Kedatangan tentara Inggris sebagai pasukan Sekutu di Indonesia pada akhir Perang Dunia II antara lain bertugas melaksanakan pengungsian APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Badan yang melakukan tugas tersebut dinamakan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees). Belanda yang tergabung dalam SEAC (South East Asia Command) memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembalikan kekuasaannya di bekas jajahannya Hindia Belanda, yang telah menjadi Republik Indonesia.
Tim RAPWI tiba di bawah perlindungan Kapal Perang Cumberland dan Tromp pada 15 September 1945 berlabuh di Tanjung Priuk, Jakarta. Namun, personel RAPWI belum berani turun ke darat untuk memulai tugasnya mengunjungi kamp-kamp tawanan perang dan interniran. Mereka tetap tinggal di atas kapal selama seminggu karena sebagian dari penduduk, Heiho dan pasukan Sukarela menunjukkan sikap yang bermusuhan.
Abdulkadir Widjojoatmodjo, wakil pimpinan NICA, dalam suratnya tanggal 24 September 1945 mengusulkan kepada Van Mook agar pada waktu Belanda mendarat, sebaiknya tidak menggunakan bendera Belanda demi menghindari pertumpahan darah. Disarankan, sebaiknya mengibarkan bendera Cina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Pada 29 September 1945 pasukan Sekutu baru berani mendarat dan memasuki kota Jakarta. Mereka menyaksikan sendiri bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan menjadi fakta nyata. Gedung-gedung telah mengibarkan bendera Merah-Putih. Selain itu, terdaoat pula bendera Merah-Putih berdampingan dengan bendera Amerika dan Inggris.
Sehari setelah Tim RAPWI mendarat di Jakarta, pada 30 September 1945, Presiden Soekarno menulis surat kepada Laksamana Mountbatten. Isi surat itu memperingatkan bahwa Republik Indonesia yang semula hanya merupakan lambang, sekarang sudah menjadi kenyataan dan hidup dalam perasaan setiap rakyat.
Dalam hubungan itu, seluruh pegawai pemerintah dan karyawan perusahaan vital secara spontan menyatakan dirinya sebagai pegawai pemerintah Republik Indonesia. Mereka menyatakan hanya menerima perintah dari Pemerintah Republik Indonesia dan tidak dari pemerintah Jepang.
Presiden Soekarno, di dalam suratnya kepada Laksamana Mountbatten memberitahukan bahwa pemerintah yang berfungsi adalah pemerintah Republik Indonesia. Segala urusan yang akan dilakukan oleh tentara Sekutu terlebih dahulu berhubungan dengan pemerintah Republik Indonesia. Presiden Soekarno juga memperingatkan bahwa pengiriman pasukan Belanda beserta NICA akan menimbulkan keresahan yang berkelanjutan dan dapat menghambat rekonstruksi tata dunia baru. Presiden Soekarno ingin menunjukkan kepada Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara betapa pentingnya pemerintah yang efektif ditinjau sesuai hukum internasional, dan memiliki eksistensi sebagai satu negara.
Realita pernyataan tersebut dapat dirasakan langsung oleh anggota Tim RAPWI. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka harus bekerja sama dengan para pejabat Indonesia, karena sebagian besar tawanan perang dan interniran itu berada di dalam wilayah yang dikuasai Republik Indonesia. Tentara Sekutu telah menyaksikan sendiri administrasi pemerintahan Republik Indonesia yang utuh dan lancar.
- Kotapraja Republik Indonesia mengelola kota.
- Polisi Republik Indonesia menjaga ketenteraman dan ketertiban umum.
- Jawatan listrik mengurus penerangan kota.
- Dinas pos, telepon dan telegraf menyelenggarakan komunikasi telepon dan telegram serta lalu lintas pos.
- Jawatan kereta api dan trem menguasai seluruh angkutan rel.
Dalam hubungan ini, pihak Republik Indonesia dapat saja melakukan sabotase terhadap pekerjaan RAPWI dengan cara menyelenggarakan pemogokan buruh, atau unsur-unsur dinas dan jawatan kota menolak untuk bekerja sama.
Sementara itu, polisi Republik Indonesia mengawasi kemungkinan penyusupan orang-orang NICA yang membonceng Sekutu. Seandainya hal tersebut ditemukan, yang tidak mustahil selalu terdapat tindakan provokasi, pasti akan menimbulkan pertempuran. Para pemuda Indonesia tidak segan-segan menghadapi tentara Inggris yang modern. Tentara Sekutu sendiri akan menghadapi perlawanan dari pihak tentara Republik Indonesia.
Dalam hubungan itu, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, pemimpin AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), merasa perlu untuk mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa tentara Inggris dan Hindia tidak mempunyai tujuan politik apapun dan tidak akan melibatkan diri dalam urusan politik nasional Indonesia.
. . .bersambung
No comments:
Post a Comment