Translate

Saturday, December 19, 2015

PIDATO SOETAN SJAHRIR (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Dalam sidang berikutnya, 15 Agustus 1947, van Kleffens mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Secara panjang lebar dia menjelaskan betapa kecewanya pemerintah Belanda. Pertama karena Dewan Keamanan tidak mengindahkan permintaan mereka, sekali pun segala sesuatu yang dikemukakan didasarkan pada keinginan yang tulus. Oleh sebab itu pemerintah Belanda melihat dirinya terpaksa mengajukan protes terhadap perlakuan Dewan Keamanan terhadap Indonesia TImur dan Borneo (Kalimantan). Terlebih lagi, karena ada negara yang menyebut bahwa penyertaan 20 juta orang penduduk dari negeri yang ditegakkan secara demokratis, akan mengaburkan persoalan.
Tentang uraian Soetan Sjahrir, van Kleffens berkata bahwa gerombolan-gerombolan dalam wilayah Republik tidak pernah dapat mereka kendalikan. Pemerintah Soekarno dengan kabinetnya tidak berkuasa atas pasukan bersenjata yang disebutkan sebagai "bulat pendukung politiknya". Dan sekarang, setelah sebagian daerah itu berada di dalam tanggung jawab Belanda, tentara Belanda dihadapkan pada kesulitan-kesulitan untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban di daerah-daerah yang selama itu tidak mengenal peraturan.

Soetan Sjahrir dua kali lagi mendapat kesempatan berpidato pada Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 9 Agustus 1947 (giliran kedua) dan 25 Agustus 1947 (giliran ketiga dan terakhir). Berbicara pada akhir sidang 19 Agustus 1947, Soetan Sjahrir menandaskan bahwa dari keterangan wakil pemerintah Belanda sudah jelas terbukti bahwa mereka merasa kecewa dan marah, karena Dewan Keamanan sudah memerintahkan gencatan senjata di Indonesia.

Sementara itu menunjuk pada kebenaran pendapat yang diutarakan pada permulaan pembahasan ini, bahwa sejak semula Belanda tidak pernah berniat mengadakan perjanjian dua pihak dengan Republik Indonesia, yang di rencanakan hanyalah : menguasai kembali Indonesia. Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, mudah dimengerti, kalau bangsa Indonesia selalu dihinggapi rasa was-was dan takut selama tentara Belanda masih terdapat di negerinya. Dan mereka tidak dapat berpegang pada janji-janji Belanda, yang selama ini terbukti selalu berbeda dengan perbuatannya.

Karena pemerintah Indonesia tidak percaya lagi pada Belanda, maka tidak ada untungnya mengadakan perundingan langsung antara dua pihak. Ketakutan dan kecurigaan itu juga tidak lenyap, sekalipun diterima tawaran Amerika Serikat sebagai pihak yang mempertemukan, karena itulah Indonesia terpaksa menolaknya.

Selanjutnya Soetan Sjahrir mengemukakan bahwa menurut keterangan dan laporan yang mereka terima dari tanah air dan dari negeri Belanda, pada saat ini Belanda sedang mengadakan persiapan-persiapan untuk meneruskan  aksi militer ke Yogyakarta. Terlepas dari benar tidaknya kabar-kabar itu, hal tersebut telah menyebabkan keadaan di Jakarta benar-benar tegang dan kritis.

Dalam hal itu sudah pasti bahwa Belanda akan melemparkan kesalahan kepada pihak Republik Indonesia. Mereka akan menyatakan bahwa pelanggaran pihak Indonesia semakin banyak. Tetapi siapakah yang berani menjamin bahwa pernyataan mereka benar dan bukan sebaliknya?

Sudah jelas Belanda sangat marah, karena gencatan senjata harus dilaksanakan. Meskipun nampaknya kedua pihak mengumumkan gencatan senjata, dapat diperkirakan bahwa tembak-menembak antara kedua pihak akan terus berlangsung.

Selanjutnya Soetan Sjahrir mengatakan, kiranya bagi Dewan Keamanan sudah jelas bahwa suatu perundingan dua pihak pada tingkat sekarang ini tidak mungkin lagi. Dia bertanya :
"Bagaimana mungkin dua pihak dapat disebut berunding, kalau yang satu memegang pistol yang ditempatkan pada benak pihak kedua? Dengan demikian Indonesia tidak dapat berbuat selain menolak usul yang diajukan Belanda, karena tidak memenuhi syarat."

Dalam sidang lanjutan 25 Agustus 1947, Soetan Sjahrir mendapat giliran pertama berbicara. Secara panjang lebar dia menggambarkan dan menjelaskan keadaan politik Indonesia setelah gencatan senjata untuk membuktikan bahwa gencatan senjata itu tidak banyak mengubah keadaan. Ketenteraman yang dikehendaki tidak bertambah baik, bahkan dalam banyak hal menjadi lebih buruk. Belanda terus melaksanakan rencana untuk menduduki daerah-daerah strategis sebagai bagian persiapan pangkalan yang lebih baik untuk fase berikut : melanjutkan operasi militer ke Yogyakarta. Dengan semakin jelas bagi Dewan Keamanan, bahwa perdamaian di Indonesia tidak akan mungkin tercapai selama masih ada serdadu Belanda bertugas di sana. Dia menegaskan bahwa Indonesia bersedia mematuhi setiap keputusan yang ditetapkan Dewan Keamanan termasuk usaha arbitrasi dari negara-negara yang tidak memihak.
Kemudian Soetan Sjahrir mengajukan keberatannya terhadap resolusi bernama Cina - Australia, yang menghendaki Dewan Keamanan mendasarkan kebijakan pada pendapat para konsul di Indonesia yang pada umumnya masih tetap melihat persoalan Indonesia melalui kacamata pemerintah Belanda.

Pada akhirnya Soetan Sjahrir menyatakan pengharapannya agar Dewan Keamanan berupaya mengadakan jaminan yang lebih pasti terhadap pelaksanaan gencatan senjata.

Sejak 4 dan 5 Agustus 1947 daerah yang diduduki Belanda sudah bertambah luas, bila semakin lama Dewan Keamanan menangguhkan pengambilan keputusan semakin luas pula wilayah kekuasaan de facto Indonesia yang diduduki Belanda.

Thursday, December 17, 2015

PIDATO SOETAN SJAHRIR (BAGIAN 1)

Bagaimanapun juga, diakuinya Republik Indonesia sebagai opposite number (istilah yang dipakai wakil Cina) dan menjadi satu pihak dalam pertikaian Indonesia-Belanda dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah merupakan suatu kemajuan besar dalam diplomasi Indonesia. Setibanya di Lake Success, Soetan Sjahrir mengadakan pembicaraan dengan wakil-wakil pemerintah India dan Australia di Dewan Keamanan. Kemudian dengan wakil-wakil negara Arab dan Mesir untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejak hari pertama Soetan Sjahrir sudah sadar bahwa tugas yang dihadapi delegasi Indonesia di Lake Success bukan suatu pekerjaan yang mudah. Benteng propaganda kolonial, dengan dana dan alat-alat yang serba cukup ditambah dengan pelaksanaannya yang berjalan baik, sudah sangat mempengaruhi pendapat umum. Termasuk orang-orang dikalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan rakyat Amerika Serikat sendiri.

Berkat usaha misi perintis Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam waktu kurang dari dua minggu, kalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pertikaian Belanda-Indonesia dan telah membuat mereka lebih hati-hati menerima keterangan Belanda.

Sidang Dewan Keamanan tanggal 14 Agustus 1947, diadakan sesudah melalui pertarungan yang berliku-liku dan perdebatan yang panjang lebar di satu pihak antara Belanda yang diwakili oleh van Kleffens dan di pihak lain oleh pendukung Indonesia yang kadang kala diwakili Kolonel Hodgson, Pillai Sen dan kadangkala diwakili oleh delegasi negara lain. Sesudah pemungutan suara mengenai keikutsertaan Indonesia Timur dan Borneo yang ditolak oleh Dewan Keamanan, maka ketua mempersilakan Soetan Sjahrir memulai keterangannya. Dia secara ringkas menguraikan sejarah perkembangan pergerakan nasionalisme di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda sampai penjajahan Jepang.

Dia menyalahkan pemerintah Belanda yang tidak bersedia bekerja sama dengan bangsa Indonesia untuk menghadapi serbuan Jepang, sehingga Indonesia menjadi mangsa empuk bagi Jepang. Ketika itu seluruh kekuatan Belanda langsung melarikan diri atau meletakkan senjata, setelah Jepang mulai mendaratkan pasukannya di pantai-pantai Indonesia.

Menanggapi tuduhan seolah-olah kemerdekaan itu direncanakan oleh Jepang di Saigon bersama-sama beberapa pemimpin Republik Indonesia, Soetan Sjahrir berkata bahwa janji Jepang tidak pernah merupakan bahwan pertimbangan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi seutuhnya tercetus dan datang dari bawah.

Tentang tahanan politik, ia mengemukakan :
"Dalam waktu 14 bulan Indonesia sudah mampu melucuti senjata dan mengungsikan 70.000 serdadu Jepang, membebaskan serta mengungsikan 30.000 warga negara Belanda bekas tahanan Jepang. Sekarang di daerah Indonesia tidak terdapat lagi seorang pun bekas tahanan Jepang dan atau warga negara Belanda."

Kemudian Soetan Sjahrir memberi penjelasan tentang upaya penengah dari Inggris Lord Inverchapel yang sudah berhasil merumuskan suatu perjanjian kompromis (Hoge Veluwe). Tetapi perjanjian itu dikhianati Belanda. Dia membentuk negara-negara Indonesia Timur, Kalimantan, membangkitkan gerakan separatis di Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan. Dalam usahanya Belanda merangkul orang-orang feodal yang terkenal sebagai pesuruh Belanda, yang setia kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Soetan Sjahrir meneruskan bahwa Belanda tidak berhenti di situ saja. Belanda terus memperkuat angkatan bersenjatanya di Indonesia dari 47.000 orang pada tahun 1946/1947 menjadi 91.000 pada triwulan pertama 1947. Menjelang pecahnya perang kemerdekaan di Indonesia, Belanda selalu menyumbat telinga terhadap usul Indonesia untuk menyerahkan persoalan pada arbitrasi. Dia menganggap Pasal 17 Persetujuan Linggajati sama sekali tidak berarti.

Soetan Sjahrir juga menunjuk pada surat van Mook yang disampaikan kepada Wakil Perdana Menteri A.K. Gani 20 Juli 1947, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Belanda tidak mengakui dirinya terikat pada Perjanjian Linggajati. Seluruhnya sudah membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah Belanda tidak pernah sungguh-sungguh berupaya melaksanakan Perjanjian Linggajati. Semua upaya politik, ekonomi dan militer yang selama ini dilakukan, ternyata hanya dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan : menundukkan Indonesia dengan kekuatan senjata.

Sekarang, kata Soetan Sjahrir, setelah Dewan Keamanan memerintahkan kedua pihak mengadakan gencatan senjata, pengharapan untuk dapat menyelesaikan pertikaian secara damai hidup kembali. Tetapi perdamaian yang diidam-idamkan itu hanya mungkin dicapai, jika seluruh pasukan bersenjata Belanda meninggalkan wilayah Indonesia. Karena selama tentara Belanda masih ada di sana, selama itu pulalah ada kemungkinan bahwa Belanda akan kembali memaksakan keinginannya dengan kekuatan senjata. Oleh sebab itu, Indonesia sangat mengharapkan supaya Dewan Keamanan bersedia mendesak pihak Belanda menarik seluruh pasukannya dari wilayah Indonesia dan mengembalikan pada kedudukan yang disetujui dalam Persetujuan Gencatan Senjata 14 Oktober 1946. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan menjamin keamanan dan ketenteraman di seluruh wilayah de facto nya.

Sementara itu, menurut Soetan Sjahrir, Indonesia tidak percaya bahwa pihak Belanda akan melaksanakan gencatan senjata secara jujur. Oleh karena itu Indonesia sangat mengharapkan Dewan Keamanan membentuk sebuah Komisi Pengawas yang atas nama Dewan Keamanan akan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Belanda ke garis yang sudah disepakati itu.

Kemudian Soetan Sjahrir menyatakan harapan Indonesia bahwa Dewan Keamanan bersedia membentuk sebuah badan arbitrasi untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda-Indonesia.

Sebagai kata penutup, Soetan Sjahrir menyatakan terima kasih kepada Amerika Serikat dan Australia yang sudah menyatakan kesediannya memberikan jasa-jasa baiknya.

Setelah Soetan Sjahrir memberi penjelasan panjang lebar, wakil Cina meminta supaya sidang diundurkan, tetapi van Kleffens mendesak, supaya sidang terus dilanjutkan untuk mendengar keterangannya. Sembilan anggota menolak untuk meneruskan sidang hari itu, sehingga van Kleffens harus menelan dua kali kegagalan dalam satu hari.

. . . bersambung

SURAT KEPERCAYAAN (CREDENTIALS) SOETAN SJAHRIR SEBAGAI WAKIL REPUBLIK INDONESIA

Pada masa perdebatan rencana resolusi Australia, van Langenhouven, wakil Belgia mengusulkan agar wakil Belanda yang tidak duduk dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, diundang untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Usul itu segera disambut Hodgson dengan tambahan supaya pihak Indonesia juga diminta hadir agar persoalan yang dihadapi benar-benar jelas.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menyetujui untuk mengundang wakil Belanda turut menghadiri perdebatan. Tetapi tentang kehadiran Indonesia tidak dapat diputuskan dan masih akan dibicarakan dalam sidang selanjutnya. Dalam sidang 1 Agustus 1947, van Kleffens, wakil Belanda sudah turut hadir dan telah diberi kesempatan untuk berpidato.

Dalam pidatonya, dia dengan tandas menentang pengikutsertaan Republik Indonesia dalam perdebatan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Katanya, Republik Indonesia hanyalah satu pihak yang tidak mempunyai kedaulatan dan sama sekali tidak berhak bersuara di forum internasional. Selanjutnya dia berkata, bahwa berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa hanya negara yang mempunyai kedaulatan yang dapat berbicara di depan forum, sedangkan Indonesia jelas tidak mempunyai hak kedaulatan itu.

Hodgson membantah pendapat van Kleffens. Dia berpendapat bahwa Indonesia sudah diakui, secara de facto sehingga Dewan tidak hanya berhak, bahkan wajib mendengarkan pihak Indonesia.

Wakil Kolombia mengusulkan supaya Dewan langsung membicarakan rancangan resolusi Australia itu. Tetapi Gromyko, wakil Uni Soviet menyatakan keberatan. Dia berpendapat bahwa butir pertama dapat dibicarakan sekarang, tetapi butir kedua dan usul India (penarikan mundur pasukan) tidak dapat dibicarakan tanpa kehadiran wakil dari Indonesia. Karena, menurut Gromyko hal itu akan berarti bahwa Dewan sudah gegabah menetapkan sikap untuk suatu negara tanpa memberi kesempatan pada bangsa itu untuk menyatakan kehendak dan pendiriannya.

Dalam rapat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 7 Agustus 1947, Gromyko kembali meminta supaya segera mengambil keputusan tentang keikutsertaan Indonesia dalam pembicaraan selanjutnya. Dalam sidang lanjutan tanggal 12 Agustus 1947, Gromyko langsung mendesak Dewan Keamanan mengambil keputusan tentang keikutsertaan Indonesia dalam pembahasa selanjutnya. Dia berkata usul itu sudah ditunda satu kali, oleh sebab itu dia berharap supaya hari itu Dewan mengambil keputusan.

Utusan India Sen, menambahkan supaya delegasi Republik Indonesia yang diketuai Soetan Sjahrir juga mendapat pengakuan diplomatik sebagai delegasi yang dipimpun seorang Duta Besar. Selanjutnya dikemukakan bahwa delegasi Republik Inodnesia sudah berada dalam ruangan. Karena itu dapat dianggap wajar, kalau kepada mereka diberi kesempatan untuk mengutarakan pendiriannya. van Kleffens menanggapi usul Rusia dan India dengan berkata bahwa tidak ada dasar yang membenarkan agar Dewan Keamanan meminta Indonesia menjelaskan pendiriannya di depan forum ini, apalagi untuk memperlakukan ketuanya sebagai Duta Besar.

Ketua sidang menunjuk kepada Pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyebut bahwa negara yang bukan anggota Dewan Keamanan atau Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak dibenarkan mengambil bagian dalam sidang Dewan Keamanan. Kecuali pihak-pihak yang langsung terlibat dalam sengketa yang sedang dibahas. Dengan demikian dia menyatakan bahwa kehadiran Republik Indonesia dapat dipertimbangkan oleh Sidang.

Van Kleffens tetap menghendaki Dewan Keamanan menolak keikutsertaan Indonesia dalam sidang. Dia berkata bahwa Indonesia bukanlah suatu negara dan tidak menganggap itu sebagai negara. Hal itu dibuktikan dengan surat Presiden Soekarno kepada pemerintah Amerika Serikat, yang mengakui bahwa "kekuasaan sepenuhnya sampai 1 Januari 1949 masih tetap berada di tangan pemerintah Belanda."

Wakil Inggris, Sir Alexander Cadogan, mendukung pendapat van Kleffens dan mengusulkan Dewan Keamanan untuk menolak kehadiran Indonesia atau memberi kesempatan yang sama pada Indonesia Timur dan Borneo (Kalimantan) yang juga hadir dalam ruangan itu.

Wakil India Sen, mengatakan pada bagian kedua Pasal 2 tersebut dapat dilihat bahwa kesempatan untuk didengar Dewan Keamanan tidak mutlak terbatas pada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau kepada negara yang berdaulat penuh. Oleh sebab itulah dia berbicara tentang "parties" atau pihak-pihak yang tidak atau belum berdaulat.

Wakil Amerika Serikat mengemukakan bahwa keinginan untuk mendengar pihak Indonesia dalam persoalan ini sepenuhnya sejalan dengan jiwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan tanpa mendahului soal-soal yuridis yang menyangkut eksistensi Indonesia sebagai negara, jikalau Dewan Keamanan ingin memperoleh suatu gambaran yang sebenarnya, tidak boleh tidak, pihak Indonesia harus didengar.

Menjawab van Kleffens, Gromyko berkata bahwa tanpa pertimbangan yang diajukan Amerika Serikat, Indonesia harus didengar. Pada kenyataannya Indonesia cukup merdeka dan berdaulat untuk menjelaskan pendiriannya kepada Dewan Keamanan.

Selanjutnya van Kleffens menunjul Pasal 39, yang dimaksud dengan pihak-pihak yang dapat diundang ialah pihak-pihak yang dapat memberi keterangan tentang hal-hal yang termasuk dalam kompetensi Dewan Keamanan. Dan justru disinilah masalahnya, karena Dewan tidak berhak mencampuri urusan Indonesia.

Dewan memutuskan memungut suara. Di samping India, Rusia dan Amerika Serikat, wakil-wakil Polandia, Cina, Australia dan Kolombia (7 suara) menyatakan setuju mengikutsertakan Indonesia. Yang tidak setuju adalah Belgia, Inggris dan Perancis.

Setelah hasil pemungutan suara diumumkan, Ketua Sidang mengundang wakil-wakil Indonesia mengambil tempat dalam ruangan sidang. Kemudian dia memperkenalkan anggota-anggotanya kepada sidang. Ketua Soetan Sjahrir (Duta Besar), Haji Agoes Salim, wakil Ketua, dan anggota : Thambu, Soedjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo.

Dalam sidang berikutnya, tanggal 14 Agustus 1947, wakil Belgia secara resmi mengajukan permintaan untuk mengikutsertakan Indonesia Timur dan Borneo (Kalimantan) dalam sidang. Permintaan Belgia oleh ketua langsung diajukan kepada sidang.

Wakil Belanda membuka perdebatan dengan menyatakan bahwa sama halnya dengan Indonesia, kedua negara Indonesia itu secara langsung turut terlibat dalam permasalahan. Dia berbicara mengenai status masing-masing dalam Negara Serikat yang akan didirikan kelak untuk membuktikan bahwa kedudukan Indonesia tidak lebih tinggi dari kedudukan kedua negara tersebut. Dikatakan, jika Indonesia dianggap sebagai salah satu pihak dalam pertikaian, maka seharusnya Indonesia Timur dan Borneo juga harus dipandang sebagai satu pihak.

Kemudia pemungutan suara dilakukan. Ternyata usul Belgia itu ditolak dengan tujuh suara. Yang setuju hanya empat suara. Diterimanya surat-surat kepercayaan (credentials) Soetan Sjahrir sebagai wakil Republik Indonesia dan ditolaknya keikutsertaan Indonesia Timur dan Borneo, merupakan kemenangan lagi dari Indonesia vis-a-vis Belanda di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi harus diakui bahwa resolusi Dewan Keamanan masih belum memenuhi kepentingan Indonesia yang senantiasa memperjuangkan :
  1. Agar Dewan mencela serangan militer Belanda;
  2. Memerintahkan gencatan senjata;
  3. Memerintahkan penarikan mundur pasukan bersenjata Belanda ke garis demarkasi dengan mengirimkan pengawas;
  4. Menerima pembentukan badan arbitrasi untuk menyelesaikan sengketa.
Sesudah sekian lama membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, Dewan Keamanan hanya memutuskan penghentian tembak menembak yang sebenarnya lebih menguntungkan pihak Belanda, dan lebih condong kepada pemberian jasa-jasa baik untuk menyelesaikan sengketa Indonesia daripada menyerahkannya kepada suatu badan arbitrasi seperti yang dituntut Indonesia.

RESOLUSI AUSTRALIA

Perdebatan mengenai Indonesia dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dibuka oleh wakil Australia, Kolonel Hodgson dengan permintaan, supaya pembicaraan jangan dititik beratkan pada soal-soal formal menurut peraturan yang berlaku. Tetapi sekiranya memusatkan perhatian pada tujuan menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di Indonesia. Mengajukan resolusinya, Hodgson menyerukan "diakhirinya permusuhan, sehingga arbitrasi bebas dapat menentukan baik-buruknya kasus itu dan... pemusnahan selanjutnya dari jiwa dan harta benda dapat dihindari."

Wakil India, Sen yang mendapat giliran menyatakan dukungannya terhadap resolusi Australia, tetapi dia beranggapan bahwa perintah gencatan senjata saja belum cukup. Oleh sebab itu dia mengusulkan, supaya pada butir satu ditambahkan : agar kedua pihak menarik pasukannya ke garis demarkasi yang disetujui sebelumnya.

Akhirnya sesudah wakil-wakil Cina, Polandia, Uni Soviet dan Amerika Serikat berbicara dan mengajukan amendemen, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat untuk menerima resolusi Australia itu. Dan sesudah mengalami perubahan sebagai akibat dari amendemen yang diajukan oleh anggota Dewan lainnya, resolusi itu bentuk akhirnya berbunyi sebagai berikut :

Dewan Keamanan menyatakan sangat merisaukan permusuhan yang terjadi di Indonesia antara pasukan-pasukan Belanda dan pasukan Republik Indonesia, karena itu Dewan mendesak kedua belah pihak, supaya :
  1. Segera menghentikan tindakan-tindakan permusuhan;
  2. Untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan cara damai melalui arbitrasi atau badan penengah lainnya yang disetujui bersama;
  3. Memberi laporan secara berkala kepada Dewan Keamanan tentang perkembangan selanjutnya.
Pada hari itu Ketua Bulanan (Agustus 1949) Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Faris al Khoury menyampaikan resolusi tersebut kepada wakil pemerintah Belanda, van Kleffens. Sedangkan pemberitahuan kepada Indonesia dikirimkan dengan surat kawat melalui kantor Cables and Wireless Batavia dengan alamat : Sjarifuddin, Perdana Menteri Republik Indonesia Yogyakarta, Java D.E.I (Dutch East Indies).

Di Jakarta, surat kawat tersebut diserahkan kepada sekretaris van Mook, yang meneruskannya kepada A.K. Gani yang baru saja dibebaskan dari tahanan Belanda.

A.K. Gani menolak menerima kawat itu atas nama Indonesia, karena pada waktu itu dia belum mengetahui bagaimana situasi di dalam negeri. Oleh sebab itu pada 4 Agustus 1947 pagi hari, pemerintah Belanda menyiarkan surat kawat itu melalui radio. Sementara itu satu pesawat udara diperintahkan membawa surat kawat ke Yogyakarta dan menjatuhkannya di atas Istana Presiden. Surat itu diterima dengan baik.

Pada hari itu juga Perdana Menteri Sjarifuddin mengirimkan surat kawat kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara garis besar berbunyi sebagai berikut :
  1. Menyadari kesungguhan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menciptakan perdamaian di Indonesia, pemerintah Indonesia memutuskan menyambut keputusan yang diambil dan memerintahkan semua pasukan bersenjata yang dibawahinya, supaya segera melaksanakan gencatan senjata.
  2. Pemerintah Indonesia memberitahukan bahwa dengan perantaraan pemerintah Belanda, surat kawat yang dikirimkan baru diterima pada 4 Agustus pukul 10.00 pagi waktu Jawa.
  3. Memberitahukan bahwa dalam pelaksanaan gencatan senjata Pemerintah Indonesia meminta adanya perhatian khusus terhadap berbagai kesulitan teknis yang akan dihadapi pihak Indonesia : (a) Perlu diketahui bahwa pada saat ini tidak terdapat satu garis demarkasi yang jelas antara kedua pihak yang bermusuhan. (b) Sesuai dengan sistem "pertahanan rakyat" yang diterapkan pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia, maka garis pertahanan tidak terbatas pada suatu garis tertentu. (c) Republik Indonesia harus mengemukakan keraguannya, sebab berdasarkan pengalaman selama dua tahun terakhir, suatu perintah penghentian tembak-menembak tidak menjamin tentara Belanda tinggal di tempat, dan tidak mengadakan gerakan operasi menambah wilayah kekuasaannya.
  4. Berdasarkan kesulitan itu pihak Republik Indonesia mendesak Dewan Keamanan membentuk Komisi Pengawas, supaya pelaksanaan gencatan senjata dapat terlaksana secara sungguh-sungguh (tinggal di tempat) dan menghentikan segala usaha dan operasi militer.
  5. Pemerintah Republik Indonesia berpendapat bahwa perintah penghentian tembak menembak harus segera diikuti dengan perintah penarikan mundur pasukan pada garis demarkasi yang telah disepakati, yaitu garis demarkasi tanggal 14 Desember 1946.
Tanggal 7 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa melanjutkan pembahasan mengenai pertikaian di Indonesia. Ketua Faris al Khoury membuka sidang dengan memberitahukan bahwa dia telah menerima surat kawat dari Republik Indonesia yang menyatakan menerima baik seluruh keputusan Dewan Keamanan.

Wednesday, December 16, 2015

KONTAK DENGAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

Dalam rangka eksistensi Republik Indonesia, dalam perjuangan itu masalah Indonesia menjadi agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah Belanda melancarkan Aksi Militernya tanggal 21 Juli 1947, maka 28 Juli 1947, maka India dan Australia dua hari kemudian tanggal 30 Juli 1947, masing-masing berdasarkan Pasal 35 dan Pasal 39 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengajukan sengketa Belanda-Indonesia ke Dewan Keamanan.

Pelanggaran Belanda itu ternyata sangat menguntungkan Republik Indonesia. Sasaran yang selama ini belum tercapai oleh diplomasi Indonesia, dengan sekejap mata saja telah menjadi kenyataan setelah diterimanya sengketa Belanda-Indonesia itu sebagai agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Belanda sudah sejak semula dengan gigih berupaya meyakinkan dunia bahwa sengketa Belanda-Indonesia itu adalah masalah dalam negeri. Oleh karena itu adalah semata-mata masalah antara Belanda dan Indonesia, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak berhak untuk campur tangan.

Mengenai hal itu Ide Anak Agung Gde Agung mengungkapkan :
"Hal ini merupakan kemenangan besar bagi Republik Indonesia, karena resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengubah seluruh sifat sengketa Belanda- Indonesia. Sejak hari ini sengketa itu tidak lagi hanya menyangkut urusan pemerintah Belanda dan Indonesia saja, sengketa tersebut telah menjadi urusan badan tertinggi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dengan demikian menjadi masalah internasional."

Campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Keamanan dalam sengketa Indonesia-Belanda mempunyai akibat yang luas. Sejak hari itu citra Republik Indonesia di dunia internasional makin bertambah baik. Dr. Schermerhorn dalam buku catatan hariannya yang disusun Mr. Smit mengakui bahwa :
"Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperbaiki kedudukan internasional Republik Indonesia. Indonesia telah menjadi kenyataan politik dan mampu mengatasi tekanan politik dan militer Belanda. Pendapat umum dunia benar-benar sangat mencela tindakan Belanda."

KONTAK DENGAN UNI SOVIET (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Hubungan Indonesia-Uni Soviet  menjadi bertambah dingin setelah Kabinet Hatta menumpas pemberontakkan PKI di Madiun. Pendirian yang berubah ini menjadi terbuka, ketika delegasi Uni Soviet mengambil sikap abstain dalam pengambilan suara pada 28 Januari 1949 terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan alasan bahwa resolusi itu tidak begitu keras dan tidak begitu menyeluruh dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda seperti yang diperkirakan oleh delegasi Uni Soviet.
Perubahan pendirian itu makin bertambah nyata dan jelas ketika delegasi Uni Soviet memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diajukan untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pihak - Belanda dan wakil Republik Indonesia Serikat yang akan datang - pada kesempatan berakhirnya Konferensi Meja Bundar, karena telah mencapai perjanjian menyeluruh mengenai penyerahan kedaulatan.

Malik, wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, bagaimana pun menyadari penyerahan kedaulatan kepada Indonesia tidak terpengaruh oleh vetonya. Tindakan Uni Soviet nampaknya sebagai satu pernyataan tidak senang terhadap Kabinet Hatta dan Soekarno yang setelah pemberontakan komunis di Madiun dan setelah penumpasannya kemudian, dianggap telah menjadi kaki tangan kekuasaan imperialis terutama Amerika Serikat. Malik mencela Konferensi Meja Bundar karena tidak sedikit pun mempertahankan pengaruh pemerintah Belanda di Indonesia untuk generasi-generasi mendatang.

Pemikiran pemerintah Uni Soviet adalah untuk menjelekkan Soekarno dan Hatta di mata kelompok kiri di Indonesia dengan cara memveto resolusi itu. Tetapi pada bagian lain, dia tidak akan mengambil tindakan yang akan merusak rencana penyerahan kedaulatan kepada Indonesia sebagai yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan di Den Haag.

Untuk menyatakan ketidaksenangannya terhadap pemerintah baru yang dibentuk sesudah penyerahan kedaulatan di bawah pimpinan Mohammad Hatta, pemerintah Uni Soviet menunggu sebulan lamanya sebelum memberikan pengakuannya kepada Republik Indonesia Serikat. Bersama itu pemerintah Uni Soviet menyatakan bahwa pembukaan hubungan diplomatik baru dapat diadakan sesudah pemerintah Mohammad Hatta mengadakan pembicaraan permulaan dengan Uni Soviet.

Untuk memenuhi permintaan pemerintah Uni Soviet tersebut, Perdana Menteri Mohammad Hatta mengirimkan misi diplomatik ke Moskow bulan Mei 1950. Misi itu di bawah pimpinan Duta Besar L.N. Palar, Wakil Tetap Republik Indonesia Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan dua anggota terkemuka Partai Masyumi Mohammad Yamin dan Yusuf Wibisono. Perdana Menteri Mohammad Hatta terutama menginstruksikan delegasi Palar untuk menjajaki bagaimana pendirian pemerintah Uni Soviet terhadap Republik Indonesia Serikat dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan September yang akan datang, apabila mengajukan keinginannya untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ternyata misi Palar telah mencapai hasil, karena ketika tanggal 28 September tahun 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Uni Soviet tidak memveto permintaan itu, sehingga hari itu Indonesia menjadi anggota ke 60 Perserikatan Bangsa-Bangsa.

KONTAK DENGAN UNI SOVIET (BAGIAN 1)

Kontak dengan Uni Soviet diadakan demi keseimbangan. Sesudah menguraikan sikap Amerika Serikat terhadap sengketa Indonesia-Belanda, kiranya tepat sekali jika sikap Uni Soviet sebagai negara adikuasa lainnya dijelaskan. Pemerintah Uni Soviet senantiasa mendukung posisi Indonesia sebagai pernyataan solidaritas terhadap perjuangan kemerdekaan negara terjajah dalam menentang penjajahan.

Sikap Uni Soviet yang anti-kolonial dan pro-Republik Indonesia itu terkandung dalam pidato-pidato wakil Ukraina Dr. Dmitri Mauilsky di depan Dewan Keamanan tanggal 7 Februari 1946 dan 9 Februari 1946. Intisari pidato tersebut tercakup dalam surat wakil Ukraina kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tertanggal 22 Januari 1946 yang isinya sebagai berikut :

"Delegasi Soviet Sosialis Ukraina ke sidang pertama Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertindak atas instruksi dari Pemerintahnya, menarik perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesuai ayat 35 (I) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap situasi yang kini timbul di Indonesia."

"Seperti telah diketahui di negeri itu dalam masa beberapa bulan aksi militer yang ditujukan terhadap penduduk pribumi telah ditiadakan, dalam mana tentara reguler Inggris dan juga pasukan musuh Jepang mengambil bagian."

"Menurut pendapat pemerintah Ukraina, situasi tersebut telah menciptakan keadaan ancaman terhadap perdamaian dan ketenteraman dunia seperti yang dimaksud dalam ayat 34 dari Piagam."

"Delegasi Ukraina meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengadakan penyelidikan seperlunya dan mengambil tindakan sesuai dengan Piagam agar mengakhiri situasi dewasa ini."

Surat dan pidato tersebut adalah sebagai jawaban terhadap tuduhan Iran bahwa kericuhan di Azerbaijan, wilayah utaranya, terjadi karena campur tangan pasukan Uni Soviet. Resolusi wakil Ukraina itu akhirnya tidak dapat diterima oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sengketa Indonesia itu kembali keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pendirian pemerintah Uni Soviet itu mulai mengalami perubahan sesudah berkuasanya kabinet Hatta pada bulan Januari 1948. Terutama sesudah Hatta menolak usul Uni Soviet untuk menerima Perjanjian Konsuler yang telah diusahakan oleh Wakil Pemerintah Republik di Praha, dengan persetujuan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang beraliran kiri.

. . . bersambung

KONTAK DENGAN AMERIKA SERIKAT (BAGIAN 4)

. . . lanjutan

Ancaman bahwa bantuan Marshall kepada Belanda akan dihentikan oleh Amerika Serikat bila Belanda tetap membangkang menyebabkan Belanda mundur. Pada sisi lain, Republik Indonesia harus menerima status quo seperti terjadi sesudah tindakan Agresi Militer Kedua, dengan ketentuan tambahan bahwa Belanda akan mengundurkan diri dari Yogyakarta, sehingga pemerintah Republik Indonesia dapat dikembalikan ke ibukotanya. Pemerintah Amerika Serikat juga memaksa Belanda agar menepati janjinya untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada waktu sesingkat mungkin. Dalam kesempatan itu masalah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat akan dibicarakan. Selain itu pemerintah Amerika Serikat berjanji akan memberikan bantuan keuangan dan ekonomi kepada Republik Indonesia Serikat sesudah terlaksananya penyerahan kedaulatan.
Berubahnya pendapat umum yang mengakibatkan perubahan politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Belanda tidak dapat dilepaskan dari usaha yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang Indonesia di Amerika Serikat. Hal itu diakui oleh George McTurnan Kahin ketika ia menulis bahwa :

"However, to some extent, suppression of news from Indonesia was compensated for by the exceptionally able and tireless work in the Republic's behalf performed by its representatives abroad, in particular its brilliant observation mission to the United Nations headed by L.N Palar and his deputy, Soedjatmoko Mangoendiningrat, and two particularly dynamic individuals who exerted their efforts chiefly in Washington and New York, Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Minister Plenipotentiary for Economic Affairs) and Soedarpo Sastrosatomo (Press Officer with the U.N Observer Mission)."

"Bagaimanapun kenyataan ditekannya berita-berita dari Indonesia, sebagian dari padanya dapat diimbangi oleh kelihaian yang luar biasa dan kerja keras yang ditunjukkan oleh wakil-wakil Republik, secara menonjol oleh misi pengamat Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diwakili oleh L.N Palar dan wakilnya Soedjatmoko Mangoendiningrat, dan dua orang pribadi dinamik lain yang usahanya sangat mengesankan, terutama di Washington dan New York, Dr. Sumitro Djojohadikusumo (yang berpangkat Menteri Berkuasa Penuh/Minister Plenipotentiary dalam bidang ekonomi) dan Soedarpo Sastrosatomo (Kepala Pers pada Misi Pengamat Perserikatan Bangsa-Bangsa)."

Peran yang dimainkan oleh beberapa perintis perjuangan Indonesia di Amerika Serikat itu memang sudah ada tempatnya. Hal itu diuraikan oleh P.J. Drooglever sebagai berikut :

"Meskipun undangannya dirumuskan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sedemikian rupa sehingga tidak menyinggung kompetensi Dewan maupun status Republik Indonesia, tindakan ini berarti bahwa sejak saat itu Republik Indonesia berhak untuk didengar dalam badan internasional yang tertinggi yang tentunya sangat mempertinggi gengsinya... Bagi Republik Indonesia dengan sendirinya terbuka sebuah arena kegiatan diplomatik dalam jangka dua minggu di New York dan Washington, sehingga menjadi sangat mendesak untuk menempatkan wakil-wakilnya di sana. Kebetulan ketika timbul kebutuhan akan sebuah perwakilan, di Amerika Serikat sudah ada beberapa wakil Republik. Bulan April 1947, adik Soetan Sjahrir, Soetan Sjahsam, tiba di New York sebagai komisioner perdagangan. Bulan Juli, beberapa minggu sebelum aksi bersenjata pecah, sebuah delegasi yang agak besar yang terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, Thambu, dan Soedjatmoko, tiba di kota ini. Kini mereka menjadi inti dari sebuah delegasi Republik Indonesia yang tetap untuk Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang tak lama kemudian akan dibantu oleh Soetan Sjahrir dan L.N. Palar. Soetan Sjahrir menjadi jurubicara utama bagi Republik Indonesia selama rangkaian diskusi pertama mengenai masalah Indonesia dalam bulan Agustus dan September 1947. Tak lama kemudian ia pulang ke Indonesia untuk bertindak sebagai penasehat utama untuk urusan internasional dalam Kabinet Hatta. L.N. Palar seorang mantan anggota Parlemen Belanda, yang berusaha mengadakan persesuaian paham antara Belanda dan Indonesia, kini sepenuhnya berpihak kepada Republik Indonesia ketika perang meledak. Ia akan menetap di New York sebagai wakil Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa selama tahun-tahun mendatang."

Tidak dapat disangkal bahwa mereka merupakan satu-satunya kelompok yang waktu itu ditakdirkan mau tak mau harus memikul tanggung jawab dan bertindak atas nama Republik Indonesia dalam berbagai macam kemampuan, apakah sebagai wakil, sebagai information officer, sebagai pressure group, sebagai lobbyist, atau sebagai juru bicara dan sebagainya. Ternyata mereka sungguh-sungguh telah berhasil mengemban tugas membela negara.

Tuesday, December 15, 2015

KONTAK DENGAN AMERIKA SERIKAT (BAGIAN 3)

. . . lanjutan

Pada 2 April 1949 dilaporkan dari Washington bahwa satu amendemen kompromi sebagai ganti resolusi Brewster sedang disiapkan oleh Senator Arthur Vandenberg yang dikatakan rekayasa dengan persetujuan State Department. Inti dari kompromi itu adalah bahwa bantuan ECA untuk Belanda akan dihentikan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan sanksi terhadap Belanda akibat pembangkangannya terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usulan kompromi Vandenberg itu mengandung resiko bahwa sanksi tidak pernah akan berhasil diterapkan mengingat susunan keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jika sampai memperoleh 7 suara yang diperlukan dapat saja di veto oleh salah satu anggota, Perancis misalnya, yang telah pernah memveto resolusi mengenai sengketa Indonesia yang lebih lunak.
Senator Partai Republik yang terkenal bebas dan terhormat, Senator Morse, menolak untuk menerima usulan kompromi itu. Argumentasinya yang cukup sehat diterima oleh mayoritas Senator Partai Demokrat yang mendukung usulan kompromi itu. 
Kata Morse :
"I do not see how we can escape the conclusion that to whatever extent we have been helpful to the Dutch economy under the Marshall Plan, we necessarily thereby have been helpful to the Dutch government in carrying ouy its violations of what I consider to be one of the most basic principles of our pledges under the United Nations Charter, the pledge that we would seek at least to protect the interests of the people in the world who sought to make a fight for freedom as we believe in freedom... We would not adopt the compromise amendment. We are dealing with a great moral and ethical issues, and I do not think it is right to sanction here... approval for the expenditure of American dollars in the Netherlands under ECA, while the Netherlands stands in open defiance on the record of its obligations under the United Nations Charter. I say it had been found guilty of trampling freedom in Indonesia... I hold to the view, Mr. President, that so long as we permit the Dutch to get by with the course of defianat action which has been theirs since the violation of the Renville Agreement, we are going to be misunderstood in Indonesia. We are going to be misunderstood elsewhere in the world where weak people are looking to us to take a dominant role in protecting freedom."

Yang artinya,
"Saya tidak melihat bagaimana kita dapat menghindari kesimpulan sampai sejauh mana kita berguna bagi ekonomi Belanda di bawah rencana Marshall, sejauh itu pula kita secara pasti telah membantu pemerintah Belanda dalam upayanya melanggar apa yang saya anggap sebagai satu dari prinsip yang paling pokok dari janji kita di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, janji yang akan terus kita buat sekurang-kurangnya untuk memelihara kepentingan rakyat di dunia yang berupaya berjuang untuk kemerdekaan, kemerdekaan yang kita junjung tinggi... Sekiranya kita jangan menerima amendemen kompromi itu. Kita sedang menghadapi soal-soal moral dan etik yang besar, dan saya tidak percaya bahwa ini adalah tempatnya untuk membelanjakan dollar Amerika Serikat di Negeri Belanda di bawah ECA, ketika Belanda tetap membangkang secara terbuka dalam daftar kewajibannya di bawah piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa . Saya katakan bahwa dia ternyata telah membuat kesalahan menginjak-injak kemerdekaan di Indonesia... saya berpegang pada pendapat itu, Mr. President, bahwa selama kita mengizinkan Belanda melakukan pembangkangan yang merupakan kebiasaannya sejak Persetujuan Renville, kita akan tetap dianggap salah di Indonesia, kita akan tetap pula dianggap salah di tempat lain di dunia di tempat rakyat yang lemah melihat kepada kita agar kita tetap mengambil peranan dominan dalam menjamin kemerdekaan."

Dari titik inilah mulainya perubahan dalam kebijakan Amerika Serikat terhadap Belanda. Tekanan terhadap pemerintah Amerika Serikat agar secara drastis mengubah sikapnya berkembang dengan cepat di Washington. Sebagian senator mendesak pemerintahnya untuk menghentikan bantuan Rencana Marshall kepada Belanda (yang berjumlah sekitar $350 juta) selama Pemerintah Belanda meneruskan kebijakannya yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menteri Luar Negeri Dean Acheson memberitahukan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Stikker, yang sedang mengunjungi Washington pada waktu itu, bahwa pemerintah Amerika Serikat akan terpaksa mengambil tindakan keras, jika pemerintah Belanda terus menerus melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Guna memperoleh keterangan selanjutnya, Menteri Dean Acheson memanggil Merle Cochran ke Washington untuk berkonsultasi dan memberikan instruksi kepadanya sebagai wakil Amerika Serikat dalam Komisi Tiga Negara, untuk mengambil prakarsa menciptakan perjanjian kompromi antara Belanda dan pihak yang bersangkutan di Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip  resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pendirian Menteri Dean Acheson ini merupakan perintis jalan dari pernyataan Roem-van Roijen. Di sini Merle Cochran memainkan peranan penting dalam mendekatkan pihak-pihak yang bertengkar dan juga dalam membujuk mereka menerima prinsip-prinsip yang diuraikan dalam pengumuman tersebut. Merle Cochran mengadakan tekanan kuat terhadap pihak-pihak yang bersengketa untuk menerima persetujuan dasar bagi perundingan selanjutnya menuju penyelesaian politik sengketa Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

. . . bersambung