalami banyak kekecewaan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet di masa periode perjuangan revolusi Republik Indonesia; kebijakan kedua kekuatan ini terhadap Indonesia di masa-masa kritis tahun 1946-1949, di mata pihak Indonesia nampaknya lebih banyak didorong oleh pertimbangan kepentingan pribadi yang picik dan bukan oleh prinsip menentukan nasib sendiri rakyat terjajah."

PENGERTIAN "BEBAS" DALAM POLITIK BEBAS AKTIF

Perlu pula diberikan penjelasan yang sedikit lebih mendalam mengenai pengertian 'bebas'. Perkataan bebas dapat diberi makna yang kurang baik, apabila dengan bebas dimaksudkan perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Dalam hubungan penjelasan ciri-ciri politik luar negeri Indonesia, kiranya perkataan bebas dalam konotasi yang kurang baik itu dapat sedini mungkin dikesampingkan, mengingat politik luar negeri Indonesia memang bukan politik yang tidak bertanggung jawab.

Sebaliknya terdapat beberapa upaya yang ditujukan untuk memberikan makna yang tepat tentang ciri-ciri bebas itu. Sebagai contoh dikemukakan pendapat yang mengatakan bahwa "perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas."

Jadi menurut pengertian ini, 'bebas' dapat diberi definisi sebagai "berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa ά-priori memihak kepada suatu blok.

Menteri Penerangan Ali Murtopo dalam diskusi panel di Gedung Joang, Jakarta, tanggal 23 April 1979, berkenaan dengan Triwindu Konferensi Asia Afrika memberikan pula arti lain mengenai perkataan 'bebas' dalam politik bebas aktif tersebut. Menurut beliau "politik luar negeri bangsa Indonesia ialah bebas aktif dengan batas mengabdi kepada kepentingan nasional. Karena kalau kita tidak memberikan batasan tentang bebasnya politik bebas aktif yaitu, bebasnya ke mana dan untuk siapa, maka ini akan membahayakan bangsa Indonesia. Maka dari itu, batas atau limit dari politik bebas aktif terletak pada nilai apakah politik itu menguntungkan bangsa Indonesia dalam perjuangan atau tidak.

Kemudian Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Kusumaatmadja memberikan pula penjelasan yang mengatakan bahwa, "bebas dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila."

Penjelasan Menteri Luar Negeri tersebut meskipun tidak menyimpang dari pengertian umum, namun mempunyai arti khas, karena dia mengaitkannya kepada falsafah Pancasila.

Barangkali penjelasan yang paling lengkap mengenai pengertian bebas dari politik luar negeri kita terungkap secara lebih meyakinkan, apabila penjelasannya itu dihubungkan dengan Pancasila. Wakil Presiden Mohammad Hatta menguraikan bahwa "Pancasila merupakan salah satu faktor obyektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia, oleh karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik mana pun yang berkuasa di Indonesia, tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila."

Dan kesempatan lain Mohammad Hatta mengatakan bahwa Pancasila adalah pedoman politik bebas aktif.

Pancasila sebagai satu ideologi berbeda dari ideologi liberal yag dianut oleh Barat, dan tidak sama dengan ideologi komunis yang dianut oleh Timur. Pancasila di satu pihak tidak dapat membenarkan konsepsi liberal yang lebih mengutamakan kepentingan perorangan dari kepentingan kolektif dalam masyarakat. Di pihak lain tidak pula dapat menerima konsepsi komunis yang hanya mementingkan nilai kolektif dalam masyarakat.

Meskipun demikian Pancasila tidak menolak unsur-unsur positif yang terkandung dalam kedua ideologi tersebut. Pancasila menjunjung tinggi martabat manusia, tapi sekaligus membatasinya dengan kepentingan kolektif masyarakat. Dalam hal ini, menurut Pancasila, kepentingan perorangan berhenti pada tapal batas kepentingan kolektif. Keampuhan Pancasila terletak dalam keserasian dan keseimbangannya. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut falsafah Pancasila tidak dapat dikatakan negara sekular justru karena adanya sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, meminjamkan kata Mohammad Hatta "merupakan sumber yang tidak hanya semata-mata rasional, tapi bila buntu jalan, atau sekali-kali sesat jalan, ada unsur gaib yang memberi petunjuk yang akan mendorong kita ke jalan yang benar."

Begitu pula sebaliknya Indonesia tidak dapat disebut sebagai negara agama atau negara Islam, karena meletakkan sila Ketuhanan pada urutan pertama yang pada gilirannya menyinari sila-sila lainnya. Hal ini sesuai pula seperti yang tercermin dalam pidato pembukaan Menteri Agama Munawir Sjadzali, pada Seminar Internasional yang diadakan di Jakarta, 13 Agustus 1985, ketika menandaskan, bahwa Indonesia dari sudut UUD bukanlah negara Islam, meskipun penduduknya 90% menganut agama Islam, tapi juga Indonesia bukan negara sekular. Indonesia adalah negara Muslim dengan Pancasila sebagai falsafah dasarnya.

Dengan demikian jelaslah bahwa politik luar negeri Indonesia yang landasannya adalah Pancasila tidak bisa lain dari politik yang mencari jalan tengah sendiri antara Dunia Kapitalis Barat dan Dunia Komunis Timur tanpa mengikatkan diri kepada ketentuan blok yang dipimpin Amerika Serikat, maupun yang dipimpin oleh Uni Soviet. Dengan kata lain, politik luar negeri Indonesia memang harus dan sudah ditakdirkan bebas dari tarikan dan ikatan kedua-duanya.

Wednesday, January 14, 2015

CIRI-CIRI DAN SIFAT POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF

"Bebas dan aktif" dalam hampir semua pernyataan resmi pemerintah kedua-duanya disebut sebagai sifat politik luar negeri Indonesia. Tapi dalam pernyataan resmi lainnya ditambahkan pula sifat-sifat lain seperti "anti kolonialisme" atau "anti imperialisme" dan disamping itu ada pula yang mencantumkan "mengabdi kepada kepentingan nasional" dan sebagainya, sebagai sifat politik bebas aktif. Sebenarnya, jika dokumen-dokumen pemerintah diteliti secara seksama, maka akan dapat disaksikan bahwa hingga kini belum ada keseragaman dalam penentuan sifat politik bebas aktif itu.

Sebagai contoh marilah kita lihat ketetapan MPRS No.XXI/5 Juli 1996, yang di dalamnya disebutkan bahwa sifat politik luar negeri adalah : (a) bebas aktif, anti-imperialisme dan anti-kolonialisme ... dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia ... (b) mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

Sedangkan dalam dokumen "Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia" (1984-1989) yang telah ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri tanggal 19 Mei 1983, dijelaskan bahwa sifat politik luar negeri adalah : (1) bebas aktif ... (2) anti kolonialisme ... (3) mengabdi kepada kepentingan nasional dan ... (4) demokratis.

Dalam risalah "Politik Luar Negeri" yang disusun oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri, Suli Sulaeman dan pernah dipakai sebagai referensi pokok dalam kuliah-kuliah Lembaga Ketahanan Nasional, Sekolah Komando Angkatan Darat, Sekolah Komando Angkatan Laut dan Sekolah Komando Angkatan Udara sifat politik luar negeri hanya disebut bebas aktif serta anti-kolonialisme dan anti-imperialisme saja.

Oleh karena belum adanya keseragaman, maka barangkali ada baiknya untuk menggunakan kata ciri-ciri dan sifat secara terpisah dalam menguraikan atribut politik bebas aktif. Sebenarnya makna dari kata-kata ciri-ciri dan sifat adalah sama, dengan sedikit perbedaan. Ciri-ciri atau ciri-ciri khas biasanya disebut untuk sifat yang lebih permanen, sedangkan arti kata sifat memberi arti sifat biasa yang dapat berubah-ubah.

Dengan demikian, karena "bebas" dan "aktif" merupakan sifat yang melekat pada batang tubuh politik bebas aktif, barangkali lebih tepat jika digolongkan sebagai ciri-ciri politik bebas aktif, sedangkan "anti-kolonialisme" dan "anti-imperialisme" disebut sebagai sifat. Adapun istilah-istilah lain seperti "mengabdi kepada kepentingan nasional", ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, "demokrasi" dan sebagainya kiranya lebih tepat, jika dicarikan atribut yang lebih pantas daripada hanya menyebutnya sebagai sifat belaka.

KETERANGAN MOHAMMAD HATTA DI DEPAN BP KNIP (1948)

Dalam suasana tarik tambang demikian, wakil Presiden Mohammad Hatta yang waktu itu memimpin Kabinet Presidensial tampil di depan Badan Pekerja KNIP (Parlemen), 2 September 1948, dan mengemukakan pernyataan yang merupakan penjelasan pertama tentang politik luar negeri bebas aktif. Dalam keterangannya tersebut Mohammad Hatta bertanya :

"Mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika? Apakah tidak ada pendirian lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?"

Perdana Menteri Hatta menjawab sendiri pertanyaannya dengan menggarisbawahi,
"Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan Internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya."

Walaupun keterangan Wakil Presiden Mohammad Hatta tersebut dianggap sebagai sumber resmi pertama politik luar negeri Indonesia, namun menurut Ide Anak Agung Gde Agung, sebenarnya prinsip dasar politik luar negeri Republik Indonesia telah pernah dikemukakan oleh Soetan Sjahrir pada kesempatan pidatonya dalam Inter Asian Relations Conference di New Delhi yang diadakan pada 23 Maret - 2 April 1947. Soetan Sjahrir waktu itu adalah Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri.
Pada kesempata lain juga ketika di New Delhi, di depan Inter Asian Organization 25 November 1947 Soetan Sjahrir mengatakan :

"Dunia tampaknya memaksa kita untuk membuat pilihan antara kekuatan yang saling bermusuhan sekarang : antara blok Anglo-Saxon atau blok Rusia. Tetapi kita secara benar menolak untuk dipaksa. Kita mencari wujud internasional, yang sesuai dengan kehidupan intern kita dan kita tidak ingin terperangkap dalam sistem-sistem yang tidak cocok dengan kita dan tentu saja ke dalam sistem-sistem yang bermusuhan dengan tujuan kita."

Kemudian dalam pidatonya sebagai tamu kehormatan di jamuan makan tahunan korps diplomatik Jakarta di Hotel Borobudur 22 Januari 1975, Mohammad Hatta menegaskan kembali bahwa "kedudukan Indonesia dalam politik internasional bukan tempat yang pasif, melainkan harus mengambil sikap yang aktif.. Politik Republik Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri dan dilaksanakan dengan memperhitungkan keadaan dan fakta-fakta yang dihadapi. Garis politik Indonesia tidak dapat digantungkan kepada politik negara lain, yang mengejar kepentingan-kepentingan sendiri. Sikap inilah yang kemudian akan bertumbuh menjadi politik bebas aktif.

DASAR DASAR POLITIK LUAR NEGERI

Perang Dunia II tidak saja menciptakan bipolaritas dalam hubungan internasional, tapi juga membawa perubahan mendasar dalam proses dekolonisasi. Sebagai akibatnya, semangat kebangsaan secara merata meluap-luap dan meledak dalam bentuk perjuangan kemerdekan terhadap penjajahan. Wilayah jajahan Belanda, Hindia Belanda (Dutch East Indies), yang diduduki Jepang selama Perang Pasifik tidak terkecuali. Dua hari sesudah Jepang menyerah, pada 17 Agustus 1945, jajahan Belanda itu menyatakan kemerdekaannya ke seluruh dunia.

Dengan proklamasi tersebut muncullah Indonesia sebagai negara merdeka di peta dunia, dan sesuai dengan tuntutan pembukan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan sehari kemudian, 18 Agustus 1945, disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban "melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". maka lahirlah politik luar negeri pemerintah Republik Indonesia yang dikenal dengan Politik Bebas Aktif.

Kedudukan Indonesia dalam konstelasi politik dunia yang telah ditempat Perang Dunia II seakan-akan terjepit. Di satu pihak berada dalam wilayah pengaruh Barat, dan demi mempertahankan kemerdekaannya harus bersiap-siap menghadapi pendaratan pasukan Sekutu, yang antara lain mempunyai tugas menerima penyerahan tentara Jepang, tetapi secara terselubung terikat pada janji untuk membantu Belanda dalam rangka memulihkan kembali penjajahannya di Indonesia.

Di pihak lain, di dalam negeri, Indonesia menghadapi tekanan berat dari pihak Front Demokrasi Rakyat / Partai Komunis Indonesia (FDR/PKI) yang menentang kebijaksanaan pemerintah. Menurut mereka, "pertentangan yang ada di dunia ini adalah antara blok Amerika Serikat dan blok Uni Soviet, jadi revolusi Indonesia adalah bagian daripada revolusi dunia, maka Indonesia haruslah berada di pihak Rusia, barulah benar."

Tuesday, January 13, 2015

CIKAL BAKAL APARAT POLITIK LUAR NEGERI DI INDONESIA

Indonesia telah dapat mewujudkan cita-cita yang sejak tahun 1928 diikrarkan, yaitu : satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa. Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 telah menjadi kenyataan. Saat itu tugas utama yang harus segera dirampungkan adalah bagaimana agar kemerdekaan itu selekas mungkin diakui oleh dunia internasional.

Sasaran tersebut ternyata tidak mudah dicapai. Meskipun Indonesia telah memiliki atribut sebagai negara (wilayah, penduduk, dan pemerintah), dan berdasarkan atribut tersebut sudah berhak diakui, namun tuntutan Belanda bahwa Indonesia adalah bekas jajahannya merupakan suatu kendala yang sulit diatasi. Sekutu, dalam hal ini Inggris, yang bertugas mengurus Asia Tenggara seusai Perang Pasifik dan segera mendarat, telah mengikat janji dengan Belanda (Civil Affairs Agreement) dan telah mengakui kekuasaan de jure Belanda terhadap jajahannya.

Dengan sendirinya Belanda tidak bersedia mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, bahkan melecehkan Republik Indonesia dan menganggapnya sebagai  penghalang utama dalam upaya mengembalikan status quo sebelum perang. Menurut Soedjatmoko, di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa wakil Belanda mengatakan :

"Republik itu apa? Republik cuma corong mikrofon, dengan seorang teroris di depannya."

Oleh karena itu Republik Indonesia harus bergulat menyelesaikan masalahnya dengan Belanda terlebih dahulu sebelum dapat meraih pengakuan Internasional.

Para pemimpin Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia internasional dan sebagai langkah pertama perlu segera membentuk pemerintah yang lengkap, tidak saja untuk menghadapi Sekutu yang akan mendarat dengan tugas utama melucuti dan mengembalikan pasukan Jepang dan membebaskan tawanan-tawanan perang di wilayah Indonesia, tapi juga untuk menghadapi Belanda yang datang secara menyusuo dengan pasukan Sekutu.

Dapat dimengerti mengapa sesudah proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno segera meminta salah satu komite KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang diketuai oleh Ahmad Subardjo untuk menyusun suatu daftar yang memuat nama kementrian-kementrian yang akan dibentuk menjadi pemerintah Republik Indonesia yang lengkap. Rapat pleno Komite Nasional Indonesia Pusat kemudian memutuskan untuk membentuk duabelas (12) kementrian dan salah satu diantaranya adalah Kementrian Luar Negeri.

Kalau kementrian-kementrian lain di dalam kabinet pertama Republik Indonesia sedikit banyak dapat mengambil alih organisasi atan badan pemerintah kolonial Belanda atau Jepang, maka Menteri Luar Negeri pertama Ahmad Subardjo menghadapi kendala besar dalam upaya membentuk Kementerian Luar Negeri, karena di Indonesia semasa penjajahan tidak ada kementerian atau badan yang menangani urusan luar negeri, semuanya diurus langsung dari Den Haag.

Oleh karena itu Ahmad Subardjo harus mulai meletakkan landasan kegiatan Kementerian Luar Negeri mulai dari awal. Karena kala itu belum terdapat aparatur pemerintah yang dapat mendukung tugasnya sebagai Menteri Luar Negeri, dia harus membentuk suatu Kementerian Luar Negeri tanpa modal sama sekali, baik dalam bentuk tenaga-tenaga terampil dan berpengalaman, maupun peralatan dan tempat bekerja.

Sebagai sarana dari pemerintah yang sedang melakukan perjuangan fisik, organisasi Kementerian Luar Negeri yang baru itu hanya dapat disusun sambil berjalan, setapak demi setapak secara berangsur-angsur. Berhubung belum mempunyai kantor sendiri maka Ahmad Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri pertama memulai tugasnya dengan membuka kantor di rumahnya sendiri, Jl. Cikini Raya No.80-82. Ahmad Subardjo dibantu oleh suatu staf kecil yang terdiri dari Ny. Herawati Diah, Nn. Paramita Abdurachman, Mr. Sudjono, Suyoso, Hadiasmoro, Hadi Thayeb.

Sebagai akibat kelangkaan prasarana, sarana dan keterbatasan pegawai yang terampil banyak tugas-tugas yang sebenarnya adalah tugas Kementerian Luar Negeri, dilaksanakan oleh unsur di luar Kementerian Luar Negeri. Hal itu terjadi terutama di masa kabinet Sjahrir, di mana dia sendiri di samping menjabat Perdana Menteri menjadi Menteri Luar Negeri, sehingga praktis semua tugas Kementerian Luar Negeri dilakukan oleh Kantor Perdana Menteri.

Kantor Kementerian Luar Negeri untuk pertama kali secara resmi menenpati Jl. Cilacap No.4 bekas gedung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di zaman penjajahan Belanda dan semasa pendudukan Jepang. Gedung tersebut telah ditinggalkan Jepang dan telah diperiksa hanya ada tiga ruangan di lantai atas yang dapat dipergunakan. dengan pembagian satu ruangan terbaik untuk Menteri Luar Negeri dan dua ruangan lainnya untuk para staf.

"Karena saya tidak kebagian tempat, maka ruang kerja saya adalah di salah satu garasi mobil di lantai bawah, bersama dengan opas. Meja tulis saya adalah sebuah peti kosong yang cukup besar dan peti kosong ukuran kecil jadi tempat duduk. Mesin tik dan beberapa alat keperluan kantor juga didapat dengan cara luar biasa, yaitu 'diatom', artinya diambil saja dari kantor-kantor yang ditinggalkan Jepang. Demikian juga beberapa kendaraan yang didapat olej beberapa pemuda pemberani dari tempat penyimpanan kendaraan bermotor Jepang di bawah ancaman tembakan mitraliyur penjaga Jepang. Pokoknya Bapak Menteri dan staf Kementerian Luar Negeri telah memiliki mobil untuk melaksanakan tugas yang berangsur meningkat." ujar Hadi Thayeb.

Demikianlah pada mulanya cikal bakal aparat politik luar negeri dari satu negara yang baru merdeka. Coba bandingkan dengan gedung Departemen Luar Negeri sekarang yang begitu megah, dilengkapi serba macam alat-alat dan prasarana yang paling canggih dan meliputi semua bagian yang ada sangkut pautnya dengan kegiatan seluruh dunia, beserta staf yang serba professional. Coba pula bayangkan sejenak betapa sederhananya keadaan serba ketidakpastian dan serba kekurangan, bekerja sambil merangkak. Barangkali disitulah letaknya romantika perjuangan pendahulu kita. Dengan menghadapi serba macam resiko  tanpa menghiraukan ancaman yang bertubi-tubi, mereka tidak kenal menyerah. Kendala-kendala itu tidak sedikit pun melemah tekad mereka untuk meneruskan perjuangan di tengah-tengah suasana pancaroba.

Kementerian Luar Negeri berkantor hanya kira-kira dua bulan di Jalan Cilacap No.4. Selain karena sering dilempari granat dan gangguan-gangguan lain oleh tentara NICA, gedung itu kemudian diminta kembali oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Akhir Oktober 1945, kantor Kementerian Luar Negeri pindah ke Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) no. 36, bekas rumah pelukis Dezentje. Dari kantor inilah organisasi Kementerian Luar Negeri mulai dikembangkan meskipun dengan fungsi yang terbatas.

Hal itu dapat dimengerti, karena Republik Indonesia belum mempunyai perwakilan-perwakilan di luar negeri yang biasanya menambah kerja dan sangat merepotkan. Perwakilan negara asing yang berstatus Konsulat Jenderal atau Konsulat yang pada waktu itu berada di Jakarta tdak diakreditasi pada pemerintah Republik Indonesia, sehingga mereka ke Kementerian Luar Negeri hanya dari waktu ke waktu untuk sesuatu urusan. Pada awalnya Kementerian Luar Negeri hanya membentuk satu Sekretariat yang dipimpin oleh Mr. Sudono. Sesuai Surat Keputusan Menteri Luar Negeri, Mr. Sudjono, resmi menjabat Sekretaris Kementerian Luar Negeri.

Selain itu dibentuk Bagian Hubungan Masyarakat, Bagian Terjemahan dengan juru bahasanya, Bagian Penerangan merangkap Penghubung yang memelihara hubungan dengan Kementerian lainnya, Konsulat-Konsulat asing dan Markas Besar Tentara Sekutu di Jakarta. Kemudian tersusun pula bagian politik dan bagian yang mengurus kepegawaian, keuangan dan arsip. Sementara itu dirasakan pula perlunya membentuk kader sebagai tenaga-tenaga ahli dinas luar negeri. Untuk itu diadakanlah kursus-kursus yang memberikan pendidikan di bidang konsuler, hukum antar bangsa, sejarah politik, ekonomi internasional dan bahasa-bahasa asing.

Kegiatan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di masa itu berkisar pada hubungan dengan pimpinan tentara dan pemerintah sipil Jepang yang masih berada di Jakarta dan persiapan-persiapan dalam rangka kedatangan tentara Inggris. Sehubungan dengan itu Bagian Penerangan Kementerian Luar Negeri belakangan sibuk mengatur pertemuan-pertemuan antara pimpinan pasukan Sekutu dan pemerintah Republik Indonesia. Kecuali itu bagian ini ditugaskan untuk mengumpulkan laporan-laporan dari berbagai kalangan masyarakat dan menyusunnya dalam laporan berkala tentang gangguan-gangguan tentara Inggris dan terutama sekali mengenai keganasan dan kekejaman tentara NICA dengan judul NICA atrocities yang sengaja diterbitkan dalam bahasa Inggris dan amat diperlukan olej Konsulat-Konsulat asing di Jakarta seperti Amerika Serikat, Cina Nasionalis dan para wartawan asing.

Bagian Terjemahan antara lain mengemban tugas penting menerjemahkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ke dalam bahasa Indonesia. Bagian ini juga yang menerjemahkan laporan-laporan yang masuk tentang keganasan yang dilakukan oleh serdadu Belanda untuk disampaikan ke Markas Tentara Sekutu. Bagian Dokumentasi bertugas mengumpulkan bahan-bahan untuk referens dan sumber informasi dalam bentuk guntingan-guntingan koran dan sumber \-sumber lain. Bagian Tata Usaha/Keuangan melaksanakan tugas-tugas intern Kementerian Luar Negeri yang berkaitan dengan personalia, keuangan, peralatan dan seterusnya. Dengan demikian organisasi Kementerian Luar Negeri mulai berkembang dan beberapa bagian telah dapat melakukan pekerjaannya secara teratur.

Mengingat sasaran pokok politik luar negeri Republik Indonesia waktu itu adalah "berjuang dalam gelanggang internasional" untuk memperoleh pengakuan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin serta mengadakan perundingan-perundingan dengan Sekutu dan Belanda, maka adalah satu keharusan untuk segera menghimpun tenaga-tenaga terbaik guna membantu Menteri Luar Negeri melaksanakan tugasnya.

Hal tersebut mendapat perhatian khusus di masa Kabinet Sjahrir. Dalam kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri kedua, Soetan Sjahrir mulai mencari-cari tenaga untuk membangun unsur inti foreign service Indonesia. Dia berhasil mengumpulkan tenaga-tenaga muda terampil, bahkan mengutus mereka ke negara-negara tetangga, terutama negara-negara sahabat.

Dengan demikian mulailah dirintis usaha membuka perwakilan di luar negeri. Mula-mula dibuka kantor perwakilan di Singapura dibawah pimpinan Mr. Utouo Ramelan, disusul dengan perwakilan-perwakilan di New Delhi yang dipimpin oleh Dr. Soedarsono, Karachi (dipimpin oleh Idham), Rangoon (Maryunani), Canberra (Mr. Usman Sastromidjojo), Bangkok (Izak Mahdi), Kairo (H. Rasyid), Baghdad (Imron Rosyadi), London (Dr. Subandrio), Kabul (Mayjen Abdul Kadir) dan akhirnya New York yang dipimpin oleh L.N. Palar. Di New York bertugas pula Soedarpo, Soedjatmoko, Charles Thambu dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

Pada hakikatnya tempat dimana terdapat perantau Indonesia pada akhir Perang Dunia II, apakah sebagai mahasiswa, pedagang, ataukah pelaut, disana mereka mengambil prakarsa untuk meletakkan batu dasar perwakilan Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan Indonesia atas usaha sendiri, bahkan sebelum pemerintah Indonesia sempat menghubungin mereka. Jasa-jasa mereka melicinkan jalan bagi pemerintah pusat sangat mengesankan, tidak dapat dilupakan. Hal itu terjadi di negara-negara Timur Tengah, India, Singapura, Australia dan juga di belahan dunia lain. Di sana para perantau memberntuk perkumpulan-perkumpulan seperti antara lain PPII (Perkumpulan Pelajar Indonesia di India), CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka) di Australia, di Timur Tengah dan sebagainya.

Suasana di Ibukota Republik waktu itu makin lama makin panas. Tentara NICA terus-menerus meneror di mana-mana, mencari dan membunuh 'ekstremis-ekstremis Republik'. Tindakan sewenang-wenang dan kekejaman dari tentara Belanda yang membuat tidak aman pejabat-pejabat Republik Indonesia. Yang kedapatan memakai lencana Merah Putih ditembak di tempat, atau ditahan dan disiksa. Oleh karena itu pada permulaan tahun 1946, instansi pemerintah banyak yang di pindah ke Yogyakarta. Demikian pula Presiden Wakil Presiden pindah ke ibukota perjuangan, kecuali seluruh pejabat Kementerian Luar Negeri dan Wakil Perdana Menteri Dr. A.K. Gani tetap berada di Jakarta.

Peranan dan kegiatan Kementerian Luar Negeri meningkat setelah Presiden dan Wakil Presiden pada bulan Maret 1946 pindah ke ibukota perjuangan, Yogyakarta. Para Konsul Jenderal dan Konsul yang sering meminta bantuan Kementerian Luar Negeri untuk mengantar mereka ke Yogyakarta atau ke kota lainnya di Indonesia. Sementara itu telah dibentuk bidang baru di Kementerian Luar Negeri, yaitu Bagian Diplomatik Konsuler yang dipimpin oleh Pandu Suradhiningrat.

Pada 21 Juli 1947, pihak Belanda melancarkan agresinya yang pertama. Akibatnya, kantor Kementerian Luar Negeri di Jakarta terpaksa ditutup dan sebagian sarana serta personalia turut pindah ke Yogyakarta bersama pemerintah Republik Indonesia. Kegiatan-kegiatan Kementerian Luar Negeri di ibukota disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi dalam situasi pendudukan musuh. Setelah serbuan Belanda berhenti, para pegawai yang melaporkan diri ditugaskan di kantor Perdana Menteri di Jalan Pegangsaan Timur No.36, tempat Wakil Perdana Menteri Dr. A.K. Gani berkantor.

Di Yogyakarta, Kementerian Luar Negeri semula berada di Jalan Terban Taman No.8 dan kemudian dengan kedatangan Komisi Tiga Negara, pindah ke Jalan Mahameru No.11. Stafnya terdiri dari pegawai-pegawai baru dan beberapa orang pegawai dari Jakarta di bawah pimpinan R.M. Junaidi sebagai sekretaris. Susunan organisasinya banyak berubah. tetapi lebih ditekankan pada pekerjaan membantu delegasi untuk menghadapi perundingan dengan pihak Belanda dan memelihara hubungan dengan pimpinan Kementerian Luar Negeri di Jakarta.

Untuk pertama kali di tahun 1948, diupayakan mencapai keseragaman dan efisiensi dalam organisasi dan cara kerja Kementerian-kementerian berdasarkan satu mosi yang diajukan oleh Sujono Hadinoto dalam KNIP. Hasil rapat-rapat kerja para Sekretaris Jenderal yang ditugaskan untuk membuat suatu peraturan umum dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.41, tanggal 4 Oktober 1948. Namun upaya itu terhenti oleh Aksi Militer Kedua Belanda 19 Desember 1948.

Setelah dikeluarkan pernyataan Roem-van Roijen dan dipulihkannua kembali pemerintah ke Yogyakarta dengan dibebaskannya pemimpin-pemimpin pemerintah Republik Indonesia oleh Belanda, maka roda pemerintah mulai berputar kembali dan kantor Kementerian Luar Negeri diaktifkan untuk mengantisipasi perundingan dengan Belanda di Konferensi Meja Bundar. Pegawai-pegawai Kementerian Luar Negeri yang telah terpencar-pencar dikumpulkan kembali terutama untuk membantu lancarnya perundingan dengan Belanda.

Setelah Konferensi Meja Bundar usai dan kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat akhir tahun 1949, pada awal tahun 1950 kepada Kementerian Luar Negeri diberikan gedung di Taman Pejambon No.6 yang hingga sekarang menjadi kantor Departemen Luar Negeri yang besar dan modern.

HIKMAH DIPLOMASI

Hal-hal yang dialami Indonesia barangkali ada pula hikmahnya seperti yang ditampilkan oleh B.M. Diah :

"Soekarno-Hatta-Sjahrir memilih mempergunakan diplomasi sebagai kata akhir. Mereka menghadapi Belanda di meja perundingan dengan mengandalkan kekuatan bersenjata di belakangnya. Sehingga perang kemerdekaan selesai tahun 1949."

Untuk lebih meyakinkan kita mengenai kebenaran perjuangan dengan cara menggutamakan diplomasi daripada perang, jika dibandingkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan perjuangan kemerdekaan Vietnam, yang sebaliknya mengutamakan perang daripada diplomasi. Vietnam yang dalam menghadapi penjajahan pada mulanya Perancis dan kemudian Amerika Serikat, memang berhasil juga. Tapi bagaimana? Dalam perjuangan itu Vietnam tidak sedikit mendapat bala bantuan dari Republik Rakyat Cina dan dari negara adikuasa yaitu Uni Soviet. Hal itu dimungkinkan oleh kedudukan geografis Vietnam yang berbatasan langsung dengan Republik Rakyat Cina. Meskipun demikian Vietnam harus berjuang sampai sepertiga abad lamanya, yaitu satu periode yang paling panjang dengan pengorbanan rakyat yang tidak ada taranya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan mana pun di dunia. Coba bandingkan bagaimana kedudukan geo-politik Indonesia. Di satu pihak dikepung laut yang dikuasai musuh (penjajah), di pihak lain tidak mendapat bantuan negara adikuasa mana pun. Mula-mula Uni Soviet memang menaruh simpati terhadap perjuangan Indonesia, tetapi sesudah peristiwa Madiun pendirian itu berubah. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika pemimpin kita ketika itu tidak mengutamakan cara diplomasi seperti halnya Vietnam. Sebaliknya dengan tidak mengutamakan perang, perjuangan Indonesia dapat dipersingkat dan dengan kesengsaraan rakyat relatif menjadi ringan. Sebenarnya diplomasi yang kita jalankan dengan sedikit mengubah definisi Clausewitz, merupakan 'perang dalam bentuk lain'.

Kupasan mengenai masalah diplomasi dan perang ini kurang lengkap rasanya jika tidak ditutup dengan keterangan Wakil Presiden Mohammad Hatta di hadapan warga Indonesia di New Delhi, ketika dia singgah di sana dalam rangka memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar, minggu pertama Agustus 1949. Pada kesempatan itu, Mohammad Hatta lebih banyak memusatkan uraiannya pada sanggahan terhadap tema yang menganggap jalan perundingan dengan Belanda sebagai jalan yang kurang tepat dan jalan yang tidak membawa kemajuan sama sekali dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda.

Mohammad Hatta memulai penjelasannya dengan mengatakan :
"Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa cara berunding atau cara berdiplomasi dengan Belanda hanya membawa kemunduran dalam perjuangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat pendiriannya itu, kelompok ini mengemukakan contoh bahwa ketika proklamasi 17 Agustus 1945, wilayah Republik Indonesia meliputi daerah Sabang sampai Merauke. Tetapi kemudian akibat berunding wilayahnya makin menciut dan makin mengecil".

"Hal itu dapat dilihat dalam masa itu dari Linggajati, wilayah Republik Indonesia tinggal Jawa, Madura, dan Sumatera saja. Kemudian sesudah Renville, wilayah Republik Indonesia yang telah diakui di Jawa, Madura dan Sumatera dikurangi lagi dengan diterimanya garis Van Mook. Sesudah perjanjian Roem-van Roijen, wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Keresidenan Yogyakarta saja lagi. Ini semuanya bukankan kemunduran?"

"Apakah benar pendapat demikian?" tanya Wakil Presiden.

"Untuk menjawabnya kita harus lebih teliti. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh perasaan. Coba kita lihat kembali dengan seksama! Proklamasi memang atas nama seluruh wilayah Indonesia yang tadinya wilayah Hindia-Belanda. Dalam teorinya memang demikian. Tetapi dalam kenyataannya adalah lain. Secara de facto, jika diteliti, maka sebenarnya waktu itu Republik Indonesia masih belum seluruhnya mempunyai kekuasaan de facto. Jangankan di seluruh Nusantara, di Jawa dan Sumatera pun belum. Seorang menteri kabinet, jika mengadakan perjalanan, katakan dari Jakarta ke Cirebon saja, sudah akan menghadapi banyak kesulitan dalam perjalanannya. Hal ini antara lain adalah karena pemerintah secara de facto belum menguasai seluruh daerah. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak negara dunia belum bersedia memberikan pengakuannya terhadap Republik Indonesia."

"Bagaimana sesudah Persetujuan Linggajati? Kita mendapatkan pengakuan de facto, bahkan ada yang de jure seperti dari Mesir dan Afghanistan. Ini semua dapat kita peroleh justru karena kita menandatangani Linggajati. Tanpa Linggajati perjuangan kita akan lebih sulit. Perjuangan untuk memperoleh pengakuan internasional adalah penting sekali dan tujuan itu dapat kita peroleh lewat Linggajati. Jadi ini sebenarnya adalah satu kemajuan besar dan bukan kemunduran."

"Dari sejak mula," Kata Wakil Presiden, "kita sangat menginginkan agar masalah Indonesia menjadi masalah Internasional, sedangkan Belanda berusaha keras untuk membatasinya sebagai masalah dalam negerinya dan kemana-mana ia mengatakan bahwa sengketa Hinda-Belanda adalah masalah Belanda-Indonesia saja. Jika kita ingin memperkuat kedudukan kita dan tidak ingin dipermainkan oleh Belanda, maka tujuan ini mesti segera kita capai."

"Ketika Belanda mencoba melanggar Linggajati dengan melancarkan Agresi Militer Pertama terhadap Republik Indonesia, serta merta masalah Indonesia dicantumkan dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Sejak hari itu tercapailah tujuan kita untuk menjadikan Indonesia masalah dunia. Belanda berusaha keras mencegahnya, tetapi masalah Indonesia tetap kini diakui sebagai masalah internasional dan bukan lagi masalah antara Indonesia-Belanda itu."

"Ini bukankah satu kemajuan?"  tanya Wakil Presiden. "Tidak dapat dibantah bahwa peristiwa ini sangat besar artinya bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda. Hal ini tidak dapat dikatakan kemunduran, ini sebenarnya adalah kemajuan besar yang tak mungkin kita peroleh begitu segera tanpa Persetujuan Linggajati."

"Bagaimana pula Renville selanjutnya?" tanya Wakil Presiden. "Memang benar bahwa dengan menerima apa yang disebut garis Van Mook, kita buat sementara waktu terpaksa menyerahkan sebagian daerah kita kepada Belanda di Jawa Barat, Jawa Timur dan Madura. Demikian pula halnya beberapa tempat di Sumatera. Itu semuanya benar, tetapi hal ini juga benar bahwa di daerah-daerah itu dalam masa paling lekas enam bulan dan paling lambat satu tahun akan diadakan plebisit, pemungutan suara dan perhitungan kita Belanda akan kalah dan Republik Indonesia akan menang dalam plebisit itu. Ini hanya satu taktik belaka! Ya karena orang sudah tidak percaya lagi kepada Belanda, maka penerimaan Republik Indonesia terhadap usul plebisit ini dianggap sebagai satu kemunduran, bahkan satu penyerahan. Ada pula yang mengatakan satu pengkhianatan!"

"Mereka lupa, persetujuan itu dibuat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dalam hal plebisit ini Komisi Tiga Negara telah memberikan jaminannya akan ikut sama-sama mengawasinya. Begitu pula dengan hal penerimaan pokok-pokok Renville. Komisi Tiga Negara telah menjamin bahwa kedudukan Republik Indonesia tidak akan berubah. Belanda tidak dapat menelan ini semuanya, karena ia menerima perjanjian tersebut semata-mata untuk mengulur-ulur waktu dalam persiapan militernya. Kita semuanya telah tahu hal itu. Setelah  persiapannya selesai, maka tanpa mempedulikan Komisi Tiga Negara yang sebagian dari anggota dan stafnya masih berada di Kaliurang, Agresi Militer Kedua segera dilancarkannya dengan maksud untuk mengemukakan kepada dunia satu fail accompli!"

"Coba perhatikan bagaimana kedudukan Belanda setelah Persetujuan Renville dilanggar? Meskipun Yogya diduduki dan pembesar-pembesar pemerintah Republik Indonesia ditawannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa tetap masih mengakui kekuasan Republik Indonesia. Dan jangan lupa pengakuan ini berarti pengakuan de jure, dan Belanda dituduh sebagai pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang ditandatangani bersama. Bukankan ini satu kemajuan lagi dan pasti bukan kemunduran!"

"Berkah tekanan dunia yang makin meningkat setelah pelanggaran itu, Belanda akhirnya setuju memulihkan kekuasaan Republik Indonesia terharap Keresidenan Yogyakarta, dan membebaskan semua pemimpinnya yang segera kembali ke Yogyakarta. Hal ini adalah pil yang paling pahit bagi Belanda. Wilayah Republik Indonesia waktu itu memang benar sudah sangat mengecil, tapi perhatikan pengaruhnya sudah membengkak. Coba lihat kegiatan-kegiatan gerilyawan kita, kini telah tambah meningkat dan tambah merembet sampai ke daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh Belanda. Hal itu akan memperkuat posisi kita dalam perundingan nanti. Orang boleh berpendapat apa saja, tapi saya tegaskan disini bahwa kedudukan Republik Indonesia terutama sesudah pelanggaran Renville menjadi demikian kuatnya, tidak pernah sekuat sebelumnya, tidak saja di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Sekali lagi saya katakan bahwa ini semua adalah kemajuan dan bukan sekali-kali kemunduran."

Sunday, January 11, 2015

TENTARA KEAMANAN RAKYAT MENDUKUNG DIPLOMASI

Cara-cara diplomasi (berunding) yang ditempuh pemerintah Republik Indonesia waktu itu bukan pula tidak didukung oleh pihak Angkatan Bersenjata yang waktu itu disebut Tentara Keamanan Rakyat. Sebagai contoh dapat disaksikan keterangan Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri. Dalam suasana panas menjelang agresi pertama Belanda, yakni sekitar bulan Mei 1947, Jenderal Soedirman mengucapkan pidato radio yang menurut A.H Nasution "mendapat sambutan hangat dari pihak tentara, laskar dan partai-partai kanan". Dalam pidatonya itu, Jenderal Soedirman antara lain mengatakan :

"Akhirnya kepada rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya kami serukan, ketahuilah saudara-saudara, delegasi kita sedang berhadapan muka dengan Komisi Jenderal untuk memecahkan soal-soal fasal-fasal dalam naskah Linggajati. Delegasi kita dengan susah payah sedang memperjuangkan nasib negara dan bangsa Indonesia seluruhnya. Jalannya perundingan ternyata sulit. Sampai saat ini belum terdapat suatu keputusan yang memuaskan sebagaimana yang kita harap-harapkan bersama.

Meskipun demikian, delegasi kita tidak putus asa dan tidak putus harapan. Delegasi kita tetap akan berjuang menunaikan dan menyelesaikan beban kewajiban yag telah diletakkan pada pundaknya.

Apakah kewajiban rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya? Kewajiban kita sekalian adalah menyokong sepenuhnya, membantu sekuat-kuatnya perjuangan delegasi kita, baik berupa sokongan lahir maupun batin, bantuan moril maupun materiil."

Contoh lain yang mengatakan bahwa Angkata Bersenjata tidak menentang diplomasi adalah tanggapan Staf Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 15 Mei 1949 terhadap persetujuan Roem van Roijen yang dituangkan dalam surat edaran rahasia ke segenap slagorde pimpinan militer dan sipil. Bab V surat edaran antara lain menyebutkan :
"Seperti diketahui perjuangan yang kita jalankan sampai sekarang, yang dengan singkat dapat kita sebut 'gerilya' adalah bagian dari perjuangan Republik, yang selain dari front gerilya mempunyai juga front-front lain : nonkooperasi di kota-kota, propaganda dan diplomasi di Jakarta dan luar negeri. Orang dapat berselisih tentang pertanyaan front mana yang penting, akan tetapi sangatlah perlu bahwa di antara front-front yang berlainan itu terdapat kesatuan pimpinan dan kesatuan siasat."

Presiden Soeharto sendiri dalam amanatnya pada hari ABRI ke-49 tanggal 5 Oktober 1994, antara lain menjelaskan bahwa dalam perjuangan mengemban amanat rakyat, ABRI telah melakukan misi besar sejarah, yaitu dalam perang kemerdekaan bersama rakyat, ABRI telah berhasil memberikan dukungan kekuatan kepada perjuangan diplomasi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

DIPLOMASI MELALUI PERJUANGAN BERSENJATA

Keterangan Perdana Menteri M. Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir, merupakan satu bukti lain dari sekian banyak bukti sejarah yang tegas membantah pendapat bahwa ada garis pemisah dalam pendirian pemerintah. Dalam salah satu keterangannya Natsir mengutarakan bahwa :

"Memang selama masa mempertahankan kemerdekaan ada perbedaan pendapat antar mereka yang menghendaki perjuangan bersenjata dan mereka yang menginginkan penyelesaian melalui jalan negosiasi. Namun mereka yang condong kepada perundingan toh sadar benar, bahwa negosiasi tanpa dukungan perjuangan bersenjata akan menyebabkan posisi kita dalam tawar-menawar menjadi sangat lemah. Sebaliknya, perjuangan bersenjata saja akan memudahkan Belanda beralih, bahwa masalah Indonesia adalah internal affairs, masalah dalam negeri. Ini akan menghalangi pembicaraannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jadi saya rasa pilihan tidak begitu mutlak apakah perang atau diplomasi. Sebab itu kita memilih dua-duanya. Dan ternyata membawa hasil relatif lebih cepat."

M. Natsir selanjutnya menguraikan pula kesulitan pemerintah yang timbul sebagai akibat dari cara perindingan itu, sebagai berikut:

"Sudah barang tentu pemerintah sendiri berada dalam situasi rumit waktu itu. Sesudah linggajati misalnya, ada anggapan bahwa kita sudah 'menggadaikan' Indonesia. Sebagai Menteri Penerangan saya harus menjelaskan yang tidak enak ini kepada seluruh rakyat, terutama mereka yang lebih condong kepada perjuangan bersenjata.

Saya harus menjual 'kue' ini. Suka atau tidak suka. Tugas saya menghendaki agar saya menjadi salesman yang baik. Tan Malaka misalnya adalah penantang yang gigih dari politik perundingan ini. Tetapi betapa pun gawatnya situasi, kita biarkan saja dia berkaok-kaok. Sebab dengan itu Belanda jadi sadar, dengan siapa mereka berhadapan nanti, kalau kalangan perundingan ini sudah tidak mempan lagi. Soal Renville demikian juga. Saya pikir malah lebih rumit, sebab itu kita harus menarik TNI dari kantong-kantong gerilya ... Dengan memberi beberapa konsesi dalam perundingan, kita tidak berarti menyerah. Kita sadar benar bahwa Belanda pasti melanggar. Tapi setiap pelanggaran Belanda menambah dukungan internasional kepada kita. Sebab perundingan kita adalah perjanjian internasional ... Jadi soalnya bukan diplomasi saja."

FAKTA FAKTA SEJARAH

Dengan mengemukakan masalah diplomasi dan perang di sini sama sekali tidak dikandung maksud untuk menghidupkan kembali polemik yang pernah ada, dan barangkali telah dilupakan. Tujuan menampilkannya kembali pada kesempatan ini semata-mata untuk menghilangkan kesan yang bukan-bukan yang timbul sebagai akibat pertarungan dua kelompol tersebut dengan jalan mengetengahkan fakta-fakta sejarah tambahan yang kurang mendapat perhatian di masa lalu. Mungkin dengan cara demikian akan dapat diperoleh penilaian yang lebih seimbang dan lebih sesuai dengan kenyataan sejarah. Pada hakikatnya aspek diplomasi dan aspek perang adalah dua bentuk perjuangan yang sifatnya saling mengisi, satu tidak dapat dicapai tanpa ada yang lain. Diplomasi saja tanpa ditopang oleh perjuangan bersenjata tidak berarti apa-apa. Sebaliknya perjuangan bersenjata tanpa diplomasi tidak akan menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam arti seutuhnya.

Jika diteliti lebih mendalam, penilaian yang menyatakan bahwa pemerintah hanya menyukai diplomasi dan menentang perang kurang diukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan, dan oleh karena itu tidak dapat diterima. Sebenarnya tidak sedikit bukti-bukti sejarah yang tidak membenarkan adanya garis demarkasi yang demikian mutlak dan tajam dalam pendirian pemerintah mengenai masalah diplomasi maupun soal perang.

Wakil Presiden Mohammad Hatta misalnya salah seorang yang namanya sering disebut-sebut bersama Presiden Soekarno sebagai tokoh yang hanya mengandalkan diplomasi saja untuk mencapai kemerdekaan. Padahal tidak sedikit keterangan Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa cara-cara diplomasi saja tidak cukup untuk mencapai sasaran. Dalam pidato radio pada upacara peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Mohammad Hatta menegaskan bahwa :

"Diplomasi kita ujudnya menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita ingin damai, tetapi kita juga bersedia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh, betapa juga hebatnya perjuangan dan pertempuran yang kita hadapi. Dalam suatu pidato radio tujuh bulan yang lalu saya berkata, untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya dengan diplomasi, perlulah ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu. Jadinya, tenaga perjuangan yang kuat perlu sekali untuk menyokong usaha diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah. Diplomasi yang tidak disokong oleh tenaga yang kuat, tidak akan berhasil. Kalau salah kita memakai tenaga perjuangan rakyat, kalau tidak pandai mempergunakannya dengan jalan yang rasional, diplomasi itu mungkin kandas dan jalan menuju cita-cita kabur dan gelap. Dan mungkin bertambah panjang. Sebab itu politik luar negeri yang dilakukan pemerintah mesti berdiri dengan tegapnya dan rapatnya di belakang pemerintah Republik Indonesia. Persatuan-kesatuan yang sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya daripada diplomasi yang dijalankannya."

Kemudian ketika menyampaikan keterangan pemerintah kepada Badan Pekerja KNI-Pusat, 19 Juli 1949. Mohammad Hatta mengatakan sebagai berikut : 
"Politik pemerintah sampai sekarang ini, dalam mencapai penyelenggaraan kemerdekaan seluruh Indonesia, berdasarkan kepada dua sendi yaitu :
  1. Politik luar negeri yang berpedoman pada politik damai, untuk memberikan kepada Republik Indonesia kedudukan yang kuat dalam politik internasional.
  2. Kekuatan yang berdasarkan tenaga rakyat dan kesanggupan tentara Indonesia untuk membela negara apabila diserang oleh musuh..."

DIPLOMASI DAN PERANG

Sesudah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945, tugas yang paling mendesak bagi Indonesia adalah bagaimana agar dunia internasional segera mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk tujuan itu, sebagai prioritas pertama, segala perhatian dan usaha ditujukan kepada persiapan menghadapi Sekutu yang tidak lama lagi akan mendarat di Indonesia. Tetapi sebelum memasuki babak pembahasan kontak dengan Sekutu dan kontak-kontak dengan bagian dunia lainnya dalam rangka memperjuangkan pengakuan perlu terlebih dahulu diuraikan :
  1. Dua aspek perjuangan (aspek diplomasi dan aspek perang);
  2. Aparat politik luar negeri;
  3. Dasar-dasar politik luar negeri; dan
  4. Pembahasan singkat mengenai masalah pengakuan.
Ditinjau daru segi kegiatan diplomasi Republik Indonesia, periode 1945-1950 merupakan masa yang sangat menentukan tidak saja karena kegiatan diplomasi Indonesia ketika itu mencuat, tetapi juga dalam kurun waktu tersebut diplomasi Indonesia diuji keampuhannya dengan bermacam tekanan dan intimidasi. Akibatnya, diplomasi Republik Indonesia tidak saja menjadi matang ketika masih muda belia, dan akhirnya muncul sebagai diplomasi yang dapat diandalkan. Di samping aspek diplomasi itu, tidak dapat dibantah bahwa perjuangan bersenjata atau perang menjadi aspek lain yang ikut menentukan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam masa pancaroba itu, para pemimpin kita berupaya mencari satu penyelesaian yang dapat mempersingkat penderitaan rakyat dan menampilkan suasana damai yang akan dapat menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara tanpa melupakan bahwa perjuangan bersenjata senantiasa merupakan palu logam. Hal itu diutarakan Presiden Soekarno awal September 1945 : 

"The policy now adopted by the Indonesian Republic must be to the international world. For this, the prime condition is diplomacy. Yet no nation can enter the international arena by diplomacy alone. Behind that dilomacy, indeed the very basis of that diplomacy, must be a power force."

("Kebijaksanaan yang sekarang ditempuh oleh Republik Indonesia harus diarahkan pada dunia internasional. Untuk itu persyaratan utama ialah diplomasi. Namun tidak ada bangsa yang dapat memasuki gelanggang internasional hanya dengan cara diplomasi saja. Di balik diplomasi itu, yang sungguh sangat mendasar itu, haruslah ada suatu kekuatan paksaan.")

Hal demikian jelas tercermin dalam setiap liku dan lembar sejarah perjuangan kita, perjuangan diplomasi saling berganti dengan perjuangan bersenjata. Apabila diplomasi menghadapi jalan buntu, maka perjuangan bersenjata dengan sendirinya siap mengambil tempat. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan diplomasi di masa tersebut lebih banyak muncul dalam bentuk strategi ganda yang mencerminkan semboyan bangsa Indonesia : "Kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan". Oleh sebab itu kita mau tidak mau harus mengakui kenyataan bahwa aspek diplomasi sangat erat hubungannya dengan aspek perang. Kedua-duanya dapat diibaratkan sebagai dua sayap burung garuda atau dua sisi dari satu mata uang.

Ketika Soetan Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, hal pertama yang menjadi prioritasnya adalah bagaimana masalah Indonesia dapat ditingkatkan menjadi masalah Internasional. Meskipun Soetan Sjahrir sadar sekali bahwa perjuangan bersenjata adalah sebagai tulang punggung, namun gagasan untuk menginternasionalisasikan masalah Indonesia menurut dia akan dapat dicapai hanya melalui jalan diplomasi.

Dalam rangka itu Soetan Sjahrir mengambil pelbagai langkah penting antara lain pengiriman beras ke India yang ketika itu sedang mengalami kelaparan dan pembukaan perwakilan-perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri. Tetapi yang sangat menonjol adalah langkah yang ditempuh agar Sekutu meminta Republik Indonesia melaksanakan pemulangan tawanan-tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang. Hal itu dapat disaksikan dalam operasi POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang Dan APWI) yang dapat diselesaikan dengan baik oleh tentara kita.

Pada hakikatnya operasi POPDA itu sudah dianggap sebagai pengakuan de facto pihak Sekutu terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam kenyataannya baru merupakan pengakuan lokal yang belum mempunyai implikasi internasional. Hal itu jelas terbukti dari sukap pemerintah Inggris yang secara resmi belum memberi pengakuan de facto kepada pemerintah Republik Indonesia segera sesudah operasi POPDA dilaksanakan. Pengakuan baru diberikan setelah Persetujuan Linggajati ditandatangani.

Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) merestui tindakan-tindakan pemerintah Soetan Sjahrir tersebut, bahkan pada 17 Oktober 1945 membuat suatu konsepsi politik luar negeri Indonesia. Hal ini diambil berdasarkan sikap pemerintah yang menitikberatkan perjuangan kita pada bidang diplomasi, seperti termuat dalam Maklumat Pemerintah 1 November 1945.

Meskipun demikian tidak dapat dihindarkan kenyataan bahwa di masa itu dalam sejarah kita terdapat pula kelompok-kelompok yang menyangsikan bahkan menentang perundingan (diplomasi) dengan Belanda. Kelompok-kelompok itu tergabung dalam Persatoean di bawah pimpinan Tan Malaka. Hal itu sampai terjadi karena sikap Belanda yang senantiasa mempergunakan segala macam tipu muslihat dalam perundingan dan menggunakan perundingan semata-mata sebagai masa tenggang untuk mempersiapkan diri menghancurkan Republik. Untungnya kelompok-kelompok itu merupakan minoritas. Sedangkan pimpinannya nasional yang menganggap berunding sama-sama pentingnya dengan berperang di dukung oleh kelompok mayoritas.

Mengungkapkan kelompok minoritas itu Jenderal A.H Nasution menulis sebagai berikut :
"Tan Malaka berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia menurut waktu dan ruang yang ada, dapat memilih siasat perjuangan yang bersumbukan 'perang'."

Pendirian yang kurang lebih sama dianut pula oleh sebagian lain golongan masyarakat meskipun di luar lingkaran pengaruh kelompok Tan Malaka, terutama kalangan laskar dan pemuda. Dengan demikian masalah diplomasi dan perjuangan bersenjata secara bersamaan timbul di masa itu.

Kelompok-kelompok yang tidak menginginkan perundingan dengan Belanda membuat demarkasi yang tajam antara pendirian mereka dan pendirian pemimpin-pemimpin negara di waktu itu yang berpendapat sebaliknya. Di sinilah terletak kelemahanan pendirian mereka. Pertama, karena mereka kurang dapat memperhitungkan keadaan dunia internasional yang telah bosan perang dan kedua, kurang mampu melihat ke dalam secara realistis keadaan persenjataan angkatan bersenjata kita. Pendirian mereka itu ternyata tidak didukung oleh kenyataan sejarah yang membuktikan kemudian bahwa perjuangan kemerdekaan dapat lebih berhasil dicapai dengan menerapkan strategi terpadu antara diplomasi dan perjuangan bersenjata daripada hanya mempertaruhkan pada perjuangan bersenjata.

Sebagai akibat benturan antara kedua pendirian tersebut sempat timbul peristiwa seperti peristiwa 3 Juli 1946 yang merupakan usaha "coup" oleh golongan Tan Malaka. Adanya perbedaan wawasan antara kedua kelompok itu perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Karena jika tidak, mau tak mau akan menimbulkan prasangka yang tidak beralasan. Di satu pihak timbul prasangka terhadap makna diplomasi yang dilancarkan ketika itu, dan pihak lain terhadap pelaksana-pelaksana diplomasi itu sendiri, yaitu para pemimpin yang telah berjasa merampungkan kemerdekaan Indonesia.

Saturday, January 10, 2015

PERJANJIAN ANTARA KERAJAAN ACEH DAN KERAJAAN BELANDA (1857)

PERJANJIAN ANTARA KERAJAAN ACEH
DAN KERAJAAN BELANDA PADA MASA
SULTAN ALAUDDIN IBRAHIM MANSUR SYAH.

Bahwa pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Alauddin Ibrahim Mansur Syah, memandang perlu untuk membuat perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan, sebagai perwujudan dari itikad baik yang dimiliki kedua belah pihak, dalam usaha mempererat serta meningkatkan perhubungan antara mereka guna kebahagiaan kerajaan dan rakyat.
Maka saya, Java van Swieten, Jenderal, Gubernur Sipil dan Militer Sumatera Barat, Ajudan Luar Biasa dari Yang Mulia Raja, pemegang Lambang Ketentaraan Willem kelas 3 dari Lambang Singa Belanda, atas nama dan oleh karenanya bertindak untuk Pemerintah Hindia Belanda bermusyawarah dalam hal ini dengan Yang Mulia Sultan Aceh, maka telah didapat keputusan tentang perjanjian berikut ini, sambil menunggu pengesahan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pasal 1
Sejak saat ini berlakulah perdamaian, persahabatan, dan pengertian yang baik antara Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dan ahli warisnya.

Pasal 2
Rakyat Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat Sultan Aceh, dalam usaha mencari nafkah yang layak, diperbolehkan pergi ke mana saja di dalam daerah Pemerintah Hindia Belanda dan daerah Sultan Aceh dengan ketentuan harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang berlaku di tiap-tiap daerah, baik bagi yang mengadakan perjalanan singgahan maupun bagi mereka yang ingin menetap, dengan mendapat hak, fasilitas dan perlindungan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi barang-barang yang dibawanya, seperti yang telah diberikan dan akan diberikan kepada rakyat negeri-negeri di atas angin, yang mendapat hak lebih banyak.

Pasal 3
Mengenai perlindungan dan pertolongan bagi kapal-kapal, perahu-perahu serta anak buahnya, demikian juga kesempatan berniaga, berlayar, dan berlabuh di semua perlabuhan Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Aceh, akan diberikan hak yang sama seperti yang telah berlaku bagi rakyat negeri-negeri sahabat lainnya. Semua kepala dan pegawai rendahan kedua belah pihak yang berada di bandar-bandar perniagaan dan pelabuhan akan diperintahkan untuk berlaku sopan dan sedapat mungkin memberi pertolongan kepada rakyat yang berkepentingan, juga kepada kapal-kapal dan perahu-perahu mereka, jangan sampai terdapat halangan pada waktu penyerahan, pemuatan, dan pemunggahan barang-barang dagangan mereka, dan manakala mereka memerlukan pertolongan dan di kala mereka membutuhkan makanan dan air. Hal ini disetujui untuk meningkatkan perniagaan dan melestarikan pelayaran serta menimbulkan gairah dan kegembiraan bagi rakyat kedua belah pihak.

Pasal 4
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh melepaskan segala tuntutan dan hak terhadap hal-hal yang dipersengketakan sebelum perjanjian ini diikat, walau bagaimanapun halnya.

Seterusnya ditetapkan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian ini, segala perselisihan dan tuntutan tersebut dianggap telah diselesaikan, dengan demikian menjadi batal semuanya dan oleh karena itu, tidak boleh diungkit-ungkit lagi.

Pasal 5
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh menyetujui seterusnya, bahwa mereka akan menjaga dengan keras dan mendayaupayakan agar tidak terjadi perompakan dan perampokan di dalam wilayah kekuasaan masing-masing, demikian juga di dalam negeri-negeri lain yang berada di bawah pengaruhnya. Perbuatan ini akan di cegah oleh kedua belah pihak dan hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang melakukannya.

Kedua belah pihak tiada akan memberikan tempat persembunyian atau perlindungan kepada seseorang yang tersangkut dalam perkara semacam ini, juga tiada kepada bahteranya.

Kedua belah pihak tiada akan mengizinkan perompak membawa orang-orang dan barang-barang yang dirampoknya, demikian juga bahteranya masuk ke dalam daerah masing-masing untuk disembunyikan atau untuk dijual di sana.

Pasal 6
Jika kapal-kapal atau perahu-perahu dari rakyat kedua belah pihak berada di dalam bahaya di lautan atau terkandas, hendaklah Pemerintah Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dengan segera memberi pertolongan dan perlindungan sedapat mungkin dan kalau ada barang-barangnya yang dititipkan untuk disimpan, maka hendaknya kepada si penyimpan diberikan imbalan sepatutnya.

Orang yang berhak atas barang-barang serupa itu, boleh bermohon keputusan kepada Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Aceh mengenai imbalan yang diminta oleh orang yang menyimpannya; keputusan itu harus diterimanya.

Bila kapal atau perahu yang mengibarkan bendera Belanda terkadas atau karam, atau jika rakyat Belanda yang kapal atau perahunya karam di pantai tanah Aceh, haruslah kepada negeri bangsa Aceh di sana dengan segera memberitahukan kepada Gubernur Sumatera Barat di Padang atau kepada Belanda lain yang berdekatan.

Mereka yang merampas kapal-kapal atau perahu-perahu yang terkandas atau menganiaya anak buahnya, atau pun tiada memberikan pertolongan yang diperlukan kepadanya akan dikenakan hukuman yang berat.

Pasal 7
Seri Baginda Sultan Aceh menyatakan mengakui bahwa Gubernur Sumatera Barat adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan akan berhadapan dengannya dalam segala urusan yang mungkin dirasakan berfaedah bagi masing-masing pihak.

Pasal 8
Jika kemudian hari dirasakan perlu mengatur hal-hal yang termasuk dalam perjanjian ini, maka hal-hal tersebut akan diselesaikan oleh kedua belah pihak dengan cara damai.

Pasal 9
Perjanjian ini mulai berlaku setelah disahkan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Masing-masing pihak yang bermusyawarah telah membubuhkan tanda tangan dan stempelnya sebagai saksi, tanda sudah terang sebagaimana mestinya.

Termaktub di Aceh dalam rangkap empat, pada 30 Maret 1857 tahun Masehi, bersamaan dengan 4 Sya'ban 1273 tahun Hijrah.




Stempel                                                                                                Tanda tangan,
Seri Baginda Sultan Aceh                                                                    van Swieten
Sultan Alauddin
Ibrahim Mansur Syah

Telah disetujui dalam penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7 pada 9 Mei 1857.




Sekretaris Pemerintah,

Dipenheim

NASKAH PERJANJIAN ACEH-AMERIKA (1873)

NASKAH PERJANJIAN ACEH-AMERIKA


Yang benar adalah Firman Allah jua.

Segala puji bagi Allah, Rabbul Alamin, Pemilik alam semesta.

Sangatlah dikehendaki sebuah perjanjian persahabatan dan aliansi untuk mempererat hubungan muhibah dan meningkatkan kerja sama bertolong-tolongan dalam menolak segala bencana, dengan seia sekata dan bersatu hati melakukan segala usaha yang dapat mendatangkan kedamaian dan kebajikan bagi rakyat kedua belah pihak yang tersebut di bawah ini, yang keduanya bersumpah tidak akan mengingkari perjanjian ini untuk selama-lamanya :

Musyawarah Besar Di Bandar Aceh Darusalam

Syahdan adalah Seri Paduka Sultan Aceh Mahmud Syah Alaiddin Ibnu almarhum Sultan Ali Iskandar Syah, pemilik takhta kerajaan Sumatra, di dalam bandar Aceh telah memanggil orang-orang besar kerajaan, yang memangku takhta baginda, yaitu kepala-kepala tiga sagi, panglima angkatan laut, hulubalang-hulubalang, alim ulama, mufti, kadi dan semua cerdik pandai negeri Aceh pada 6 hari bulan Muharram 1290 untuk berunding masalah mengikat perjanjian persahabatan dan aliansi antara pemerintah Aceh dan Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika.
Dengan hidayah dan taufik Allah semua yang hadir telah bersatu kata dengan hati yang bulat mendukung amanat kita, Sultan Mahmud Syah Alaiddin memberi kuasa kepada waris kita, Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie, yang sekarang menetap di Pulau Penang untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi keperluan mengikat suatu pernjanjian yang akan mendatangkan kedamaian dan kebajikan bagi rakyat kita. Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali kita titahkan untuk bermusyawarah juga dengan orang-orang besar Aceh yang berada di Pulau Penang dalam hal membuat suatu perjanjian antara Pemerintah Aceh dan Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika dengan memahami segala surat-menyurat antara kedua pihak pada waktu-waktu yang lalu. Wakil mutlak kita itu segera akan menyusun surat perjanjian tersebut sebagai ganti kita sendiri, di dalam lima bulan terhitung dari tanggal dibuatnya surat perjanjian itu. Di atas surat perjanjian yang telah selesai dibuat itu, kita akan membubuhi tanda tangan dan cap kita.

Saya Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali
menyatakan :

Bahwa antara Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika dan Pemerintah Aceh telah diikat sebuah perjanjian persahabatan dan aliansi, yang oleh keduanya dan oleh ahli warisnya turun temurun tetap dipegang teguh, tidak seorang pun yang ingkar akan segenap isi perjanjian itu.
Pasal 1
 Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika mengakui bahwa sejak nenek moyangnya Seri Paduka Sultan Aceh telah menerima bendera dari Yang Maha Mulia Sultan Turki. Dalam hal ini pemerintah Aceh tidak pernah membuangnya atau menukarnya dengan bendera lain, sehingga ia tetap menjadi bendera Aceh untuk selama-lamanya.

Pasal 2
Dan lagi pemerintah Aceh dengan Yang Maha Mulia India Kompeni pada tahun 1819, pada 22 hari bulan April telah membuat suatu perjanjian, akan tetapi perjanjian tersebut pada tahun 1871 dibatalkan sendiri oleh pemerintah Inggris dengan tiada suatu kata pun pemberitahuan kepada pemerintah Aceh; hal ini oleh pemerintah Aceh diterima dengan diam saja.

Pasal 3
Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika mengaku tidak akan menerima, baik dengan cara taslim (menyerah) atau cara mengikat suatu perjanjian persahabatan dari kepala sesuatu daerah atau sesuatu pulau yang masuk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh, baik yang terletak di sebelah pantai timur sampai Pasir Ayam Perdanak, maupun yang terletak di sebelah pantai barat sampai Tiku Pariaman, kecuali dengan persetujuan dari pemerintah Aceh.

Pasal 4
Sekiranya sesuatu bangsa melakukan sesuatu kegaduhan untuk mengacau keamanan sebuah daerah yang berada di daam kekuasaan pemerintah Aceh, pemerintah Amerika harus melakukan upaya untuk mencegah atau melakukan tindakan menentang musuh itu dari laut. Segala biaya yang timbul karena tindakan itu ditanggung oleh pemerintah Amerika sendiri.

Pasal 5
Sekiranya ada kepala atau hulubalang dari sesuatu daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh melakukan tindakan pendurhakaan, pemerintah Amerika berjanji tidak akan membantu menyediakan senjata dan amunisi bagi si pendurhaka Sultan Aceh itu.

Pasal 6
Apabila pemerintah Aceh memerlukan alat-alat perang maka peerintah Amerika akan membatu menyediakannya dan akan dibayar dengan harga yang pantas.

Apabila pemerintah Aceh ingin bersahabat dengan negara lain, pemerintah Amerika sebaiknya tidak menghalangi dan tidak boleh merasa cemburu dan curiga.

Demikianlah perjanjian setia raya ini dibuat rangkap dua, dan tiap-tiap pihak memegang satu, dengan dibubuhi cap sebagai tanda bahwa perjanjian sudah sah adanya.

Tersurat pada 22 hari bulan Jumadil Akhir 1290, hari Jum'at pukul 2 siang, bertepatan dengan 16 hari bulan Agustus 1873.


cap Sultan                        






Ikrar Pemerintah Aceh
kepada Pemerintah Amerika

Pasal 1
Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika boleh menempatkan seorang Konsulnya di dalam negeri Aceh untuk mengurus warga Amerika yang berada di Aceh untuk melindungi mereka.

Bila warga Amerika melakukan sesuatu tindakan kriminal atau antar warga Amerika dan rakyat Aceh terjadi persengketaan maka hakim Acehlah yang mengadili perkara itu.

Demikian juga bila rakyat Aceh yang berada di Amerika melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, atau antara mereka dan rakyat Amerika terjadi sesuatu persengketaan maka perkara itu akan diadili oleh hakim Amerika di pengadilan Amerika.

Pasal 2
Apabila rakyat Aceh melakukan sesuatu pelanggaran hukum di daerah Aceh, kemudian lari ke Amerika maka aparat keamanan Amerika dapat menangkapnya dan menyerahkan kembali pelarian itu kepada pemerintah Aceh. Demikian juga apabila warga negara Amerika melakukan sesuatu pelanggaran hukum di negerinya kemudian lari ke daerah Aceh, aparat keamanan Aceh dapat menangkapnya dan menyerahkannya kembali kepada pemerintah Amerika.

Pasal 3
Apabila musuh dari pihak Sumatra melancarkan perang atau melakukan sesuatu kegaduhan terhadap pemerintah Amerika maka pemerintah Aceh harus memberikan bantuan dan melawan musuh tersebut dari darat. Segala biaya yang timbul karena itu ditanggung oleh pemerintah Aceh sendiri.

Pasal 4
Pemerintah Amerika dan pemerintah Aceh bersama-bersama melaksanakan pembuatan sebuah mercu suar di pantai karang yang bernama Batu Burok, di daerah Pidie dan melaksanakan perlindungan terhadap perniagaan, jiwa, dan hak milik semua bangsa; tiap-tiap pihak menanggung separoh dari biayanya.

Kepada kapal-kapal dan sampan yang melalui daerah itu dikenakan pembayaran. Pemerintah Aceh dan pemerintah Amerika masing-masing akan mendapat bagian separoh dari hasil yang masuk.

Pasal 5
Tuduhan Belanda bahwa pemerintah Aceh memperjual-belikan budak tidak benar sama sekali. Pemerintah Aceh, baik dahulu maupun sekarang tidak pernah melakukan hal itu. Dan juga untuk masa yang akan datang pemerintah Aceh tidak akan melakukannya.

Pasal 6
Seri Baginda Sultan Aceh akan menghadiahkan kepada Yang Maha Mulia Pemerintah Amerika sebuah pulau yang bernama Pulau Weh, yang terletak berhadapan dengan Bandar Aceh; Pemerintah Amerika dapat mengibarkan benderanya di atas pulau tersebut. Kepadanya diharapkan akan menyebarkan keadilan ke serata pelosok, memperlakukan penduduk dari segala bangsa, baik yang menetap maupun yang datang-pergi dengan baik, serta memberikan perlindungan kepada mereka, begitu juga kepada kapal-kapal yang masuk ke pulau itu, sehingga demikian Pulau Weh menjadi ramai dan makmur.

Demikianlah surat perjanjian ini dibuat rangkap dua, dan tiap-tiap pihak memegang satu, di atasnya dibubuhi tanda tangan dan cap dari tiap-tiap pihak, sebagai tanda bahwa perjanjian sudah sah adanya.

Tersurat pada 22 hari bulan Jumadil Akhir 1290, hari Jum'at, pukul 2 siang hari, bertepatan dengan 16 hari bulan Agustus 1873.


cap Sultan Aceh