. . . sambungan
Letnan Jenderal Christison mengimbau para pemimpin Indonesia agar memperlakukan pasukan Sekutu sebagai tamu mereka. Dia kembali memberikan jaminan bahwa tujuan utama pasukan Sekutu adalah untuk melucuti senjata bekas tentara Jepang dan memulangkan mereka ke Jepang.
Letnan Jenderal Christison juga meminta agar para pemimpin Indonesia membantu kelancaran pelaksanaan tugas tentara Sekutu itu. Mengingat kemampuan pelaksanaan operasi dari tentara Sekutu sangat terbatas, para pejabat Indonesia dianggap tetap bertanggung jawab atas kelancaran jalannya pemerintahan dalam wilayah yang dikuasainya. Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan instruksi dari atasannya.
Bagi Letnan Jenderal Christison, tidak ada pilihan lain dalam mengemban tugasnya kecuali mengakui pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu kenyataan dengan kedudukan de facto ditinjau dari segi hukum internasional. Dalam kedudukannya sebagai Panglima Sekutu di Indonesia, Letnan Jenderal Christison berupaya mengimbau Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara (SEAC) agar memberi nasihat kepada Van Mook untuk mengakui kenyataan Republik Indonesia.
Letnan Jenderal Christison menyadari bahwa kedaulatan Republik Indonesia tidak hanya terbats di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera di mana terdapat kamp-kamp APWI yang lokasinya berada di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Kepada Mayor Jenderal M.H. Chambers yang sejak 10 Oktober 1945 bertugas di Sumatera, Christison memberikan pengarahan sebagai berikut :
"When Dutch administration is not functioning you are authorized to deal with local civilian administrators of your area, on all matters affecting the maintenance of security and carrying out your task."
"Ketika pemerintahan Belanda tidak berfungsi Anda berwenang untuk menangani administastor sipil lokal daerah Anda, pada semua hal yang mempengaruhi pemeliharaan keamanan dan melaksanakan tugas Anda."
Dengan demikian, maka berurusan langsung dengan pejabat Republik Indonesia di Sumatera adalah suatu pengakuan bahwa Republik Indonesia-lah yang mempunyai wewenang penuh di wilayah Sumatera. Meskipun maksud pengakuan Letnan Jenderal Christison hanya untuk tujuan praktis dalam memperlancar tugas yang terbatas di Jawa dan Sumatera, tetapi dari segi hukum internasional, hal itu merupakan suatu pengakuan tegas bahwa kedua pulau adalah wilayah Republik Indonesia. Tidaklah mengherankan jika timbul protes dari Belanda yang menyatakan bahwa pengakuan tersebut adalah irrevocably prejudiced the future.
Keadaan yang demikian dirasakan sendiri oleh Van Mook pada waktu pertama kali mendarat di Jakarta tanggal 22 Oktober 1945. Dalam perjalanan menuju ke pusat kota dia harus dikawal dan menyaksikan tulisan-tulisan terpampang di sepanjang jalan yang tidak menghendaki kehadiran Belanda di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, tentara Inggris ketika mendarat berupaya untuk menahan diri agar tidak terlibat di dalam utusan politik dengan Republik Indonesia. Langkah yang ditempuh oleh mereka antara lain melarang mengibarkan bendera Belanda di gedung-gedung resmi sesuai instruksi Laksamana Mountbatten pada bulan Oktober 1945. Mereka langsung menduduki kota-kota kunci Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Palembang yang direncanakan untuk dijadikan basis operasi dalam pelaksanaan tugas RAPWI. Adapun tentara Belanda yang akan bertugas mengambil alih kekuasaan dari tentara Jepang, namun pada tahap awal, tentara Sekutu belum berani bertindak terang-terangan mengingat posisi pemerintah Republik Indonesia dilaporkan cukup kuat. Hal tersebut dapat disimak dari laporan Laksamana Mountbatten 11 Oktober 1945 kepada Kepala Staf Angkatan Perang Inggris.
Orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia menyamar sebagai anggota tentara Sekutu dan berbicara bahasa Inggris. Karena mereka masuk dalam kelompok RAPWI sehingga terpaksa dilayani oleh pejabat Republik Indonesia sebagai "utusan internasional". Kemudian mereka secara teratur menyusun kekuatan di kamp-kamp interniran untuk segera merebut kembali kekuasaan dari Jepang, dan menduduki pos-pos pejabat pemerintah, serta membentuk pasukan polisi.
Adanya konsolidasi kekuatan yang dilakukan oleh Belanda itu kemudian dilarang oleh pimpinan Sekutu. Hanya pimpinan Sekutu yang diperbolehkan berhubungan dengan Jepang. Tentara Jepang dilarang menyerahkan pemerintahan langsung kepada Belanda. Laksamana Mountbatten pun memerintahkan agar warga interniran tetap tinggal dalam kamp karena Sekutu harus bertanggung jawab atas keselamatan mereka.
Namun tentara Belanda terus menyelinap di dalam rombongan RAPWI. Insiden demi insiden berulang kali terjadi. Orang-orang Belanda menurunkan bendera Merah-Putih sambil merebut gedung-gedung pemerintah dan sarana angkutan. Dengan demikian kelancaran tugas yang diemban pemerintah Republik Indonesia untuk mengungsikan APWI menjadi terhalang. Pada 16 Oktober 1945, Menteri Ekonomi Republik Indonesia Soerachman menulis surat kepada Kepala Dewan RAPWI yang menyatakan bahwa pemerintah Republik Indonesia selalu bersedia bekerja sama dengan RAPWI atas dasar pri-kemanusiaan. Tetapi kehadiran Belanda telah menimbulkan kendala karena sulit membedakan pakaian seragam tentara Inggris dengan tentara Belanda.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment