... Mengapa hal itu dapat terjadi, sehingga semua pengakuan de facto seakan-akan sama sekali tidak ada pengaruhnya? Kalaupun ada yang mau mengakuinya memberikan kepadanya predikat terselubung? Sebabnya tak lain adalah karena Sekutu dan dalam hal ini Inggris yang baru saja keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, telah menandatangani Civil Affairs Agreement di London tanggal 24 Agustus 1945 dengan sekutunya (Belanda) yang berarti telah memberikan pengakuan de jure kekuasaan Belanda terhadap jajahannya Hindia Belanda.
Inggris yang bertanggung jawab menyelesaikan akibat-akibat perang di Asia Tenggara ternyata menepati janjinya, sehingga Belanda yang tadinya tidak mempunyai tempat bertumpu sejak diusir oleh Jepang dari Indonesia, kini telah mulai mempunyai kedudukan kuat berkat bantuan Inggris. Tapi Inggris disamping itu mengimbanginya dengan tindakan memaksa Belanda agar bersedia menyelesaikan sengketanya dengan Indonesia secara damai melalui perundingan banhkan Inggris menyediakan perantara.
Belanda yang bertekad untuk kembali menjajah Indonesia melihat Republik Indonesia sebagai penghalang utama yang harus disingkirkan dengan jalan apapun. Oleh karena itu, Belanda sama sekali tidak berminat untuk berunding dengan Republik Indonesia bahkan pemerintah Belanda sangat menentangnya. Hal itu jelas tercermin dalam keterangan Menteri Daerah Seberang Lautan, Prof. Logemann ketika menerangkan bahwa dia tidak bersedia berunding dengan Soekarno. Karena berunding dengan Soekarno adalah tidak terhormat dan tidak membuahkan hasil (even onwaardig als onvruchtbaar). "Onwaardig", karena Soekarno mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan rezim Jepang dan bermusuhan dengan Belanda dan "Onvruchtbaar", karena dengan pemimpin ini, yang tidak akan puas melainkan dengan kemerdekaan 100%, tidak dapat dicapai dasar-dasar yang sama untuk berunding.
Ketika pihak Inggris menyelenggarakan pertemuan segi tiga yang pertama di rumah panglimanya di Jakarta antara Sekutu, Belanda dan Indonesia yang dihadiri Jenderal Christion, Belanda diwakili oleh Van Mook dan pembantu-pembantunya, pihak Republik Indonesia oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sjarifuddin. Akibatnya Van Mook dikecam habis-habisan oleh pemerintah Belanda karena mau bertemu dengan Soekarno, bahkan pemerintah Belanda mempertimbangkan untuk memecat dan menggantinya.
Tetapi Belanda tidak berdaya menolak tekanan Inggris itu, karena dalam operasinya di Indonesia, Belanda masih lemah dan mengandalkan pasukan Inggris, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk meneruskan perundingan, tetapi dengan tujuan tidak untuk mencari penyelesaian. Selama kekuatan militernya belum dapat disiapkan, maka perundingan dipergunakan untuk mengulur-ulur waktu. Kesempatan itu betapa pun pahitnya dapat dimanfaatkan oleh Republik Indonesia sehingga akhirnya berhasil mencapai Persetujuan Linggajati dengan Belanda yang diparaf 15 November 1946 dan ditandatangani 25 Maret 1947.
Persetujuan Linggajati membuka pintu pengakuan internasional. Sesudah persetujuan itu, tidak saja Sekutu, tapi juga dunia memberikan pengakuan de facto. Bahkan pengakuan de jure kepada Republik Indonesia diberikan oleh Mesir dan Afghanistan. Negara-negara Arab memberikan pengakuannya sebagai berikut:
Inggris yang bertanggung jawab menyelesaikan akibat-akibat perang di Asia Tenggara ternyata menepati janjinya, sehingga Belanda yang tadinya tidak mempunyai tempat bertumpu sejak diusir oleh Jepang dari Indonesia, kini telah mulai mempunyai kedudukan kuat berkat bantuan Inggris. Tapi Inggris disamping itu mengimbanginya dengan tindakan memaksa Belanda agar bersedia menyelesaikan sengketanya dengan Indonesia secara damai melalui perundingan banhkan Inggris menyediakan perantara.
Belanda yang bertekad untuk kembali menjajah Indonesia melihat Republik Indonesia sebagai penghalang utama yang harus disingkirkan dengan jalan apapun. Oleh karena itu, Belanda sama sekali tidak berminat untuk berunding dengan Republik Indonesia bahkan pemerintah Belanda sangat menentangnya. Hal itu jelas tercermin dalam keterangan Menteri Daerah Seberang Lautan, Prof. Logemann ketika menerangkan bahwa dia tidak bersedia berunding dengan Soekarno. Karena berunding dengan Soekarno adalah tidak terhormat dan tidak membuahkan hasil (even onwaardig als onvruchtbaar). "Onwaardig", karena Soekarno mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan rezim Jepang dan bermusuhan dengan Belanda dan "Onvruchtbaar", karena dengan pemimpin ini, yang tidak akan puas melainkan dengan kemerdekaan 100%, tidak dapat dicapai dasar-dasar yang sama untuk berunding.
Ketika pihak Inggris menyelenggarakan pertemuan segi tiga yang pertama di rumah panglimanya di Jakarta antara Sekutu, Belanda dan Indonesia yang dihadiri Jenderal Christion, Belanda diwakili oleh Van Mook dan pembantu-pembantunya, pihak Republik Indonesia oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sjarifuddin. Akibatnya Van Mook dikecam habis-habisan oleh pemerintah Belanda karena mau bertemu dengan Soekarno, bahkan pemerintah Belanda mempertimbangkan untuk memecat dan menggantinya.
Tetapi Belanda tidak berdaya menolak tekanan Inggris itu, karena dalam operasinya di Indonesia, Belanda masih lemah dan mengandalkan pasukan Inggris, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk meneruskan perundingan, tetapi dengan tujuan tidak untuk mencari penyelesaian. Selama kekuatan militernya belum dapat disiapkan, maka perundingan dipergunakan untuk mengulur-ulur waktu. Kesempatan itu betapa pun pahitnya dapat dimanfaatkan oleh Republik Indonesia sehingga akhirnya berhasil mencapai Persetujuan Linggajati dengan Belanda yang diparaf 15 November 1946 dan ditandatangani 25 Maret 1947.
Persetujuan Linggajati membuka pintu pengakuan internasional. Sesudah persetujuan itu, tidak saja Sekutu, tapi juga dunia memberikan pengakuan de facto. Bahkan pengakuan de jure kepada Republik Indonesia diberikan oleh Mesir dan Afghanistan. Negara-negara Arab memberikan pengakuannya sebagai berikut:
- Pengakuan de jure Mesir (10 Juni 1947)
- Pengakuan de facto Lebanon (29 Juni 1947)
- Pengakuan de facto Suriah (2 Juli 1947)
- Pengakuan de facto Irak (16 Juli 1947)
- Pengakuan de facto Arab Saudi (24 September 1947)
- Pengakuan de facto Yaman (4 Mei 1948)
- Pengakuan de jure Afghanistan (23 September 1947)
- Pengakuan de facto Birma (23 November 1947)
- Pengakuan de facto Inggris (31 Maret 1947)
- Pengakuan de facto Amerika Serikat (23 April 1947)
- Pengakuan de facto Uni Soviet (5 Mei 1948)
Masih ada pengakuan lain, seperti pengakuan de facto Australia, Pakistan dan lain-lainnya.
Sedangkan pengakuan de jure selain dari Mesir dan Afghanistan, baru diberikan dunia internasional kepada Republik Indonesia setelah penyerahan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda 27 Desember 1949 sesuai dengan ketentuan Konferensi Meja Bundar yang selesai dirampungkan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian berakhirlah satu babak berdarah dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda dan bersama itu berakhir pula kegiatan diplomasi Indonesia untuk memperoleh pengakuan.
No comments:
Post a Comment