Sesudah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945, tugas yang paling mendesak bagi Indonesia adalah bagaimana agar dunia internasional segera mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk tujuan itu, sebagai prioritas pertama, segala perhatian dan usaha ditujukan kepada persiapan menghadapi Sekutu yang tidak lama lagi akan mendarat di Indonesia. Tetapi sebelum memasuki babak pembahasan kontak dengan Sekutu dan kontak-kontak dengan bagian dunia lainnya dalam rangka memperjuangkan pengakuan perlu terlebih dahulu diuraikan :
- Dua aspek perjuangan (aspek diplomasi dan aspek perang);
- Aparat politik luar negeri;
- Dasar-dasar politik luar negeri; dan
- Pembahasan singkat mengenai masalah pengakuan.
Ditinjau daru segi kegiatan diplomasi Republik Indonesia, periode 1945-1950 merupakan masa yang sangat menentukan tidak saja karena kegiatan diplomasi Indonesia ketika itu mencuat, tetapi juga dalam kurun waktu tersebut diplomasi Indonesia diuji keampuhannya dengan bermacam tekanan dan intimidasi. Akibatnya, diplomasi Republik Indonesia tidak saja menjadi matang ketika masih muda belia, dan akhirnya muncul sebagai diplomasi yang dapat diandalkan. Di samping aspek diplomasi itu, tidak dapat dibantah bahwa perjuangan bersenjata atau perang menjadi aspek lain yang ikut menentukan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam masa pancaroba itu, para pemimpin kita berupaya mencari satu penyelesaian yang dapat mempersingkat penderitaan rakyat dan menampilkan suasana damai yang akan dapat menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara tanpa melupakan bahwa perjuangan bersenjata senantiasa merupakan palu logam. Hal itu diutarakan Presiden Soekarno awal September 1945 :
"The policy now adopted by the Indonesian Republic must be to the international world. For this, the prime condition is diplomacy. Yet no nation can enter the international arena by diplomacy alone. Behind that dilomacy, indeed the very basis of that diplomacy, must be a power force."
("Kebijaksanaan yang sekarang ditempuh oleh Republik Indonesia harus diarahkan pada dunia internasional. Untuk itu persyaratan utama ialah diplomasi. Namun tidak ada bangsa yang dapat memasuki gelanggang internasional hanya dengan cara diplomasi saja. Di balik diplomasi itu, yang sungguh sangat mendasar itu, haruslah ada suatu kekuatan paksaan.")
Hal demikian jelas tercermin dalam setiap liku dan lembar sejarah perjuangan kita, perjuangan diplomasi saling berganti dengan perjuangan bersenjata. Apabila diplomasi menghadapi jalan buntu, maka perjuangan bersenjata dengan sendirinya siap mengambil tempat. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan diplomasi di masa tersebut lebih banyak muncul dalam bentuk strategi ganda yang mencerminkan semboyan bangsa Indonesia : "Kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan". Oleh sebab itu kita mau tidak mau harus mengakui kenyataan bahwa aspek diplomasi sangat erat hubungannya dengan aspek perang. Kedua-duanya dapat diibaratkan sebagai dua sayap burung garuda atau dua sisi dari satu mata uang.
Ketika Soetan Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, hal pertama yang menjadi prioritasnya adalah bagaimana masalah Indonesia dapat ditingkatkan menjadi masalah Internasional. Meskipun Soetan Sjahrir sadar sekali bahwa perjuangan bersenjata adalah sebagai tulang punggung, namun gagasan untuk menginternasionalisasikan masalah Indonesia menurut dia akan dapat dicapai hanya melalui jalan diplomasi.
Dalam rangka itu Soetan Sjahrir mengambil pelbagai langkah penting antara lain pengiriman beras ke India yang ketika itu sedang mengalami kelaparan dan pembukaan perwakilan-perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri. Tetapi yang sangat menonjol adalah langkah yang ditempuh agar Sekutu meminta Republik Indonesia melaksanakan pemulangan tawanan-tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang. Hal itu dapat disaksikan dalam operasi POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang Dan APWI) yang dapat diselesaikan dengan baik oleh tentara kita.
Pada hakikatnya operasi POPDA itu sudah dianggap sebagai pengakuan de facto pihak Sekutu terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam kenyataannya baru merupakan pengakuan lokal yang belum mempunyai implikasi internasional. Hal itu jelas terbukti dari sukap pemerintah Inggris yang secara resmi belum memberi pengakuan de facto kepada pemerintah Republik Indonesia segera sesudah operasi POPDA dilaksanakan. Pengakuan baru diberikan setelah Persetujuan Linggajati ditandatangani.
Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) merestui tindakan-tindakan pemerintah Soetan Sjahrir tersebut, bahkan pada 17 Oktober 1945 membuat suatu konsepsi politik luar negeri Indonesia. Hal ini diambil berdasarkan sikap pemerintah yang menitikberatkan perjuangan kita pada bidang diplomasi, seperti termuat dalam Maklumat Pemerintah 1 November 1945.
Meskipun demikian tidak dapat dihindarkan kenyataan bahwa di masa itu dalam sejarah kita terdapat pula kelompok-kelompok yang menyangsikan bahkan menentang perundingan (diplomasi) dengan Belanda. Kelompok-kelompok itu tergabung dalam Persatoean di bawah pimpinan Tan Malaka. Hal itu sampai terjadi karena sikap Belanda yang senantiasa mempergunakan segala macam tipu muslihat dalam perundingan dan menggunakan perundingan semata-mata sebagai masa tenggang untuk mempersiapkan diri menghancurkan Republik. Untungnya kelompok-kelompok itu merupakan minoritas. Sedangkan pimpinannya nasional yang menganggap berunding sama-sama pentingnya dengan berperang di dukung oleh kelompok mayoritas.
Mengungkapkan kelompok minoritas itu Jenderal A.H Nasution menulis sebagai berikut :
"Tan Malaka berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia menurut waktu dan ruang yang ada, dapat memilih siasat perjuangan yang bersumbukan 'perang'."
Pendirian yang kurang lebih sama dianut pula oleh sebagian lain golongan masyarakat meskipun di luar lingkaran pengaruh kelompok Tan Malaka, terutama kalangan laskar dan pemuda. Dengan demikian masalah diplomasi dan perjuangan bersenjata secara bersamaan timbul di masa itu.
Kelompok-kelompok yang tidak menginginkan perundingan dengan Belanda membuat demarkasi yang tajam antara pendirian mereka dan pendirian pemimpin-pemimpin negara di waktu itu yang berpendapat sebaliknya. Di sinilah terletak kelemahanan pendirian mereka. Pertama, karena mereka kurang dapat memperhitungkan keadaan dunia internasional yang telah bosan perang dan kedua, kurang mampu melihat ke dalam secara realistis keadaan persenjataan angkatan bersenjata kita. Pendirian mereka itu ternyata tidak didukung oleh kenyataan sejarah yang membuktikan kemudian bahwa perjuangan kemerdekaan dapat lebih berhasil dicapai dengan menerapkan strategi terpadu antara diplomasi dan perjuangan bersenjata daripada hanya mempertaruhkan pada perjuangan bersenjata.
Sebagai akibat benturan antara kedua pendirian tersebut sempat timbul peristiwa seperti peristiwa 3 Juli 1946 yang merupakan usaha "coup" oleh golongan Tan Malaka. Adanya perbedaan wawasan antara kedua kelompok itu perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Karena jika tidak, mau tak mau akan menimbulkan prasangka yang tidak beralasan. Di satu pihak timbul prasangka terhadap makna diplomasi yang dilancarkan ketika itu, dan pihak lain terhadap pelaksana-pelaksana diplomasi itu sendiri, yaitu para pemimpin yang telah berjasa merampungkan kemerdekaan Indonesia.
Pada hakikatnya operasi POPDA itu sudah dianggap sebagai pengakuan de facto pihak Sekutu terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam kenyataannya baru merupakan pengakuan lokal yang belum mempunyai implikasi internasional. Hal itu jelas terbukti dari sukap pemerintah Inggris yang secara resmi belum memberi pengakuan de facto kepada pemerintah Republik Indonesia segera sesudah operasi POPDA dilaksanakan. Pengakuan baru diberikan setelah Persetujuan Linggajati ditandatangani.
Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) merestui tindakan-tindakan pemerintah Soetan Sjahrir tersebut, bahkan pada 17 Oktober 1945 membuat suatu konsepsi politik luar negeri Indonesia. Hal ini diambil berdasarkan sikap pemerintah yang menitikberatkan perjuangan kita pada bidang diplomasi, seperti termuat dalam Maklumat Pemerintah 1 November 1945.
Meskipun demikian tidak dapat dihindarkan kenyataan bahwa di masa itu dalam sejarah kita terdapat pula kelompok-kelompok yang menyangsikan bahkan menentang perundingan (diplomasi) dengan Belanda. Kelompok-kelompok itu tergabung dalam Persatoean di bawah pimpinan Tan Malaka. Hal itu sampai terjadi karena sikap Belanda yang senantiasa mempergunakan segala macam tipu muslihat dalam perundingan dan menggunakan perundingan semata-mata sebagai masa tenggang untuk mempersiapkan diri menghancurkan Republik. Untungnya kelompok-kelompok itu merupakan minoritas. Sedangkan pimpinannya nasional yang menganggap berunding sama-sama pentingnya dengan berperang di dukung oleh kelompok mayoritas.
Mengungkapkan kelompok minoritas itu Jenderal A.H Nasution menulis sebagai berikut :
"Tan Malaka berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia menurut waktu dan ruang yang ada, dapat memilih siasat perjuangan yang bersumbukan 'perang'."
Pendirian yang kurang lebih sama dianut pula oleh sebagian lain golongan masyarakat meskipun di luar lingkaran pengaruh kelompok Tan Malaka, terutama kalangan laskar dan pemuda. Dengan demikian masalah diplomasi dan perjuangan bersenjata secara bersamaan timbul di masa itu.
Kelompok-kelompok yang tidak menginginkan perundingan dengan Belanda membuat demarkasi yang tajam antara pendirian mereka dan pendirian pemimpin-pemimpin negara di waktu itu yang berpendapat sebaliknya. Di sinilah terletak kelemahanan pendirian mereka. Pertama, karena mereka kurang dapat memperhitungkan keadaan dunia internasional yang telah bosan perang dan kedua, kurang mampu melihat ke dalam secara realistis keadaan persenjataan angkatan bersenjata kita. Pendirian mereka itu ternyata tidak didukung oleh kenyataan sejarah yang membuktikan kemudian bahwa perjuangan kemerdekaan dapat lebih berhasil dicapai dengan menerapkan strategi terpadu antara diplomasi dan perjuangan bersenjata daripada hanya mempertaruhkan pada perjuangan bersenjata.
Sebagai akibat benturan antara kedua pendirian tersebut sempat timbul peristiwa seperti peristiwa 3 Juli 1946 yang merupakan usaha "coup" oleh golongan Tan Malaka. Adanya perbedaan wawasan antara kedua kelompok itu perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Karena jika tidak, mau tak mau akan menimbulkan prasangka yang tidak beralasan. Di satu pihak timbul prasangka terhadap makna diplomasi yang dilancarkan ketika itu, dan pihak lain terhadap pelaksana-pelaksana diplomasi itu sendiri, yaitu para pemimpin yang telah berjasa merampungkan kemerdekaan Indonesia.
No comments:
Post a Comment