Dalam periode perjuangan fisik terutama dalam rangka mengadakan kontak dengan pihak Sekutu, banyak peristiwa yang dapat diartikan sebagai pengakuan de facto terhadap Indonesia. Tetapi kenyataannya tidak membawa akibat dan implikasi hukum terhadap Sekutu dan terhadap hubungan Indonesia dengan dunia luar.
Tatkala Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu untuk Hindia Belanda Letnan Sir Philip Christison mendarat di Jakarta Oktober 1945, dia menyatakan akan meminta kepada pemimpin Indonesia untuk membantu dalam pelaksanaan tugasnya, dan bahwa pembesar-pembesar pemerintah Indonesia sepenuhnya bertanggung jawab terhadap administrasi, keamanan dan ketertiban wilayah yang dikuasainya. Dengan pernyataan itu menurut Ide Anak Agung Gde Agung, Jenderal Christison dalam kenyataannya telah mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia.
Begitu pula ketika Wakil Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dan Brigadir A.C. Lauder, Kepala Staf AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) tanggal 30 November 1945 mencapai kesepakatan mengenai pemulangan dan Pengangkoetan Djepang dan APWI, hal itu juga merupakan pengakuan de facto Sekutu terhadap Republik Indonesia yang disebut Mr. Mohamad Roem sebagai pengakuan yang dirahasiakan.
Hal yang sama tercermin pula pada pengarahan yang diberikan oleh Panglima Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC), Laksamana Lord Louis Mountbatten kepada Komandan Skuadron Angkatan Laut Inggris yang tiba di Tanjung Priok tanggal 15 September 1945, Laksamana Muda Sir Wilfred R. Patterson, supaya pasukan-pasukan Inggris jangan dipergunakan untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan. Tetapi juga jangan mengambil tindakan-tindakan seolah-olah mengakui Republik Indonesia. Pengarahan itu juga pada hakikatnya tidak lain adalah pengakuan de facto lagi oleh Sekutu terhadap Republik Indonesia.
Walaupun telah ada pengarahan tersebut, pihak Belanda terutama Mr. C.O van der Plas, dalam kerja sama dengan Laksamana Patterson, telah merencanakan hendak menangkap Soekarno dan Mohammad Hatta serta menduduki gedung-gedung pemerintahan di Jakarta, yang kemudian akan diserahkan kepada Belanda (NICA). Tetapi sebelum semuanya dapat terlaksana, masuk laporan kepada Laksamana Mountbatten tentang keadaan sebenarnya di Pulau Jawa dari Letnan Kolonel Lawrence van der Post, seorang perwira intelejen Inggris yang pernah ditawan oleh Jepang. Juga laporan dari Letnan Kolonel Maisy dan Wing Commande Davis, yang bertugas sebagai pemimpin rumah sakit untuk tawanan perang dan sebagai kepala camp-camp tawanan perang.
Berdasarkan laporan-laporan itu, Mountbatten menyatakan kepada Belanda (van der Plas) tanggal 27 September 1945 di Singapura, bahwa tidak seorang pun prajurit Inggris akan dipergunakan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda. Pasukan Inggris hanya dipergunakan untuk menolong para tawanan. Belanda sendirilah yang harus menduduki Pulau Jawa. Pasukan Inggris akan dipergunakan jika Belanda bersedia mengadakan pembicaraan dengan Soekarno dan kawan-kawannya. Sikap itu sejalan dengan sikapnya di Birma, ketika ia mengadakan hubungan dengan Jenderal Aung San, yang juga bekerja sama dengan Jepang. Pernyataan Laksamana Mountbatten ini dibenarkan oleh Menteri Pertahanan Inggris I.J. Lawson, yang sedang berkunjung ke Singapura.
Pendirian itu dan banyak kontak lain Sekutu dengan pemerintah Indonesia, membuktikan bahwa Inggris menerima kenyataan yang sedang berlaku di Pulau Jawa. Dan dari deretan perkembangan tersebut tercermin berkali-kali pengakuan de facto Sekutu terhadap wujud Republik Indonesia meskipun tidak dinyatakan secara terbuka.
No comments:
Post a Comment