. . . sambungan
Soerachman juga mengatakan bahwa :
"a prerequisite to restore tranquility is thus not to employ more Dutch forces and to keep them either on board or within barracks."
Namun bagi RAPWI, sulit untuk membendung penyelinapan orang-orang Belanda yang jelas merupakan bukti pelanggaran. Hal tersebut dapat diperhatikan pada awal rentetan insiden yang timbul ketika tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Ooyen kembali di Indonesia yang dapat disimak dari laporan Mayor E.E. Crockets, perwira tentara Amerika yang diperbantukan kepada Jenderal Christison.
Timbulnya pertikaian serius di Jawa dan Sumatera itu dapat dipahami karena pihak pemerintah Republik Indonesia menentang upaya Inggris dan Belanda menduduki dan menguasai wilayah yang sangat penting bagi Republik Indonesia. Kehilangan wilayah, berarti atribut sebagai negara menurut hukum internasional pun hilang. Perkembangan tersebut telah menarik perhatian wartawan asing, dan Ali Sastroamidjojo sebagai pegawai tinggi Kementerian Penerangan mengungkapkan pengalamannya dalam buku Tonggak-tonggak di Perjalananku.
Menurut ia, para wartawan asing yang ingin masuk ke pedalaman Republik Indonesia harus memperoleh surat pass dari pihak pemerintah Republik Indonesia. Surat pass tersebut dapat diartikan sebagai pengganti visa. Hal ini merupakan suatu bukti dari peraturan yang efektif dan sesuai dengan hukum internasional, sebagai salah satu perwujudan kedaulatan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, pertempuran Surabaya pada bulan Oktober 1945 perlu memperoleh perhatian khusus dalam sejarah perang kemerdekaan bangsa Indonesia. Kontak senjata yang terjadi antara tentara Inggris dan Indonesia menampilkan kedaulatan Indonesia kepada dunia luar sebagai subyek hukum internasional. Tentara Inggris dalam hal ini tidak semata-mata melaksanakan tugas RAPWI, tetapi juga berupaya menguasai kota Surabaya dengan merebut dan menduduki gedung-gedung resmi serta membiarkan bendera Belanda berkibar lagi. Bahkan melakukan penyebaran pamflet dari pesawat terbang dengan perintah agar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan para pemuda menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Inggris.
Segala tindakan yang dilakukannya itu, tidak lain hanya untuk memuluskan jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menduduki kota Surabaya. Pertempuran berkobar karena rakyat dan pemuda Surabaya serta TKR menginginkan agar Belanda pulang ke negeri asalnya.
Setelah tentara Inggris tidak mampu menghadapi perlawanan pasukan Indonesia, mereka kemudian meminta bantuan Presiden Soekarno untuk menghentikan pertempuran. Dalam perundingan yang diselenggarakan pada 29 Oktober 1945 pukul 19:30 telah menghasilkan suatu perjanjian gencatan senjata internasional sebagai berikut :
"Armistice agreement regarding the Surabaya incident, a provisional agreement between President Soekarno of the Indonesian Republic and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945 at Surabaya."
"Perjanjian gencatan senjata mengenai insiden Surabaya, sebuah kesepakatan sementara antara Presiden Soekarno dari Republik Indonesia dan Brigadir Mallaby, disimpulkan pada 29 Oktober 1945 di Surabaya."
Isi perjanjian tersebut adalah :
- Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia guna memelihara ketenteraman kota Surabaya.
- Untuk itu, dicapai persetujuan menghentikan tembak-menembak oleh kedua pihak.
- Keselamatan semua orang (termasuk orang-orang interniran) akan dijamin oleh kedua pihak.
- Syarat-syarat yang tercantum dalam surat selebaran yang dijatuhkan dari pesawat terbang (pada 27 Oktober 1945) akan dirundingkan antara Presiden Soekarno dengan Panglima Tertinggi Tentara Pendudukan seluruh Jawa pada 30 Oktober 1945 (keesokan harinya).
- Pada malam ini semua orang bebas bergerak, baik orang Indonesia maupun orang Inggris.
- Semua pasukan harus masuk dalam asrama (tangsi). Korban luka-luka dibawa ke rumah sakit dan dijamin keselamatannya oleh kedua pihak.
Perjanjian gencatan senjata tersebut di atas diumumkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada siang hari tanggal 30 Oktober 1945. Pengumuman itu antara lain menyatakan bahwa isi perintah dalam pamflet yang disebarkan untuk melucuti senjata Tentara Keamanan Rakyat diakui keberadaannya dan pengguna senjata pun diizinkan.
Gencatan senjata yang dicapai disertai persetujuan pelaksanaannya dengan Brigadir Jenderal Mallaby membuktikan bahwa Inggris mengakui Republik Indonesia dalam status negara sedang berperang (belligerent) secara hukum internasional, dan bukan dianggap sebagai pemberontakan (insurgency). Tetapi dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, perjanjian gencatan senjata menjadi batal.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment