Translate

Friday, February 24, 2017

TITIK BALIK (BAGIAN 1)

Menanggapi agresi Belanda itu, Alastair M. Taylor di bawah judul "Turning Point" (Titik Balik) antara lain menyatakan bahwa :

"Aksi polisionil Belanda menimbulkan reaksi segera di seluruh dunia" . . . "Di seberang Atlantik, pendapat umum dan kalangan resmi di Amerika Serikat menunjukkan reaksi luar biasa terhadap meletusnya permusuhan itu, Economic Cooperation Administration (ECA) menghentikan bantuan kepada N.E.I pada 22 Desember 1948. Menurut harian New York Times pada tanggal 23 Desember 1948, Phillip Murray, Presiden C.I.O mendesak State Department untuk mengambil setiap langkah yang mungkin dalam bidang diplomasi dan ekonomi untuk membantu menghentikan agresi Belanda di Indonesia."

Menurut Howard P. Jones, seperti dikutip Manchester Guardian :

"di Eropa, Amerika dan Asia pendapat umum dan pemerintah menyatakan kemarahannya... Untuk kedua kalinya Belanda telah melanggar perjanjian tertulis, menggunakan kekuatan bersenjata dengan harapan untuk membasmi gerakan kebangsaan Indonesia."

Dr. Sumitro Djojohadikusumo mengajukan protes kepada Acting Secretary of State Robert Lovett di Washington, mencap tindakan Belanda sebagai Pealr Harbor kedua. Dia mengatakan kepada pers :
"uang yang diterima dari Amerika Serikat, untuk tujuan pembangunan di Hollan, dialihkan sebanyak satu juta dollar sehari untuk membiayai pasukan sebanyak 130.000 orang di Indonesia... saya meramalkan bahwa Belanda tidak akan mendapat ketenteraman di Indonesia, bagaimana pun kemenangan yang diperolehnya ... Kenyataan bahwa Belanda berhasil menangkap pemimpin Republik Indonesia adalah karena kenyataan bahwa pemerintah kami percaya bahwa perundingan masih berjalan. Dengan pengkhianatan yang tak pernah didengar, Belanda melakukan penyerangan secara diam-diam."

Lovett secara tertulis memberi jawaban bahwa Amerika Serikat tidak mendukung atau menyetujui tindakan militer Belanda itu. Dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George C. Marshall juga memberikan dukungannya kepada masalah Indonesia.
Pers Amerika Serikat secara terang-terangan membela Indonesia. Harian Chicaho Tribune berteriak bahwa Ratu dan pejabat Belanda sepantasnya digantung. New York Times dan Christian Science Monitor mengkritik tindakan Belanda itu :

"Di India, pemimpinnya menuduh Belanda mengadakan nyata-nyata agresi yang memalukan. Di New Delhi Perdana Menteri Nehru mengumumkan dan mengadakan pertemuan sembilan belas negara termasuk Australia dan Selandia Baru dalam rangka memprotes tindakan itu."

Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda mendapat tamparan yang lebih hebat lagi. Di Paris, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan sidang pada 22 Desember 1948 dan seluruh sidang tertuju pada keterangan wakil Belanda J.H. Van Roijen yang memberi gambaran lengkap mengenai jalannya operasi militer serta motivasi Belanda mengadakan serangan terhadap Republik Indonesia yang di depan pendengar yang sudah gemas terhadap sikap Belanda yang telah bertindak sewenang-wenang.

Delegasi yang biasanya mendukung Belanda, kali ini mulai mundur. Wakil Amerika Serikat Philip Jessup secara blak-blakan mengatakan :

"Tidak ada alasan apapun untuk memulai operasi militer. Jika pelanggaran terhadap gencatan senjata sudah memuncak dan bertubi-tubi seperti dituding Belanda, hal itu semestinya dilaporkan kepada Dewan Keamanan sebelum memaksakan tindakan militer."

"Satu kenyataan sederhana tapi pasti adalah bahwa perintah gencatan senjata Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus tidak diindahkan Aksi Militer Belanda adalah terang-terangan pelanggaran terhadap piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Wakil Inggris Alexander Cadogan, yang biasanya memihak Belanda berpendapat bahwa :
"Tindakan Belanda sudah keterlaluan dan dilihat dari caranya Belanda bertindak, resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tampaknya diabaikan atau tidak dihormati sebagaimana mestinya."

. . . bersambung ke bagian 2

No comments:

Post a Comment