Translate

Tuesday, February 28, 2017

PERSELISIHAN SEKUTU DENGAN BELANDA (BAGIAN 1)

Kedatangan tentara Inggris sebagai pasukan Sekutu di Indonesia pada akhir Perang Dunia II antara lain bertugas melaksanakan pengungsian APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Badan yang melakukan tugas tersebut dinamakan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees). Belanda yang tergabung dalam SEAC (South East Asia Command) memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembalikan kekuasaannya di bekas jajahannya Hindia Belanda, yang telah menjadi Republik Indonesia.

Tim RAPWI tiba di bawah perlindungan Kapal Perang Cumberland dan Tromp pada 15 September 1945 berlabuh di Tanjung Priuk, Jakarta. Namun, personel RAPWI belum berani turun ke darat untuk memulai tugasnya mengunjungi kamp-kamp tawanan perang dan interniran. Mereka tetap tinggal di atas kapal selama seminggu karena sebagian dari penduduk, Heiho dan pasukan Sukarela menunjukkan sikap yang bermusuhan.

Abdulkadir Widjojoatmodjo, wakil pimpinan NICA, dalam suratnya tanggal 24 September 1945 mengusulkan kepada Van Mook agar pada waktu Belanda mendarat, sebaiknya tidak menggunakan bendera Belanda demi menghindari pertumpahan darah. Disarankan, sebaiknya mengibarkan bendera Cina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Pada 29 September 1945 pasukan Sekutu baru berani mendarat dan memasuki kota Jakarta. Mereka menyaksikan sendiri bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan menjadi fakta nyata. Gedung-gedung telah mengibarkan bendera Merah-Putih. Selain itu, terdaoat pula bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Amerika dan Inggris.

Sehari setelah Tim RAPWI mendarat di Jakarta, pada 30 September 1945, Presiden Soekarno menulis surat kepada Laksamana Mountbatten. Isi surat itu memperingatkan bahwa Republik Indonesia yang semula hanya merupakan lambang, sekarang sudah menjadi kenyataan dan hidup dalam perasaan setiap rakyat.

Dalam hubungan itu, seluruh pegawai pemerintah dan karyawan perusahaan vital secara spontan menyatakan dirinya sebagai pegawai pemerintah Republik Indonesia. Mereka menyatakan hanya menerima perintah dari Pemerintah Republik Indonesia dan tidak dari pemerintah Jepang.

Presiden Soekarno, di dalam suratnya kepada Laksamana Mountbatten memberitahukan bahwa pemerintah yang berfungsi adalah pemerintah Republik Indonesia. Segala urusan yang akan dilakukan oleh tentara Sekutu terlebih dahulu berhubungan dengan pemerintah Republik Indonesia. Presiden Soekarno juga memperingatkan bahwa pengiriman pasukan Belanda beserta NICA akan menimbulkan keresahan yang berkelanjutan dan dapat menghambat rekonstruksi tata dunia baru. Presiden Soekarno ingin menunjukkan kepada Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara betapa pentingnya pemerintah yang efektif ditinjau sesuai hukum internasional, dan memiliki eksistensi sebagai satu negara.

Realita pernyataan tersebut dapat dirasakan langsung oleh anggota Tim RAPWI. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka harus bekerja sama dengan para pejabat Indonesia, karena sebagian besar tawanan perang dan interniran itu berada di dalam wilayah yang dikuasai Republik Indonesia. Tentara Sekutu telah menyaksikan sendiri administrasi pemerintahan Republik Indonesia yang utuh dan lancar.
  • Kotapraja Republik Indonesia mengelola kota.
  • Polisi Republik Indonesia menjaga ketenteraman dan ketertiban umum.
  • Jawatan listrik mengurus penerangan kota.
  • Dinas pos, telepon dan telegraf menyelenggarakan komunikasi telepon dan telegram serta lalu lintas pos.
  • Jawatan kereta api dan trem menguasai seluruh angkutan rel.
Dalam hubungan ini, pihak Republik Indonesia dapat saja melakukan sabotase terhadap pekerjaan RAPWI dengan cara menyelenggarakan pemogokan buruh, atau unsur-unsur dinas dan jawatan kota menolak untuk bekerja sama.

Sementara itu, polisi Republik Indonesia mengawasi kemungkinan penyusupan orang-orang NICA yang membonceng Sekutu. Seandainya hal tersebut ditemukan, yang tidak mustahil selalu terdapat tindakan provokasi, pasti akan menimbulkan pertempuran. Para pemuda Indonesia tidak segan-segan menghadapi tentara Inggris yang modern. Tentara Sekutu sendiri akan menghadapi perlawanan dari pihak tentara Republik Indonesia.

Dalam hubungan itu, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, pemimpin AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), merasa perlu untuk mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa tentara Inggris dan Hindia tidak mempunyai tujuan politik apapun dan tidak akan melibatkan diri dalam urusan politik nasional Indonesia.

. . .bersambung

RESOLUSI 4 NEGARA (BAGIAN 4)

. . . sambungan

f ) Komisi harus membantu mencapai secepat mungkin kembalinya pemerintah sipil dari Republik Indonesia. Untuk hal itu Komisi setelah berunding dengan kedua belah pihak, akan menganjurkan sampai mana daerah-daerah dari Republik Indonesia yang ditentukan menurut persetujuan Renville (di luar wilayah Yogyakarta) akan dikembalikan secara berangsur-angsur kepada pemerintah Republik Indonesia sesuai syarat-syarat untuk menjamin keamanan dan ketertiban dan penjagaan jiwa dan harta benda; dan Komisi akan mengawasi juga kebutuhan ekonomi yang diperlukan supaya pemerintah dapat berlaku dengan tertib dan untuk menjaga kehidupan rakyat dalam daerah yang dikembalikan itu. Setelah berunding dengan kedua belah pihak, Komisi akan menganjurkan tentara Belanda, jika masih perlu akan tetap tinggal untuk sementara waktu di luar daerah Yogyakarta untuk membantu menjaga keamanan dan ketertiban. Jika sesuatu dari kedua belah pihak tidak dapat menerima anjuran Komisi tersebut dalam paragraf ini, maka Komisi akan melaporkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan segera dibubuhi saran-saran lain untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran yang ada itu.

g ) Komisi mengirimkan laporan periodik kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan laporan istimewa setiap waktu Komisi memandang perlu.

h ) Komisi akan mempergunakan para pengawas, perwira dan orang-orang lain yang dianggap perlu.

5 . Meminta kepada sekretaris Jenderal supaya Komisi diberi staf, keuangan dan kebutuhan-kebutuhan lain untuk melaksanakan pekerjaannya.

6. Menganjurkan kepada pemerintah Belanda dan Republik Indonesia supaya memberi bantuan sepenuhnya untuk melaksanakan aturan-aturan dari resolusi itu.

Berbeda dengan resolusi sebelumnya yang terdiri dari Resolusi 1 Agustus 1947, Resolusi 25 Agustus 1947, Resolusi 1 November 1947, Resolusi 24 Desember 1948, dan Resolusi 28 Desember 1948, Resolusi 28 Januari 1949 adalah yang lebih jelas dan rinci. Tidak seperti biasanya hanya memuat garis-garis besar yang ditetapkan, sehingga tidak terdapat banyak peluang untuk meng-interpretasikannya secara berbeda dengan makna dan tujuannya. Hal itu jelas menyulitkan kedudukan Belanda yang selama tiga tahun sudah membuktikan kemampuannya menafsirkan setiap persetujuan dan resolusi menurut pandangannya sendiri. Sehingga hal itu seolah-olah diperuntukkan sebagai alat pendukung politik kolonialnya.

RUNTUHNYA SATU IMPIAN

Dengan resolusi tanggal 28 Januari 1949 itu, Belanda tidak dapat mengembangkan kemahirannya, karena di samping isinya cukup rinci, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menetapkan interpretasi Dewan Keamanan c.q. UNCI yang dianggap sah.

Bagi Belanda persoalan itu menjadi serba salah. Menerima resolusi berarti Belanda harus melenyapkan impian menjadi pemilik yang sah di "Ons Indie" (Hindia Kami) dan menolak resolusi berarti mengadakan konfrontasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara langsung akan berarti bermusuhan dengan seluruh dunia.

Agresi Militer Kedua merupakan kemenangan bagi Belanda namun akhirnya merupakan kegagalan yang banyak memakan korban. Jenderal Spoor telah berhasil mencapai sasaran militernya (meskipun pendudukan aktif hanya terbatas pada kota-kota dan pada garis komunikasi utama), kaum Federalis yang diandalkan Belanda telah mulai mengadakan pendekatan yang berarti kepada Republik Indonesia. Amerika Serikat telah menghentikan bantuan Marshall kepada Hindia-Belanda, pendukung Republik Indonesia melaksanakan perang gerilya atas keputusan kabinet yang dilanjutkan PDRI, wujud Republik Indonesia dalam perkembangan politik yang akan datang telah dijamin oleh Keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 28 Januari 1949.

Belanda keliru memperhitungkan pengaruh operasi militer terhadap Republik Indonesia. Benar, bahwa pasukan Belanda dapat menguasai sekurang-kurangnya secara nominal hampir seluruh Pulau Jawa dan sebagian besar wilayah Sumatera, Tapi perhitungan Belanda bahwa kepemimpinan Republik Indonesia akan mengalami disintegrasi, ternyata tidak terjadi.

Belanda juga tidak mengira bahwa reaksi negara-negara Asia begitu hebat. Sehingga begitu berpengaruh terhadap sikap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi perkiraan Belanda gagal total, terutama dalam memperhitungkan reaksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seperti yang diungkapkan oleh wakil Inggris Sir Alexander Cadogan, 25 Januari 1949 bahwa "di masa lalu dari mana kita datang, Dewan Keamanan menghadapi keharusan untuk mengambil tindakan dengan melewati batas, yang biasanya tidak pernah dilangkahinya."

Dengan kata lain, Dewan Keamanan telah sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak mempunyai alternatif tapi terpaksa meninggalkan sikap sebelumnya yang hanya mengadakan jasa-jasa baik dan sebaliknya mengambil sikap yang lebih positif untuk menyelamatkan Republik Indonesia yang telah mempunyai kedudukan sebagai satu pihak dalam sengketa internasional. Satu hal yang tidak begitu saja dapat ditiadakan dari agenda Dewan Keamanan walaupun dengan melakukan operasi militer.

Dengan diterimanya Resolusi 28 Januari itu, bagi Belanda hanya tinggal satu jalan lagi, yaitu mengadakan perundingan kembali dengan pemerintah yang dianggapnya sudah tidak ada.

Mengenai Resolusi Dewan Keamanan itu A.M Taylor menulis sebagai berikut :

"merupakan titik balik dalam nasib Belanda, Resolusi itu tidak saja dapat mencegah likuidasi Republik Indonesia yang menjadi tujuan utama dari aksi militer Belanda, tetapi telah mengakhiri politik Belanda yang secara berkesinambungan berupaya mengatur masalah Indonesia di luar Dewan Keamanan dan di luar Republik Indonesia."

Sunday, February 26, 2017

RESOLUSI 4 NEGARA (BAGIAN 3)

. . . lanjutan

 (3) Menganjurkan supaya dalam kepentingan mewujudkan tujuan dan keinginan kedua belah pihak untuk mendirikan satu Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat dan berbentuk federal, dalam tempo sesingkat-singkatnya, perundingan-perundingan akan diadakan secepat mungkin oleh utusan-utusan pemerintah Belanda dan utusan-utusan Republik Indonesia dengan bantuan Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam paragraf 4 di bawah, berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam Persetujuan Linggajati dan Renville dan mempergunakan apa yang telah disetujui antara kedua belah pihak tentang asal-usul yang dimajukan padanya oleh wakil-wakil Amerika dan terisstimewa atas dasar berikut :
a) Perwujudan Pemerintah Federal Interim yang akan diberi kuasa dalam hal pemerintahan dalam negeri di Indonesia selama masa peralihan sebelum penyerahan kedaulatan terjadi itu, harus merupakan hasl dari perundingan-perundingan tersebut di atas dan akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 15 Maret 1949.
b) Pemilihan wakil-wakil yang akan duduk dalam Constituent Assembly (Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar) hendaknya selesai tanggal 1 Oktober 1949. 

c) Penyerahan kedaulatan kepada Indonesia oleh pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat hendaknya dilaksanakan pada waktu sesingkat-singkatnya dan paling lambat tanggal 1 Juli 1950. Jika tidak ada persetujuan satu bulan sebelum tanggal masing-masing tersebut dalam sub-paragraf a, b, dan c di atas makan komisi tersebut paragraf 4c di bawah dengan segera melaporkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan dibubuhi saran-saran untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran yang ada.
(4) a. Komisi Jasa-Jasa Baik selanjutnya akan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Komisi itu akan bertindak sebagai perwakilan Dewan Keamanan di Indonesia dan mempunyai segala kewajiban yang diberikan kepada Komisi Jasa-Jasa Baik oleh Dewan Keamanan semenjak 18 Desember 1947 dan segala kewajiban yang diberikan padanya oleh resolusi ini. Komisi ini akan mengambil putusan dengan suara terbanyak akan tetapi dalam laporan dan anjuran kepada Dewan Keamanan dimajukan pemandangan-pemandangan dari suara terbanyak maupun dari suara minoritas, jika ada perbedaan paham antara anggota Komisi itu.
 b. Komisi Konsul diminta membantu pekerjaan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia dengan memberikan peninjau militernya dan pegawai lainnya dan serta pertolongan lainnya agar Komisi dapata melakukan kewajibannya tercantum dalam resolusi sekarang ini dan untuk sementara waktu menunda segala pekerjaan lainnya.
c. Komisi akan memberi bantuan kepada kedua belah pihak dalam melaksanakan perundingan menurut paragraf 3 di atas dan berhak memberi anjuran kepada mereka atau kepada Dewan Keamanan tentang hal-hal termasuk dalam kekuasaannya. Setelah tercapai persetujuan-persetujuan dalam kekuasaannya. Setelah tercapai persetujuan-persetujuan dalam perundingan itu, Komisi akan memberi anjuran kepada Dewan Keamanan tentang sifat, kekuasaan dan pekerjaan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang harus tinggal di Indonesia untuk membantu pelaksanaan syarat-syarat dari persetujuan itu sehingga kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat.
d. Komisi berhak berunding dengan wakil-wakil dari daerah-daerah di Indonesia selain Republik Indonesia dan mengundang wakil-wakil daerah itu untuk ikut sera dalam perundingan seperti tercantum dalam paragraf 3 di atas.
e. Komisi atau badan lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa  yang  mungkin didirikan menurut saran-saran tersebut di paragraf 4c di atas berhak mengawasis pemilihan umum atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan diadakan di seluruh Indonesia serta berhak pula memajukan saran terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, Madura dan Sumatera tentang syarat-syarat yang perlu supaya :
  •  Menjamin bahwa pemilihan itu diadakan secara bebas dan demokratis.
  • Menjamin adanya kemerdekaan untuk berhimpun, berbicara dan menerbitkan pada setiap waktu, asal saja kegiatan itu tidak meliputi sesuatu anjuran untuk mempergunakan kekerasan atau pembalasan.
. . . bersambung 

RESOLUSI 4 NEGARA (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Pemerintah Belanda tidak dapat meninggalkan tanggung jawab terhadap mereka yang selama ini mendukung politik keamanan dan kemakmuran yang mereka rencanakan untuk Indonesia. Oleh sebab itu, atas nama pemerintah Belanda dia dengan tegs menolak : 
  1. Mengembalikan Yogyakarta dan daerahnya ke dalam pemerintahan Republik Indonesia.
  2. Menerima dan mengakui kekuasaan yang diberikan kepada UNCI untuk mencampuri urusan pembentukan pemerintah peralihan, pemilihan umum dan penyerahan kedaulatan.
  3. Cara penetapan atas pemungutan suara yang diadakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam masalah ini.
  4. Mengakui kekuasaan UNCI untuk memberikan saran-saran tentang daerah mana yang harus dikembalikan kepada Republik.
Setelah mendengar pidato van Roijen sidang memulai pemungutan suara atas resolusi 4 negara yang telah diperbaiki. Menurut usul para anggota pemungutan suara akan dilakukan terhadap tiap-tiap baris.

Terhadap rencana resolusi dipungut suara melalui paragraf dan sub-paragraf serta tak satu pun suara negatif yang diberikan.

Tanggal 29 anuari 1949, resolusi Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi disampaikan kepada wakil-wakil negara yang bersangkutan di Lake Success. Kepada pihak-pihak Belanda serta Indonesia di Jakarta dan Bangka melalui UNCI.

Resolusi itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Dengan mengingat resolusinya tanggal 1 Agustus 1947, 25 Agustus 1947 dan 1 November 1947 tentang masalah Indonesia : dengan memperhatikan dan menyetujui laporan-laporan yang diajukan Komisi Jasa-Jasa Baik untuk Indonesia.

Menimbang bahwa resolusinya tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948 tidak dijalankan sepenuhnya :

Menimbang bahwa mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia oleh pasukan-pasukan bersenjata Belanda tidak sesuai dengan usaha mengembalikan hubungan baik antara kedua belah pihak dan mencapai pada akhirnya penyelesaian yang adil dan kekal dari perselisihan Indonesia.

Menimbang bahwa mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia adalah syarat yang perlu untuk mencapai maksud dan keinginan kedua belah pihak.

Mendengar dengan rasa puas, bahwa kedua belah pihak terus memegang teguh asas-asas Persetujuan "Renville" dan menyetujui akan diadakan pemilihan yang merdeka dan secara demokratis di seluruh Indonesia dengan maksud untuk mendirikan Constituent Assembly selekas-lekasnya, selanjutnya menyetujui bahwa Dewan Keamanan akan mengawasi pemilihan itu dengan badan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bahwa wakil Belanda telah menyatakan keinginan pemerintahnya untuk mengadakan pemilihan dan tidak lebih lambat lagi dari tanggal 1 Oktober 1949.

Melihat pula dengan rasa puas, bahwa pemerintah Belanda berniat akan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 1 Januari 1950 dengan keyakinan atas tanggung jawabnya yang terutama untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, dan agar hak-hak, tuntutan-tuntutan dan kedudukan kedua belah pihak tidak dilanggar oleh kekerasan.

  1.  Menganjurkan pada pemerintah Belanda menjamin berhentinya segala tindakan militer dengan segera, menganjurkan kepada pemerintah Republik Indonesia pada waktu yang sama memerintahkan pula kepada pengikut-pengikutnya yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya dan menganjurkan kepada kedua belah pihak supaya bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan dan ketertiban di seluruh daerah yang bersangkutan.
  2. Menganjurkan pada pemerintah Belanda membebaskan dengan segera dan tanpa syarat apapun juga sekalian tawanan-tawanan politik yang ditawan olehnya semenjak tanggal 17 Desember 1948 dalam Republik Indonesia, dan mempermudah kembalinya dengan segera pembesar-pembesar pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, supaya mereka dapat melakukan kewajibannya tersebut pada paragraf 1 di atas dan agar mereka dapat menjalankan pekerjaannya secara merdeka, termasuk juga pemerintahan di daerah Yogyakarta yang mencakup kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pembesar-pembesar Belanda akan memberikan kepada pemerintah Republik Indonesia segala persediaan sepantasnya yang diperlukan oleh pemerintah itu untuk melakukan kewajibannya dalam daerah Yogyakarta dan untuk berhubungan dan bertukar pikiran dengan orang lain di Indonesia.
. . . bersambung 

Saturday, February 25, 2017

RESOLUSI 4 NEGARA (BAGIAN 1)

Akhirnya Amerika Serikat bersama-sama Cina, Kuba dan Norwegia merencanakan untuk mengajukan resolusi yang dikenal dengan "Resolusi 4 Negara". Sidang Dewan Keamanan yang sedianya diadakan pada 19 Desember 1949 diundurkan dua hari untuk memberi kesempatan kepada 4 negara itu menyusun resolusinya.

Resolusi tersebut dalam garis besarnya menghendaki :
  1. Penghentian secepatnya tembak-menembak oleh kedua pihak (Indonesia - Belanda).
  2. Pembebasan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dan semua tahan politik serta mengembalikan mereka ke Yogyakarta.
  3. Kedua pihak kemudian merundingkan pembentukan suatu pemerintah peralihan untuk Negara Indonesia Serikat yang merdeka.
  4. Pemerintah peralihan itu harus sudah dibentuk selambat-lambatnya tanggal 15 Maret 1949.
  5. Pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus diadakan sebelum tanggal 1 Oktober 1949.
  6. Penyerahan kedaultan kepada Negara Indonesia Serikat tidak boleh melewati 1 Juli 1950.
  7. Komisi Jasa-Jasa Baik akan bertindak untuk dan atas nama Dewan Keamanan dan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia), selanjutnya UNCI atau Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi Tiga Negara ini akan memiliki semua kekuasaan yang diberikan kepadanya sejak 16 Desember 1947. Untuk selanjutnya putusan UNCI akan didasarkan pada jumlah suara terbanyak (Komisi Jasa-Jasa Baik harus dengan suara bulat) dengan catatan, jikalau terdapat perbedaan pendapat antara para anggota dalam laporannya kepada Dewan Keamanan, pendapatan dan pandangan pihak minoritas harus turut dilampirkan.
  8. UNCI akan memberi bantuannya kepada kedua pihak yang bersangkutan, supaya mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan resolusi dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya UNCI akan mengajukan saran-saran kepada Dewan Keamanan mengenai : cara-cara yang dianggap terbaik yang baik dilakukan, supaya pengalihan kekuasaan di Indonesia berlangung secara aman dan tenteram. UNCI juga berhak menghubungi dan meminta pendapat pihak-pihak non-Republik.
  9. UNCI mempunyai kekuasaan untuk mengawai pemilihan umum, supaya : (a) pemilihan berlangsung bebas dan demokratis; (b) terdapat kebebasan pers, rapat dan pertemuan, sepanjang kebebasan itu tidak digunakan untuk merencakan kejahatan, intimidasi, perampokan dan pembunuhan.
  10. UNCI akan membantu, supaya kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dipulihkan segera. UNCI akan mengadakan rekomendasi kepada Dewan Keamanan mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduku di daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada kekuasaan Republik Indonesia.
UNCI juga berhak menyarankan penggunaan tentara Belanda di daerah-daerah yang dianggap perlu demi ketenteraman dan kesejahteraan rakyat.

Ketika sedang sibuk membahas resolusi 4 negara, Dewan Keamanan menerima dari Perdana Menteri Nehru satu salinan resolusi yang disetujui oleh Konferensi New Delhi yang diadakan 20 hingga 22 Januari 1949. Dalam sidang Dewan Keamanan 25 hinggal 27 Januari, wakil-wakil India, Australia dan Republik membahas cara mengadakan perubahan rencana resolusi 4 negara dengan memasukkan ketentuan-ketentuan Konferensi New Delhi seperti ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Penarikan secepatnya pasukan Belanda dari Keresidenan Yogyakarta dan penarikannya secara bertahap pada posisi tanggal  18 Desember 1948 hingga 15 Maret 1949, apabila pemerintah sementara dibentuk.

Penghapusan secepatnya segala batas-batas dalam perdagangan Republik Indonesia. Serta penyerahan secara tuntas secara kekuasaan kepada Pemerintah Indonesia Serikat selambat-lambatnya 1 Januari 1950.

Tanggal 27 dan 28 Januari 1949, para anggota terus membahas resolusi 4 negara dan mengajukan amandemen, yang pada akhirnya mensejajarkan rencana resolusi 4 negara itu pada resolusi Asia di New Delhi. Setelah semua amandemen dimasukkan ke dalam resolusi dan setelah resolusi itu disusun kembali, ketua memberi kesempatan terakhir kepada wakil pemerintah Belanda, van Roijen untuk menanggapinya.

Dalam pidato yang berapi-api van Roijen mencela keteledoran para anggota. Dia menuduh mereka tidak menghiraukan nasib rakyat yang kalau sudah dikembalikan ke dalam pemerintah Indonesia akan mengalami penderitaan akibat balas dendam, penindasan dan perampokan.

. . . bersambung

TITIK BALIK (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Delegasi Perancis tetap bungkam dan dalam pemungutan suara berikutnya tetap abstain, sedangkan sebelumnya dalam mendukung kedudukan Belanda pernah memveto resolusi Uni Soviet.
Dari kenyataan ini jelaslah bahwa kedudukan Belanda di Dewan Keamanan makin bertambah merosot. Satu-satunya dukungan yang masih diperolehnya hanyalah "lone ranger" dari delegasi Belgia.

Meskipun demikian resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 24 Desember 1948 dan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 28 Desember 1948 yang hanya menuntut penghentian permusuhan dan pembebasan pemimpin Republik Indonesia masih dianggap belum memuaskan, terlebih lagi karena tidak dihiraukan oleh Belanda, namun pendapat umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mulai mengalami perubahan yang tidak menguntungkan bagi kepentingan Belanda. Dalam rapat 29 Desember 1948 Jessup mengatakan bahwa :

"Dewan Keamanan harus mempertimbangkan tidak hanya kenyataan bahwa penjelasan telah diberikan, tetapi juga isi daripada penjelasan itu sendiri."

"Bukan saja mengenai kasus gencatan senjata dan juga mengenai pembebasan tawanan politik, Belanda tidak mampu menunjukkan kepatuhannya terhadap resolusi."

"Mengacu pada keterangan van Roijen bahwa Perdana Menteri Belanda Drees dalam masa tidak berapa lama lagi akan berangkat dalam rangka mengadakan konsultasi dengan wakil-wakil semua bagian Indonesia tanpa pengecualian. Jessup menjelaskan bahwa "seseoran hanya akan menyesalkan bahwa tindakan seperti itu tidak dilakukan menurut saran-saran yang berkali-kali diberikan terutama oleh Komisi Jasa-Jasa Baik, sebelum memaksakan tindakan bersenjata yang sekarang ini."

Tanpa mengambil keputusan yang pasti, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakhiri sidangnya di Paris dan tidak mengadakan sidang di Lake Success hingga 7 Januari 1949. Pada 6 Januari 1949, wakil Amerika Serikat dalam Komisi Jasa-Jasa Baik, Merle Cochran menerima instruksi dari State Department yang memerintahkannya kembali ke Washington untuk mengadakan konsultasi. Keberangkatannya dari Jakarta berteparan dengan dimulainya halaman baru dalam sidang Dewan Keamanan. Mulai dengan sidang tanggal 11 Januari 1949, Dewan Keamanan mulai berurusan dengan segi politik sengketa Indonesia.

Mendasarkan pendapatnya atas fakta-fakta yang disampaikan oleh Komisi Jasa-Jasa Baik, Jessup mengumumkan bahwa dilanjutkannya permusuhan untuk masa seminggu sudah diterimanya resolusi Dewan Keamanan 24 Desember 1949 adalah merupakan "tindakan pembangkangan yang nyata" yang "tidak ada alasan... yang dapat menyembunyikannya," dan bahwa Belanda telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Amerika Serikat yakin bahwa Dewan Keamanan "tidak berniat untuk menyetujui tindakan yang mengkonsolidasikan kemenangan yang didapat sebagai hasil pembangkangan dari perintah Dewan Keamanan." Pernyataan itu merupakan pernyataan pertama Amerika Serikat yang mencela sikap Belanda selama masalah Indonesia dibahas oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bersamaan dengan kecaman itu, Amerika Serikat juga menyerang sikap pembangkangan Belanda terhadap Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejajar dengan tuduhan Merle Cochran bahwa Belanda dengan sengaja telah melemahkan Republik Indonesia dan menghadapkannya dengan pemerintah sementara yang dibuat-buat. Padahal Republik Indonesia senantiasa mengasosiakan dirinya dengan pemerintah itu tapi dia tidak diperbolehkan ikut membentuknya. "Sesudah menekankan bahwa Republik Indonesia adalah lambang kesatuan politik dan jantung dari semangat kebangsaan Indonesia yang tidak mungkin dapat dipadamkan dengan tindakan militer, Jessup mendesak agar perundingan dilanjurkan kembali berdasarkan rencana Merle Cochran. Tanggal yang pasti ditentukan untuk mengadakan pemmilihan umum dan penyerahan kedaulatan serta tentara Belanda harus ditarik kembali pada tanggal tertentu. Dan secepat mungkin pendudukannya agar diakhiri secara tuntas sebelum kedaulatan diserahkan.

Perubahan sikap yang senada kurang lebih tercermin pula dari keterangan-keterangan anggota Dewan Keamanan lainnya seperti Tsiang wakil Cina yang mengumumkan bahwa Dewan Keamanan harus mengusahakan peranan yang lebih positif mengenai Indonesia di masa depan. Kegagalan dalam masalah Indonesia akan merupakan bencana bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti halnya kegagalan Liga Bangsa-Bangsa dalam soal Abyssinia dan Manchuria. Begitu pula halnya wakil Inggris yang mulai bergeser dari sikapnya yang pro-Belanda dapat disaksikan dalam permintaan Alexander Cadogan agar diberi jaminan bahwa tawanan dapat dibebaskan dan "wakil yang terkenal" dari Republik Indonesia diikut sertakan dalam pemerintahan sementara.

TITIK BALIK - SELESAI.

Friday, February 24, 2017

TITIK BALIK (BAGIAN 1)

Menanggapi agresi Belanda itu, Alastair M. Taylor di bawah judul "Turning Point" (Titik Balik) antara lain menyatakan bahwa :

"Aksi polisionil Belanda menimbulkan reaksi segera di seluruh dunia" . . . "Di seberang Atlantik, pendapat umum dan kalangan resmi di Amerika Serikat menunjukkan reaksi luar biasa terhadap meletusnya permusuhan itu, Economic Cooperation Administration (ECA) menghentikan bantuan kepada N.E.I pada 22 Desember 1948. Menurut harian New York Times pada tanggal 23 Desember 1948, Phillip Murray, Presiden C.I.O mendesak State Department untuk mengambil setiap langkah yang mungkin dalam bidang diplomasi dan ekonomi untuk membantu menghentikan agresi Belanda di Indonesia."

Menurut Howard P. Jones, seperti dikutip Manchester Guardian :

"di Eropa, Amerika dan Asia pendapat umum dan pemerintah menyatakan kemarahannya... Untuk kedua kalinya Belanda telah melanggar perjanjian tertulis, menggunakan kekuatan bersenjata dengan harapan untuk membasmi gerakan kebangsaan Indonesia."

Dr. Sumitro Djojohadikusumo mengajukan protes kepada Acting Secretary of State Robert Lovett di Washington, mencap tindakan Belanda sebagai Pealr Harbor kedua. Dia mengatakan kepada pers :
"uang yang diterima dari Amerika Serikat, untuk tujuan pembangunan di Hollan, dialihkan sebanyak satu juta dollar sehari untuk membiayai pasukan sebanyak 130.000 orang di Indonesia... saya meramalkan bahwa Belanda tidak akan mendapat ketenteraman di Indonesia, bagaimana pun kemenangan yang diperolehnya ... Kenyataan bahwa Belanda berhasil menangkap pemimpin Republik Indonesia adalah karena kenyataan bahwa pemerintah kami percaya bahwa perundingan masih berjalan. Dengan pengkhianatan yang tak pernah didengar, Belanda melakukan penyerangan secara diam-diam."

Lovett secara tertulis memberi jawaban bahwa Amerika Serikat tidak mendukung atau menyetujui tindakan militer Belanda itu. Dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George C. Marshall juga memberikan dukungannya kepada masalah Indonesia.
Pers Amerika Serikat secara terang-terangan membela Indonesia. Harian Chicaho Tribune berteriak bahwa Ratu dan pejabat Belanda sepantasnya digantung. New York Times dan Christian Science Monitor mengkritik tindakan Belanda itu :

"Di India, pemimpinnya menuduh Belanda mengadakan nyata-nyata agresi yang memalukan. Di New Delhi Perdana Menteri Nehru mengumumkan dan mengadakan pertemuan sembilan belas negara termasuk Australia dan Selandia Baru dalam rangka memprotes tindakan itu."

Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda mendapat tamparan yang lebih hebat lagi. Di Paris, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan sidang pada 22 Desember 1948 dan seluruh sidang tertuju pada keterangan wakil Belanda J.H. Van Roijen yang memberi gambaran lengkap mengenai jalannya operasi militer serta motivasi Belanda mengadakan serangan terhadap Republik Indonesia yang di depan pendengar yang sudah gemas terhadap sikap Belanda yang telah bertindak sewenang-wenang.

Delegasi yang biasanya mendukung Belanda, kali ini mulai mundur. Wakil Amerika Serikat Philip Jessup secara blak-blakan mengatakan :

"Tidak ada alasan apapun untuk memulai operasi militer. Jika pelanggaran terhadap gencatan senjata sudah memuncak dan bertubi-tubi seperti dituding Belanda, hal itu semestinya dilaporkan kepada Dewan Keamanan sebelum memaksakan tindakan militer."

"Satu kenyataan sederhana tapi pasti adalah bahwa perintah gencatan senjata Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus tidak diindahkan Aksi Militer Belanda adalah terang-terangan pelanggaran terhadap piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Wakil Inggris Alexander Cadogan, yang biasanya memihak Belanda berpendapat bahwa :
"Tindakan Belanda sudah keterlaluan dan dilihat dari caranya Belanda bertindak, resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tampaknya diabaikan atau tidak dihormati sebagaimana mestinya."

. . . bersambung ke bagian 2

ULTIMATUM BELANDA

Jalan buntu dalam perundingan dan kembalinya delegasi Sassen ke Belanda pada 5 Desember 1948 sudah menimbulkan keadaan yang mencemaskan. Menyadari siatuasi gawat tersebut, Merle Cochran terbang ke Yogyakarta 13 Desember 1948 untuk mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Hasilnya mendapatkan penjelasan tertulis mengenai posisi Wakil Tinggi Mahkota dalam masa peralihan. Untuk menghindari salah paham Mohammad Hatta menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
  1. Kedaulatan Belanda akan diakui tidak saja dalam prinsip, tapi juga dalam praktik pada masa peralihan.
  2. Sebagai imbalan diminta bahwa Belanda dalam menggunakan kedaulatannya membatasi diri sebagai sumbangan terhadap keuntungan akhir dari rakyat kita. Uraian lebih lanjut mengenai pembatasan diri sesuai dengan cara yang lazimnya kedaulatan dinyatakan di negara maju dan demokratis di Eropa dan Amerika Serikat akan dapat dibuat dan dijadikan bagian dari penyelesaian politik.
  3. Republik Indonesia sepenuhnya bersedia untuk mengakui kekuasaan Wakil Tinggi Mahkota untuk menggunakan hak vetonya dan hak mengumumkan keadaan darurat. Tetapi meminta bahwa satu ukuran tertentu diadakan sebagai pedoman untuk menggunakan kekuasaan itu.
  4. Republik Indonesia setuju bahwa dalam keadaan darurat Wakil Tinggi Mahkota dapat menggunakan pasukan Belanda dan pasukan federal untuk keselamatan negara.
Dalam menyatakan prinsip-prinsip itu, Perdana Menteri Mohammad Hatta sampai ke batas akhir dari wewenangnya dalam menghadapi Belanda, yang jika dilewati akan menyulitkan kedudukannya sendiri. 

Pernyataan Mohammad Hatta itu dengan segera disampaikan Merle Cochran hari itu juga kepada delegasi Belanda, dan empat hari kemudian 17 Desember 1948 dijawab oleh delegasi Belanda. Pernyataan Mohammad Hatta tersebut ditolak mentah-mentah oleh Belanda. Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa diperingatkan Belanda bahwa jawaban dari pemerintah terhadap tuntutan Belanda harus sudah diterima sebelum pukul 10 pagi waktu Jakarta, 18 Desember 1948 untuk diteruskan kepada pemerintah Belanda. Ultimatum Belanda itu mendorong Merle Cochran untuk menulis surat, karena anggota Komisi lainnya masih di Kaliurang, Yogyakarta. Bunyi surat itu adalah sebagai berikut :

"Saya terpaksa menyatakan penyesalan bahwa dianggap perlu untuk menentukan batas waktu, secara harfiah dapat diartikan (waktu yang diberikan) kurang dari jumlah 18 jam, termasuk waktu malam, waktu membuat fotokopi, waktu menyampaikan kepada Mr. Hatta, waktu Hatta mengadakan konsultasi dengan anggota kabinetnya, waktu membuat jawaban, waktu perjalanan dari Kaliurang ke Yogyakarta dan kemudian waktu terbang ke Batavia. Harus pula diingat sebagai perbandingan saya berikan surat Mr. Hatta pukul 5.30 sore hari Senin tanggal 13 Desember. Surat itu dijawab hari ini, empat hari kemudian, meskipun kenyataannya surat itu hanya minta keputusan untuk melanjutkan perundingan."

Ultimatum Belanda menuntut jawaban kurang dari 18 jam terhitung sejak diserahkannya nota itu yang sengaja dibuat. Karena Indonesia secara sepihak dengan menggunakan kekerasan. Dengan menjalankan taktik ini Belanda mencegah diajukannya usul baru oleh Republik Indonesia. Karena hal tersebut dapat mengganggu jalannya rencana memobilisasi pasukan terhadap Republik Indonesia yang secara matang telah diatur oleh Jenderal Spoor.
Tepat tiga belas setengah jam sesudah batas waktu, yakni pukul 23.30 tanggal 18 Desember 1948, Merle Cochran menerima surat lagi dari pemerintah Belanda. Belanda menganggap Perjanjian Gencatan Senjata seperti tercantum dalam Persetujuan Renville berakhir, dan sejak hari Minggu pukul 24.00 waktu Jakarta, Aksi Militer Kedua dilancarkan.

Thursday, February 23, 2017

RENCANA MERLE COCHRAN

Untuk mengurangi ketegangan politik yang terus meningkat, dua anggota baru Komisi, Critchley dan Dubois menyiapkan suatu nota dengan saran untuk mempercepat penyelesaian politik sesuai jiwa Persetujuan Renville yang disampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. Belanda menolak nota tersebut dan menuduh Komisi melangkahi wewenangnya dan melewati batas yang telah ditentukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketika Dubois digantikan Merle Cochran dia juga sependapat bahwa Komisi Jasa-Jasa Baik harus mengambil tindakan untuk memecahkan kemacetan politik yang telah membahayakan. Oleh karena itu dia mengambil prakarsa dan menganjurkan kepada kedua pihak beberapa gagasan untuk penyelesaian sengketa. Gagasan itu akhirnya dikenal sebagai Rencana Cochran.

Merle Cochran banyak mencantumkan unsur-unsur yang dikemukakan Critchley - Dubois dalam rencananya. Rencana pokoknya ialah untuk mengajukan satu usulan perjanjian dalam rangka penyelesaian politik secara menyeluruh. Hal ini dilakukannya dengan tujuan membawa kedua pihak yang bersengketa kembali ke meja perundingan. Dengan demikian diharapkan bahwa ketegangan yang makin memuncak dapat diredakan, dan kemungkinan pecahnya pertempuran dapat dicegah. Bagian terpenting dari rencana itu adalah usul mengenai susunan dari kekuasaan pemerintah sementara, dan ketentuan untuk mengadakan penyerahan kekuasaan secara bertahap oleh Belanda kepada Indonesia Serikat.

Maksud rencana itu sebenarnya adalah untuk menggagalkan rencana Belanda dalam usaha mendirikan pemerintah Federal Sementara secara sepihak, yang terdiri dari negara-negara dan daerah buatannya sendiri tanpa menghiraukan rasa keberatan Republik Indonesia. Pada hakikatnya rencana Belanda tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan Renville yang di dalamnya disebut secara nyata, bahwa pembentukan pemerintah sementara harus dilakukan bersama-sama dengan Republik Indonesia yang diberi cukup perwakilan.

Rencana Merle Cochran itu diterima dengan senang hati oleh pemerintah Republik Indonesia yang bersedia mengadakan perundingan untuk melaksanakan rencana tersebut. Tetapi pemerintah Belanda menolah Rencana Merle Cochran itu, dan sebaliknya mengajukan usul balasan yang sebenarnya bukan merupakan konsepsi baru dan hanya mengemukakan pendapat Belanda sendiri. Berhubung rencana Belanda dan rencana Merle Cochran mempunyai perbedaan yang besar, maka Komisi mempertimbangan bahwa pada saat itu kurang tepat waktunya untuk mendorong ke dua pihak ke meja perundingan.

Seperti diutarakan oleh A.M Taylor, pemerintah Belanda hanya bersedia berunding atas syaratnya sendiri dan sekuat tenada melancarkan siasat untuk meniadakan kekuasaan Republik Indonesia dalam Negara Indonesia Serikat nanti. Taylor menyimpulkan penilaiannya mengenai usul balasan Belanda dalam kata-kata sebagai berikut :

"Usul balasan Belanda bertujuan untuk melikuidasu Republik Indonesia secara bertahap sebagai kesatuan konstitusional dalam masa dibentuknya pemerintah sementara dan menggantikannya dengan 11 wilayah federal dalam Indonesia Serikat."

Dalam masa-masa itu Kabinet Hatta menghadapi pemberontakan komunis di Madiun. Pemberontakkan itu dapat ditumpas dalam waktu yang relatif singkat. Hal itu membuktikkan kemampuan pemerintah Indonesia mengatasi masalah dalam negerinya dengan kekuatan sendiri. Namun Belanda tidak dapat membaca keadaan sebenarnya. Pemerintah Belanda bukannya bersedia mengadakan perundingan dengan Republik Indonesia demi mencapai titik temu. Sebaliknya berkesimpulan keliru, bahwa Republik Indonesia telah menjadi lemah sebagai akibat kekacauan dalam negerinya dan kini dengan mudah dapat dihancurkan. Oleh karena itu Belanda berpendapat bahwa kini sudah tiba waktunya untuk mengadakan tekanan politik dan militer terhadap Republik Indonesia. Menurut mereka karena Indonesia sudah lelah maka kini akan bersedia menyerah dan paling tidak mengadakan kompromi dengan Belanda.
Pembicaraan Perdana Menteri Hatta dengan Menteri Luar Negeri Belanda Stikker yang berkunjung ke Indonesia, disusul kemudian oleh pembicaraannya dengan Menteri Daerah Seberang Lautan, Sassen, menambah runcingnya suasana, berhubung tidak dapat dicapai kata sepakat. Pendirian pemerintah seperti yang telah disampaikan terlebih dahulu kepada Stikker bahwa Republik Indonesia hanya akan menaati Perjanjian Gencatan Senjata, perjanjian itu merupakan bagian dari penyelesaian politik secara menyeluruh sesuai dengan jiwa persetujuan Renville dan rencana Merle Cochran. Belanda menolak pendirian tersebut.

Perdana Menteri Hatta dan Menteri Sassen menemui jalan buntu mengenai kedudukan Wakil Tinggi Mahkota dalam masa peralihan sebelum penyerahan kekuasaan. Menurut interpretasi Sassen, yang disampaikan kepada Komisi Jasa-Jasa Baik, pendirian Indonesia adalah semacam gentleman's aggreement dengan pemerintah Belanda. Bahwa Wakil Tinggi Mahkota tidak akan menggunakan hak vetonya dan tidak pula akan mengumumkan keadaan darurat dalam masa peralihan. Berdasarkan pemikiran ini Sassen berkesimpulan bahwa Republik Indonesia hanya akan mengakui kedaulatan Belanda dalam masa peralihan. Dan jika ini terjadi maka hal tersebut bertentangan dengan jiwa Persetujuan Renville dan Rencana Merle Cochran sebagai dasar melanjutkan perundingan.

Pada kenyataannya Belanda sendiri telah meniadakan rencana Merle Cochran dengan mengajukan usul balasan seperti telah disebutkan di atas. Menurut Rencana Merle Cochran, kekuasaan Wakil Tinggi Mahkota akan semakin dikurangi apabila pemerintah Sementara telah dibentuk. Sebenarnya pandangan Mohammad Hatta lebih sesuai dengan jiwa Rencana Merle Cochran daripada pendirian Belanda yang kaku di bawah Menteri Sassen.

KOMISI JASA-JASA BAIK (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Terhadap misi yang diajukan Australia dan Amerika Serikat, delegasi Polandia, pada 25 Agustus 1947 mengajukan satu amandemen yang menuntut agar membentuk Komisi Arbitrasi yang terdiri dari kesebelas anggota Dewan Keamanan. Amandemen Polandia dan rancangan Resolusi Australia hanya memperoleh tiga suara yang mendukung. Diterimanya usul Amerika Serikat oleh Dewan Keamanan melahirkan apa yang kemudian disebut Jasa-Jasa Baik Dewan Keamanan mengenai masalah Indonesia.
Hal itu merupakan satu usul kompromi Dewan Keamanan mendukung posisi Belanda dengan menolak permintaan Republik Indonesia untuk arbitrasi. Pada pihak lain dengan mengambil keputusan supaya Dewan Keamanan yang menawarkan jasa-jasa baik dan bukan pihak luar, maka resolusi untuk mengadakan Komisi Jasa-Jasa Baik itu adalah memenuhi tuntutan Republik Indonesia bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa  seharusnya senantiaa bertindak langsung dalam perundingan politik.

Pada akhirnya komposisi Komisi Jasa-Jasa Baik menjamin bahwa masing-masing pihak diwakili oleh seorang anggota yang mereka pilih sendiri. Dan anggota ketiga pada gilirannya harus dapat diterima oleh kedua pihak. Pada 4 November 1947, Belanda memberitahukan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan surat, bahwa dia telah menunjuk Belgia sebagai wakil Belanda dalam Komisi Jasa-Jasa Baik. Dan dua minggu kemudian Ketua Dewan telah diberitahu pula bahwa Australia akan bertindak sebagai wakil Indonesia. Pada hari yang bersamaan Menteri Luar Negeri Australia dan Belgia memberitahukan Ketua bahwa mereka telah memilih Amerika Serikat sebagai anggota Komisi Ketiga.

Dari tokoh-tokoh yang dipilih untuk menjadi anggota Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut dapat dipahami, bahwa ketiga negara yang terlibat dalam sengketa Indonesia - Belanda itu sepenuhnya menginsyafi pentingnya tanggung jawab yang dibebankan Dewan Keamanan untuk mencari penyelesaian. Sebagai anggota, pemerintah Amerika Serikat telah menunjuk Dr. Frank Graham, seorang pakar pendidikan terkenal dan Presiden Universitas North Carolina. Pemerintah Belgia menunjuk manta Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Mr. Van Zeeland dan pemerintah Australia menunjuk Judge Kirby.

Sejak dibentuknya Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (Agustus 1947) hingga dilancarkan Belanda Agresi Militer Kedua (tanggal 19 Desember 1948), sengketa Indonesia - Belanda berjalan di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik itu. Dalam masa kurang lebih satu tahun empat bulan, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bergulat dengan sengketa Indonesia - Belanda dan menerima 11 resolusi dalam rangka mencari penyelesaian sengketa tersebut. Berkat kerja keras Komisi Jasa-Jasa Baik, Persetujuan Renville pun telah berhasil ditandatangani oleh kedua pihak yang bersengketa pada 14 Januari 1948.

Sayangnya Persetujuan Renville tidak dapat menjamin tercapainya penyelesaian sengketa secara tuntas. Sebaliknya sesudah Persetujuan Renville, Belanda mulai bertambah serakah. Belum lagi kering tinta penandatanganan persetujuan, perang interpretasi mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville telah mulai berkecamuk. Pemerintah Amir Sjariffudin meletakkan jabatan. Demi untuk mencegah terjadinya kekosongan dalam menghadapi suasana yang semakin hari semakin gawat, Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948 membentuk kabinet presidensial di bawah pimpinan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Saat itu terjadi pula pertukaran anggota Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Belgia menunjuk Herremans untuk menggantikan Van Zeeland, pemerintah Australia menunjuk Mr. T. Critchley sebagai ganti Judge Kirby dan pemerintah Amerika Serikat menggantikan Dr. Frank Graham dengan Mr. Dubois, yang kemudian diganti lagi oleh seorang diplomat senior, Mr. Merle Cochran.

Semuanya itu tidak memperbaiki suasana. Hal itu adalah karena Belanda tidak jujur dalam perundingan dengan hanya menggunakannya sebagai masa tenggang mempersiapkan diri untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan kekuatan senjata.

Oleh sebab itu, tercapainya Persetujuan Renville sebenarnya belum berarti apa-apa dalam penyelesaian sengketa Belanda - Indonesia. Bahkan dalam pelaksanaan Persetujuan Renville mengalami kemacetan dimana-mana.

Komisi Jasa-Jasa Baik (Selesai).