Translate

Sunday, January 25, 2015

PENGERTIAN "BEBAS" DALAM POLITIK BEBAS AKTIF

Perlu pula diberikan penjelasan yang sedikit lebih mendalam mengenai pengertian 'bebas'. Perkataan bebas dapat diberi makna yang kurang baik, apabila dengan bebas dimaksudkan perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Dalam hubungan penjelasan ciri-ciri politik luar negeri Indonesia, kiranya perkataan bebas dalam konotasi yang kurang baik itu dapat sedini mungkin dikesampingkan, mengingat politik luar negeri Indonesia memang bukan politik yang tidak bertanggung jawab.

Sebaliknya terdapat beberapa upaya yang ditujukan untuk memberikan makna yang tepat tentang ciri-ciri bebas itu. Sebagai contoh dikemukakan pendapat yang mengatakan bahwa "perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas."

Jadi menurut pengertian ini, 'bebas' dapat diberi definisi sebagai "berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa ά-priori memihak kepada suatu blok.

Menteri Penerangan Ali Murtopo dalam diskusi panel di Gedung Joang, Jakarta, tanggal 23 April 1979, berkenaan dengan Triwindu Konferensi Asia Afrika memberikan pula arti lain mengenai perkataan 'bebas' dalam politik bebas aktif tersebut. Menurut beliau "politik luar negeri bangsa Indonesia ialah bebas aktif dengan batas mengabdi kepada kepentingan nasional. Karena kalau kita tidak memberikan batasan tentang bebasnya politik bebas aktif yaitu, bebasnya ke mana dan untuk siapa, maka ini akan membahayakan bangsa Indonesia. Maka dari itu, batas atau limit dari politik bebas aktif terletak pada nilai apakah politik itu menguntungkan bangsa Indonesia dalam perjuangan atau tidak.

Kemudian Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Kusumaatmadja memberikan pula penjelasan yang mengatakan bahwa, "bebas dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila."

Penjelasan Menteri Luar Negeri tersebut meskipun tidak menyimpang dari pengertian umum, namun mempunyai arti khas, karena dia mengaitkannya kepada falsafah Pancasila.

Barangkali penjelasan yang paling lengkap mengenai pengertian bebas dari politik luar negeri kita terungkap secara lebih meyakinkan, apabila penjelasannya itu dihubungkan dengan Pancasila. Wakil Presiden Mohammad Hatta menguraikan bahwa "Pancasila merupakan salah satu faktor obyektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia, oleh karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik mana pun yang berkuasa di Indonesia, tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila."

Dan kesempatan lain Mohammad Hatta mengatakan bahwa Pancasila adalah pedoman politik bebas aktif.

Pancasila sebagai satu ideologi berbeda dari ideologi liberal yag dianut oleh Barat, dan tidak sama dengan ideologi komunis yang dianut oleh Timur. Pancasila di satu pihak tidak dapat membenarkan konsepsi liberal yang lebih mengutamakan kepentingan perorangan dari kepentingan kolektif dalam masyarakat. Di pihak lain tidak pula dapat menerima konsepsi komunis yang hanya mementingkan nilai kolektif dalam masyarakat.

Meskipun demikian Pancasila tidak menolak unsur-unsur positif yang terkandung dalam kedua ideologi tersebut. Pancasila menjunjung tinggi martabat manusia, tapi sekaligus membatasinya dengan kepentingan kolektif masyarakat. Dalam hal ini, menurut Pancasila, kepentingan perorangan berhenti pada tapal batas kepentingan kolektif. Keampuhan Pancasila terletak dalam keserasian dan keseimbangannya. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut falsafah Pancasila tidak dapat dikatakan negara sekular justru karena adanya sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, meminjamkan kata Mohammad Hatta "merupakan sumber yang tidak hanya semata-mata rasional, tapi bila buntu jalan, atau sekali-kali sesat jalan, ada unsur gaib yang memberi petunjuk yang akan mendorong kita ke jalan yang benar."

Begitu pula sebaliknya Indonesia tidak dapat disebut sebagai negara agama atau negara Islam, karena meletakkan sila Ketuhanan pada urutan pertama yang pada gilirannya menyinari sila-sila lainnya. Hal ini sesuai pula seperti yang tercermin dalam pidato pembukaan Menteri Agama Munawir Sjadzali, pada Seminar Internasional yang diadakan di Jakarta, 13 Agustus 1985, ketika menandaskan, bahwa Indonesia dari sudut UUD bukanlah negara Islam, meskipun penduduknya 90% menganut agama Islam, tapi juga Indonesia bukan negara sekular. Indonesia adalah negara Muslim dengan Pancasila sebagai falsafah dasarnya.

Dengan demikian jelaslah bahwa politik luar negeri Indonesia yang landasannya adalah Pancasila tidak bisa lain dari politik yang mencari jalan tengah sendiri antara Dunia Kapitalis Barat dan Dunia Komunis Timur tanpa mengikatkan diri kepada ketentuan blok yang dipimpin Amerika Serikat, maupun yang dipimpin oleh Uni Soviet. Dengan kata lain, politik luar negeri Indonesia memang harus dan sudah ditakdirkan bebas dari tarikan dan ikatan kedua-duanya.

No comments:

Post a Comment