Translate

Friday, February 24, 2017

ULTIMATUM BELANDA

Jalan buntu dalam perundingan dan kembalinya delegasi Sassen ke Belanda pada 5 Desember 1948 sudah menimbulkan keadaan yang mencemaskan. Menyadari siatuasi gawat tersebut, Merle Cochran terbang ke Yogyakarta 13 Desember 1948 untuk mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Hasilnya mendapatkan penjelasan tertulis mengenai posisi Wakil Tinggi Mahkota dalam masa peralihan. Untuk menghindari salah paham Mohammad Hatta menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
  1. Kedaulatan Belanda akan diakui tidak saja dalam prinsip, tapi juga dalam praktik pada masa peralihan.
  2. Sebagai imbalan diminta bahwa Belanda dalam menggunakan kedaulatannya membatasi diri sebagai sumbangan terhadap keuntungan akhir dari rakyat kita. Uraian lebih lanjut mengenai pembatasan diri sesuai dengan cara yang lazimnya kedaulatan dinyatakan di negara maju dan demokratis di Eropa dan Amerika Serikat akan dapat dibuat dan dijadikan bagian dari penyelesaian politik.
  3. Republik Indonesia sepenuhnya bersedia untuk mengakui kekuasaan Wakil Tinggi Mahkota untuk menggunakan hak vetonya dan hak mengumumkan keadaan darurat. Tetapi meminta bahwa satu ukuran tertentu diadakan sebagai pedoman untuk menggunakan kekuasaan itu.
  4. Republik Indonesia setuju bahwa dalam keadaan darurat Wakil Tinggi Mahkota dapat menggunakan pasukan Belanda dan pasukan federal untuk keselamatan negara.
Dalam menyatakan prinsip-prinsip itu, Perdana Menteri Mohammad Hatta sampai ke batas akhir dari wewenangnya dalam menghadapi Belanda, yang jika dilewati akan menyulitkan kedudukannya sendiri. 

Pernyataan Mohammad Hatta itu dengan segera disampaikan Merle Cochran hari itu juga kepada delegasi Belanda, dan empat hari kemudian 17 Desember 1948 dijawab oleh delegasi Belanda. Pernyataan Mohammad Hatta tersebut ditolak mentah-mentah oleh Belanda. Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa diperingatkan Belanda bahwa jawaban dari pemerintah terhadap tuntutan Belanda harus sudah diterima sebelum pukul 10 pagi waktu Jakarta, 18 Desember 1948 untuk diteruskan kepada pemerintah Belanda. Ultimatum Belanda itu mendorong Merle Cochran untuk menulis surat, karena anggota Komisi lainnya masih di Kaliurang, Yogyakarta. Bunyi surat itu adalah sebagai berikut :

"Saya terpaksa menyatakan penyesalan bahwa dianggap perlu untuk menentukan batas waktu, secara harfiah dapat diartikan (waktu yang diberikan) kurang dari jumlah 18 jam, termasuk waktu malam, waktu membuat fotokopi, waktu menyampaikan kepada Mr. Hatta, waktu Hatta mengadakan konsultasi dengan anggota kabinetnya, waktu membuat jawaban, waktu perjalanan dari Kaliurang ke Yogyakarta dan kemudian waktu terbang ke Batavia. Harus pula diingat sebagai perbandingan saya berikan surat Mr. Hatta pukul 5.30 sore hari Senin tanggal 13 Desember. Surat itu dijawab hari ini, empat hari kemudian, meskipun kenyataannya surat itu hanya minta keputusan untuk melanjutkan perundingan."

Ultimatum Belanda menuntut jawaban kurang dari 18 jam terhitung sejak diserahkannya nota itu yang sengaja dibuat. Karena Indonesia secara sepihak dengan menggunakan kekerasan. Dengan menjalankan taktik ini Belanda mencegah diajukannya usul baru oleh Republik Indonesia. Karena hal tersebut dapat mengganggu jalannya rencana memobilisasi pasukan terhadap Republik Indonesia yang secara matang telah diatur oleh Jenderal Spoor.
Tepat tiga belas setengah jam sesudah batas waktu, yakni pukul 23.30 tanggal 18 Desember 1948, Merle Cochran menerima surat lagi dari pemerintah Belanda. Belanda menganggap Perjanjian Gencatan Senjata seperti tercantum dalam Persetujuan Renville berakhir, dan sejak hari Minggu pukul 24.00 waktu Jakarta, Aksi Militer Kedua dilancarkan.

No comments:

Post a Comment