Translate

Tuesday, January 13, 2015

HIKMAH DIPLOMASI

Hal-hal yang dialami Indonesia barangkali ada pula hikmahnya seperti yang ditampilkan oleh B.M. Diah :

"Soekarno-Hatta-Sjahrir memilih mempergunakan diplomasi sebagai kata akhir. Mereka menghadapi Belanda di meja perundingan dengan mengandalkan kekuatan bersenjata di belakangnya. Sehingga perang kemerdekaan selesai tahun 1949."

Untuk lebih meyakinkan kita mengenai kebenaran perjuangan dengan cara menggutamakan diplomasi daripada perang, jika dibandingkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan perjuangan kemerdekaan Vietnam, yang sebaliknya mengutamakan perang daripada diplomasi. Vietnam yang dalam menghadapi penjajahan pada mulanya Perancis dan kemudian Amerika Serikat, memang berhasil juga. Tapi bagaimana? Dalam perjuangan itu Vietnam tidak sedikit mendapat bala bantuan dari Republik Rakyat Cina dan dari negara adikuasa yaitu Uni Soviet. Hal itu dimungkinkan oleh kedudukan geografis Vietnam yang berbatasan langsung dengan Republik Rakyat Cina. Meskipun demikian Vietnam harus berjuang sampai sepertiga abad lamanya, yaitu satu periode yang paling panjang dengan pengorbanan rakyat yang tidak ada taranya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan mana pun di dunia. Coba bandingkan bagaimana kedudukan geo-politik Indonesia. Di satu pihak dikepung laut yang dikuasai musuh (penjajah), di pihak lain tidak mendapat bantuan negara adikuasa mana pun. Mula-mula Uni Soviet memang menaruh simpati terhadap perjuangan Indonesia, tetapi sesudah peristiwa Madiun pendirian itu berubah. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika pemimpin kita ketika itu tidak mengutamakan cara diplomasi seperti halnya Vietnam. Sebaliknya dengan tidak mengutamakan perang, perjuangan Indonesia dapat dipersingkat dan dengan kesengsaraan rakyat relatif menjadi ringan. Sebenarnya diplomasi yang kita jalankan dengan sedikit mengubah definisi Clausewitz, merupakan 'perang dalam bentuk lain'.

Kupasan mengenai masalah diplomasi dan perang ini kurang lengkap rasanya jika tidak ditutup dengan keterangan Wakil Presiden Mohammad Hatta di hadapan warga Indonesia di New Delhi, ketika dia singgah di sana dalam rangka memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar, minggu pertama Agustus 1949. Pada kesempatan itu, Mohammad Hatta lebih banyak memusatkan uraiannya pada sanggahan terhadap tema yang menganggap jalan perundingan dengan Belanda sebagai jalan yang kurang tepat dan jalan yang tidak membawa kemajuan sama sekali dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda.

Mohammad Hatta memulai penjelasannya dengan mengatakan :
"Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa cara berunding atau cara berdiplomasi dengan Belanda hanya membawa kemunduran dalam perjuangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat pendiriannya itu, kelompok ini mengemukakan contoh bahwa ketika proklamasi 17 Agustus 1945, wilayah Republik Indonesia meliputi daerah Sabang sampai Merauke. Tetapi kemudian akibat berunding wilayahnya makin menciut dan makin mengecil".

"Hal itu dapat dilihat dalam masa itu dari Linggajati, wilayah Republik Indonesia tinggal Jawa, Madura, dan Sumatera saja. Kemudian sesudah Renville, wilayah Republik Indonesia yang telah diakui di Jawa, Madura dan Sumatera dikurangi lagi dengan diterimanya garis Van Mook. Sesudah perjanjian Roem-van Roijen, wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Keresidenan Yogyakarta saja lagi. Ini semuanya bukankan kemunduran?"

"Apakah benar pendapat demikian?" tanya Wakil Presiden.

"Untuk menjawabnya kita harus lebih teliti. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh perasaan. Coba kita lihat kembali dengan seksama! Proklamasi memang atas nama seluruh wilayah Indonesia yang tadinya wilayah Hindia-Belanda. Dalam teorinya memang demikian. Tetapi dalam kenyataannya adalah lain. Secara de facto, jika diteliti, maka sebenarnya waktu itu Republik Indonesia masih belum seluruhnya mempunyai kekuasaan de facto. Jangankan di seluruh Nusantara, di Jawa dan Sumatera pun belum. Seorang menteri kabinet, jika mengadakan perjalanan, katakan dari Jakarta ke Cirebon saja, sudah akan menghadapi banyak kesulitan dalam perjalanannya. Hal ini antara lain adalah karena pemerintah secara de facto belum menguasai seluruh daerah. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak negara dunia belum bersedia memberikan pengakuannya terhadap Republik Indonesia."

"Bagaimana sesudah Persetujuan Linggajati? Kita mendapatkan pengakuan de facto, bahkan ada yang de jure seperti dari Mesir dan Afghanistan. Ini semua dapat kita peroleh justru karena kita menandatangani Linggajati. Tanpa Linggajati perjuangan kita akan lebih sulit. Perjuangan untuk memperoleh pengakuan internasional adalah penting sekali dan tujuan itu dapat kita peroleh lewat Linggajati. Jadi ini sebenarnya adalah satu kemajuan besar dan bukan kemunduran."

"Dari sejak mula," Kata Wakil Presiden, "kita sangat menginginkan agar masalah Indonesia menjadi masalah Internasional, sedangkan Belanda berusaha keras untuk membatasinya sebagai masalah dalam negerinya dan kemana-mana ia mengatakan bahwa sengketa Hinda-Belanda adalah masalah Belanda-Indonesia saja. Jika kita ingin memperkuat kedudukan kita dan tidak ingin dipermainkan oleh Belanda, maka tujuan ini mesti segera kita capai."

"Ketika Belanda mencoba melanggar Linggajati dengan melancarkan Agresi Militer Pertama terhadap Republik Indonesia, serta merta masalah Indonesia dicantumkan dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Sejak hari itu tercapailah tujuan kita untuk menjadikan Indonesia masalah dunia. Belanda berusaha keras mencegahnya, tetapi masalah Indonesia tetap kini diakui sebagai masalah internasional dan bukan lagi masalah antara Indonesia-Belanda itu."

"Ini bukankah satu kemajuan?"  tanya Wakil Presiden. "Tidak dapat dibantah bahwa peristiwa ini sangat besar artinya bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda. Hal ini tidak dapat dikatakan kemunduran, ini sebenarnya adalah kemajuan besar yang tak mungkin kita peroleh begitu segera tanpa Persetujuan Linggajati."

"Bagaimana pula Renville selanjutnya?" tanya Wakil Presiden. "Memang benar bahwa dengan menerima apa yang disebut garis Van Mook, kita buat sementara waktu terpaksa menyerahkan sebagian daerah kita kepada Belanda di Jawa Barat, Jawa Timur dan Madura. Demikian pula halnya beberapa tempat di Sumatera. Itu semuanya benar, tetapi hal ini juga benar bahwa di daerah-daerah itu dalam masa paling lekas enam bulan dan paling lambat satu tahun akan diadakan plebisit, pemungutan suara dan perhitungan kita Belanda akan kalah dan Republik Indonesia akan menang dalam plebisit itu. Ini hanya satu taktik belaka! Ya karena orang sudah tidak percaya lagi kepada Belanda, maka penerimaan Republik Indonesia terhadap usul plebisit ini dianggap sebagai satu kemunduran, bahkan satu penyerahan. Ada pula yang mengatakan satu pengkhianatan!"

"Mereka lupa, persetujuan itu dibuat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dalam hal plebisit ini Komisi Tiga Negara telah memberikan jaminannya akan ikut sama-sama mengawasinya. Begitu pula dengan hal penerimaan pokok-pokok Renville. Komisi Tiga Negara telah menjamin bahwa kedudukan Republik Indonesia tidak akan berubah. Belanda tidak dapat menelan ini semuanya, karena ia menerima perjanjian tersebut semata-mata untuk mengulur-ulur waktu dalam persiapan militernya. Kita semuanya telah tahu hal itu. Setelah  persiapannya selesai, maka tanpa mempedulikan Komisi Tiga Negara yang sebagian dari anggota dan stafnya masih berada di Kaliurang, Agresi Militer Kedua segera dilancarkannya dengan maksud untuk mengemukakan kepada dunia satu fail accompli!"

"Coba perhatikan bagaimana kedudukan Belanda setelah Persetujuan Renville dilanggar? Meskipun Yogya diduduki dan pembesar-pembesar pemerintah Republik Indonesia ditawannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa tetap masih mengakui kekuasan Republik Indonesia. Dan jangan lupa pengakuan ini berarti pengakuan de jure, dan Belanda dituduh sebagai pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang ditandatangani bersama. Bukankan ini satu kemajuan lagi dan pasti bukan kemunduran!"

"Berkah tekanan dunia yang makin meningkat setelah pelanggaran itu, Belanda akhirnya setuju memulihkan kekuasaan Republik Indonesia terharap Keresidenan Yogyakarta, dan membebaskan semua pemimpinnya yang segera kembali ke Yogyakarta. Hal ini adalah pil yang paling pahit bagi Belanda. Wilayah Republik Indonesia waktu itu memang benar sudah sangat mengecil, tapi perhatikan pengaruhnya sudah membengkak. Coba lihat kegiatan-kegiatan gerilyawan kita, kini telah tambah meningkat dan tambah merembet sampai ke daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh Belanda. Hal itu akan memperkuat posisi kita dalam perundingan nanti. Orang boleh berpendapat apa saja, tapi saya tegaskan disini bahwa kedudukan Republik Indonesia terutama sesudah pelanggaran Renville menjadi demikian kuatnya, tidak pernah sekuat sebelumnya, tidak saja di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Sekali lagi saya katakan bahwa ini semua adalah kemajuan dan bukan sekali-kali kemunduran."

No comments:

Post a Comment