Dengan mengemukakan masalah diplomasi dan perang di sini sama sekali tidak dikandung maksud untuk menghidupkan kembali polemik yang pernah ada, dan barangkali telah dilupakan. Tujuan menampilkannya kembali pada kesempatan ini semata-mata untuk menghilangkan kesan yang bukan-bukan yang timbul sebagai akibat pertarungan dua kelompol tersebut dengan jalan mengetengahkan fakta-fakta sejarah tambahan yang kurang mendapat perhatian di masa lalu. Mungkin dengan cara demikian akan dapat diperoleh penilaian yang lebih seimbang dan lebih sesuai dengan kenyataan sejarah. Pada hakikatnya aspek diplomasi dan aspek perang adalah dua bentuk perjuangan yang sifatnya saling mengisi, satu tidak dapat dicapai tanpa ada yang lain. Diplomasi saja tanpa ditopang oleh perjuangan bersenjata tidak berarti apa-apa. Sebaliknya perjuangan bersenjata tanpa diplomasi tidak akan menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam arti seutuhnya.
Jika diteliti lebih mendalam, penilaian yang menyatakan bahwa pemerintah hanya menyukai diplomasi dan menentang perang kurang diukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan, dan oleh karena itu tidak dapat diterima. Sebenarnya tidak sedikit bukti-bukti sejarah yang tidak membenarkan adanya garis demarkasi yang demikian mutlak dan tajam dalam pendirian pemerintah mengenai masalah diplomasi maupun soal perang.
Wakil Presiden Mohammad Hatta misalnya salah seorang yang namanya sering disebut-sebut bersama Presiden Soekarno sebagai tokoh yang hanya mengandalkan diplomasi saja untuk mencapai kemerdekaan. Padahal tidak sedikit keterangan Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa cara-cara diplomasi saja tidak cukup untuk mencapai sasaran. Dalam pidato radio pada upacara peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Mohammad Hatta menegaskan bahwa :
"Diplomasi kita ujudnya menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita ingin damai, tetapi kita juga bersedia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh, betapa juga hebatnya perjuangan dan pertempuran yang kita hadapi. Dalam suatu pidato radio tujuh bulan yang lalu saya berkata, untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya dengan diplomasi, perlulah ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu. Jadinya, tenaga perjuangan yang kuat perlu sekali untuk menyokong usaha diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah. Diplomasi yang tidak disokong oleh tenaga yang kuat, tidak akan berhasil. Kalau salah kita memakai tenaga perjuangan rakyat, kalau tidak pandai mempergunakannya dengan jalan yang rasional, diplomasi itu mungkin kandas dan jalan menuju cita-cita kabur dan gelap. Dan mungkin bertambah panjang. Sebab itu politik luar negeri yang dilakukan pemerintah mesti berdiri dengan tegapnya dan rapatnya di belakang pemerintah Republik Indonesia. Persatuan-kesatuan yang sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya daripada diplomasi yang dijalankannya."
Kemudian ketika menyampaikan keterangan pemerintah kepada Badan Pekerja KNI-Pusat, 19 Juli 1949. Mohammad Hatta mengatakan sebagai berikut :
"Politik pemerintah sampai sekarang ini, dalam mencapai penyelenggaraan kemerdekaan seluruh Indonesia, berdasarkan kepada dua sendi yaitu :
- Politik luar negeri yang berpedoman pada politik damai, untuk memberikan kepada Republik Indonesia kedudukan yang kuat dalam politik internasional.
- Kekuatan yang berdasarkan tenaga rakyat dan kesanggupan tentara Indonesia untuk membela negara apabila diserang oleh musuh..."
No comments:
Post a Comment