Cara-cara diplomasi (berunding) yang ditempuh pemerintah Republik Indonesia waktu itu bukan pula tidak didukung oleh pihak Angkatan Bersenjata yang waktu itu disebut Tentara Keamanan Rakyat. Sebagai contoh dapat disaksikan keterangan Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri. Dalam suasana panas menjelang agresi pertama Belanda, yakni sekitar bulan Mei 1947, Jenderal Soedirman mengucapkan pidato radio yang menurut A.H Nasution "mendapat sambutan hangat dari pihak tentara, laskar dan partai-partai kanan". Dalam pidatonya itu, Jenderal Soedirman antara lain mengatakan :
"Akhirnya kepada rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya kami serukan, ketahuilah saudara-saudara, delegasi kita sedang berhadapan muka dengan Komisi Jenderal untuk memecahkan soal-soal fasal-fasal dalam naskah Linggajati. Delegasi kita dengan susah payah sedang memperjuangkan nasib negara dan bangsa Indonesia seluruhnya. Jalannya perundingan ternyata sulit. Sampai saat ini belum terdapat suatu keputusan yang memuaskan sebagaimana yang kita harap-harapkan bersama.
Meskipun demikian, delegasi kita tidak putus asa dan tidak putus harapan. Delegasi kita tetap akan berjuang menunaikan dan menyelesaikan beban kewajiban yag telah diletakkan pada pundaknya.
Apakah kewajiban rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya? Kewajiban kita sekalian adalah menyokong sepenuhnya, membantu sekuat-kuatnya perjuangan delegasi kita, baik berupa sokongan lahir maupun batin, bantuan moril maupun materiil."
Contoh lain yang mengatakan bahwa Angkata Bersenjata tidak menentang diplomasi adalah tanggapan Staf Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 15 Mei 1949 terhadap persetujuan Roem van Roijen yang dituangkan dalam surat edaran rahasia ke segenap slagorde pimpinan militer dan sipil. Bab V surat edaran antara lain menyebutkan :
"Seperti diketahui perjuangan yang kita jalankan sampai sekarang, yang dengan singkat dapat kita sebut 'gerilya' adalah bagian dari perjuangan Republik, yang selain dari front gerilya mempunyai juga front-front lain : nonkooperasi di kota-kota, propaganda dan diplomasi di Jakarta dan luar negeri. Orang dapat berselisih tentang pertanyaan front mana yang penting, akan tetapi sangatlah perlu bahwa di antara front-front yang berlainan itu terdapat kesatuan pimpinan dan kesatuan siasat."
Presiden Soeharto sendiri dalam amanatnya pada hari ABRI ke-49 tanggal 5 Oktober 1994, antara lain menjelaskan bahwa dalam perjuangan mengemban amanat rakyat, ABRI telah melakukan misi besar sejarah, yaitu dalam perang kemerdekaan bersama rakyat, ABRI telah berhasil memberikan dukungan kekuatan kepada perjuangan diplomasi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.
No comments:
Post a Comment