Translate

Thursday, February 23, 2017

RENCANA MERLE COCHRAN

Untuk mengurangi ketegangan politik yang terus meningkat, dua anggota baru Komisi, Critchley dan Dubois menyiapkan suatu nota dengan saran untuk mempercepat penyelesaian politik sesuai jiwa Persetujuan Renville yang disampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. Belanda menolak nota tersebut dan menuduh Komisi melangkahi wewenangnya dan melewati batas yang telah ditentukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketika Dubois digantikan Merle Cochran dia juga sependapat bahwa Komisi Jasa-Jasa Baik harus mengambil tindakan untuk memecahkan kemacetan politik yang telah membahayakan. Oleh karena itu dia mengambil prakarsa dan menganjurkan kepada kedua pihak beberapa gagasan untuk penyelesaian sengketa. Gagasan itu akhirnya dikenal sebagai Rencana Cochran.

Merle Cochran banyak mencantumkan unsur-unsur yang dikemukakan Critchley - Dubois dalam rencananya. Rencana pokoknya ialah untuk mengajukan satu usulan perjanjian dalam rangka penyelesaian politik secara menyeluruh. Hal ini dilakukannya dengan tujuan membawa kedua pihak yang bersengketa kembali ke meja perundingan. Dengan demikian diharapkan bahwa ketegangan yang makin memuncak dapat diredakan, dan kemungkinan pecahnya pertempuran dapat dicegah. Bagian terpenting dari rencana itu adalah usul mengenai susunan dari kekuasaan pemerintah sementara, dan ketentuan untuk mengadakan penyerahan kekuasaan secara bertahap oleh Belanda kepada Indonesia Serikat.

Maksud rencana itu sebenarnya adalah untuk menggagalkan rencana Belanda dalam usaha mendirikan pemerintah Federal Sementara secara sepihak, yang terdiri dari negara-negara dan daerah buatannya sendiri tanpa menghiraukan rasa keberatan Republik Indonesia. Pada hakikatnya rencana Belanda tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan Renville yang di dalamnya disebut secara nyata, bahwa pembentukan pemerintah sementara harus dilakukan bersama-sama dengan Republik Indonesia yang diberi cukup perwakilan.

Rencana Merle Cochran itu diterima dengan senang hati oleh pemerintah Republik Indonesia yang bersedia mengadakan perundingan untuk melaksanakan rencana tersebut. Tetapi pemerintah Belanda menolah Rencana Merle Cochran itu, dan sebaliknya mengajukan usul balasan yang sebenarnya bukan merupakan konsepsi baru dan hanya mengemukakan pendapat Belanda sendiri. Berhubung rencana Belanda dan rencana Merle Cochran mempunyai perbedaan yang besar, maka Komisi mempertimbangan bahwa pada saat itu kurang tepat waktunya untuk mendorong ke dua pihak ke meja perundingan.

Seperti diutarakan oleh A.M Taylor, pemerintah Belanda hanya bersedia berunding atas syaratnya sendiri dan sekuat tenada melancarkan siasat untuk meniadakan kekuasaan Republik Indonesia dalam Negara Indonesia Serikat nanti. Taylor menyimpulkan penilaiannya mengenai usul balasan Belanda dalam kata-kata sebagai berikut :

"Usul balasan Belanda bertujuan untuk melikuidasu Republik Indonesia secara bertahap sebagai kesatuan konstitusional dalam masa dibentuknya pemerintah sementara dan menggantikannya dengan 11 wilayah federal dalam Indonesia Serikat."

Dalam masa-masa itu Kabinet Hatta menghadapi pemberontakan komunis di Madiun. Pemberontakkan itu dapat ditumpas dalam waktu yang relatif singkat. Hal itu membuktikkan kemampuan pemerintah Indonesia mengatasi masalah dalam negerinya dengan kekuatan sendiri. Namun Belanda tidak dapat membaca keadaan sebenarnya. Pemerintah Belanda bukannya bersedia mengadakan perundingan dengan Republik Indonesia demi mencapai titik temu. Sebaliknya berkesimpulan keliru, bahwa Republik Indonesia telah menjadi lemah sebagai akibat kekacauan dalam negerinya dan kini dengan mudah dapat dihancurkan. Oleh karena itu Belanda berpendapat bahwa kini sudah tiba waktunya untuk mengadakan tekanan politik dan militer terhadap Republik Indonesia. Menurut mereka karena Indonesia sudah lelah maka kini akan bersedia menyerah dan paling tidak mengadakan kompromi dengan Belanda.
Pembicaraan Perdana Menteri Hatta dengan Menteri Luar Negeri Belanda Stikker yang berkunjung ke Indonesia, disusul kemudian oleh pembicaraannya dengan Menteri Daerah Seberang Lautan, Sassen, menambah runcingnya suasana, berhubung tidak dapat dicapai kata sepakat. Pendirian pemerintah seperti yang telah disampaikan terlebih dahulu kepada Stikker bahwa Republik Indonesia hanya akan menaati Perjanjian Gencatan Senjata, perjanjian itu merupakan bagian dari penyelesaian politik secara menyeluruh sesuai dengan jiwa persetujuan Renville dan rencana Merle Cochran. Belanda menolak pendirian tersebut.

Perdana Menteri Hatta dan Menteri Sassen menemui jalan buntu mengenai kedudukan Wakil Tinggi Mahkota dalam masa peralihan sebelum penyerahan kekuasaan. Menurut interpretasi Sassen, yang disampaikan kepada Komisi Jasa-Jasa Baik, pendirian Indonesia adalah semacam gentleman's aggreement dengan pemerintah Belanda. Bahwa Wakil Tinggi Mahkota tidak akan menggunakan hak vetonya dan tidak pula akan mengumumkan keadaan darurat dalam masa peralihan. Berdasarkan pemikiran ini Sassen berkesimpulan bahwa Republik Indonesia hanya akan mengakui kedaulatan Belanda dalam masa peralihan. Dan jika ini terjadi maka hal tersebut bertentangan dengan jiwa Persetujuan Renville dan Rencana Merle Cochran sebagai dasar melanjutkan perundingan.

Pada kenyataannya Belanda sendiri telah meniadakan rencana Merle Cochran dengan mengajukan usul balasan seperti telah disebutkan di atas. Menurut Rencana Merle Cochran, kekuasaan Wakil Tinggi Mahkota akan semakin dikurangi apabila pemerintah Sementara telah dibentuk. Sebenarnya pandangan Mohammad Hatta lebih sesuai dengan jiwa Rencana Merle Cochran daripada pendirian Belanda yang kaku di bawah Menteri Sassen.

No comments:

Post a Comment