Perdebatan mengenai Indonesia dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dibuka oleh wakil Australia, Kolonel Hodgson dengan permintaan, supaya pembicaraan jangan dititik beratkan pada soal-soal formal menurut peraturan yang berlaku. Tetapi sekiranya memusatkan perhatian pada tujuan menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di Indonesia. Mengajukan resolusinya, Hodgson menyerukan "diakhirinya permusuhan, sehingga arbitrasi bebas dapat menentukan baik-buruknya kasus itu dan... pemusnahan selanjutnya dari jiwa dan harta benda dapat dihindari."
Wakil India, Sen yang mendapat giliran menyatakan dukungannya terhadap resolusi Australia, tetapi dia beranggapan bahwa perintah gencatan senjata saja belum cukup. Oleh sebab itu dia mengusulkan, supaya pada butir satu ditambahkan : agar kedua pihak menarik pasukannya ke garis demarkasi yang disetujui sebelumnya.
Akhirnya sesudah wakil-wakil Cina, Polandia, Uni Soviet dan Amerika Serikat berbicara dan mengajukan amendemen, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat untuk menerima resolusi Australia itu. Dan sesudah mengalami perubahan sebagai akibat dari amendemen yang diajukan oleh anggota Dewan lainnya, resolusi itu bentuk akhirnya berbunyi sebagai berikut :
Dewan Keamanan menyatakan sangat merisaukan permusuhan yang terjadi di Indonesia antara pasukan-pasukan Belanda dan pasukan Republik Indonesia, karena itu Dewan mendesak kedua belah pihak, supaya :
- Segera menghentikan tindakan-tindakan permusuhan;
- Untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan cara damai melalui arbitrasi atau badan penengah lainnya yang disetujui bersama;
- Memberi laporan secara berkala kepada Dewan Keamanan tentang perkembangan selanjutnya.
Pada hari itu Ketua Bulanan (Agustus 1949) Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Faris al Khoury menyampaikan resolusi tersebut kepada wakil pemerintah Belanda, van Kleffens. Sedangkan pemberitahuan kepada Indonesia dikirimkan dengan surat kawat melalui kantor Cables and Wireless Batavia dengan alamat : Sjarifuddin, Perdana Menteri Republik Indonesia Yogyakarta, Java D.E.I (Dutch East Indies).
Di Jakarta, surat kawat tersebut diserahkan kepada sekretaris van Mook, yang meneruskannya kepada A.K. Gani yang baru saja dibebaskan dari tahanan Belanda.
A.K. Gani menolak menerima kawat itu atas nama Indonesia, karena pada waktu itu dia belum mengetahui bagaimana situasi di dalam negeri. Oleh sebab itu pada 4 Agustus 1947 pagi hari, pemerintah Belanda menyiarkan surat kawat itu melalui radio. Sementara itu satu pesawat udara diperintahkan membawa surat kawat ke Yogyakarta dan menjatuhkannya di atas Istana Presiden. Surat itu diterima dengan baik.
Pada hari itu juga Perdana Menteri Sjarifuddin mengirimkan surat kawat kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara garis besar berbunyi sebagai berikut :
- Menyadari kesungguhan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menciptakan perdamaian di Indonesia, pemerintah Indonesia memutuskan menyambut keputusan yang diambil dan memerintahkan semua pasukan bersenjata yang dibawahinya, supaya segera melaksanakan gencatan senjata.
- Pemerintah Indonesia memberitahukan bahwa dengan perantaraan pemerintah Belanda, surat kawat yang dikirimkan baru diterima pada 4 Agustus pukul 10.00 pagi waktu Jawa.
- Memberitahukan bahwa dalam pelaksanaan gencatan senjata Pemerintah Indonesia meminta adanya perhatian khusus terhadap berbagai kesulitan teknis yang akan dihadapi pihak Indonesia : (a) Perlu diketahui bahwa pada saat ini tidak terdapat satu garis demarkasi yang jelas antara kedua pihak yang bermusuhan. (b) Sesuai dengan sistem "pertahanan rakyat" yang diterapkan pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia, maka garis pertahanan tidak terbatas pada suatu garis tertentu. (c) Republik Indonesia harus mengemukakan keraguannya, sebab berdasarkan pengalaman selama dua tahun terakhir, suatu perintah penghentian tembak-menembak tidak menjamin tentara Belanda tinggal di tempat, dan tidak mengadakan gerakan operasi menambah wilayah kekuasaannya.
- Berdasarkan kesulitan itu pihak Republik Indonesia mendesak Dewan Keamanan membentuk Komisi Pengawas, supaya pelaksanaan gencatan senjata dapat terlaksana secara sungguh-sungguh (tinggal di tempat) dan menghentikan segala usaha dan operasi militer.
- Pemerintah Republik Indonesia berpendapat bahwa perintah penghentian tembak menembak harus segera diikuti dengan perintah penarikan mundur pasukan pada garis demarkasi yang telah disepakati, yaitu garis demarkasi tanggal 14 Desember 1946.
Tanggal 7 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa melanjutkan pembahasan mengenai pertikaian di Indonesia. Ketua Faris al Khoury membuka sidang dengan memberitahukan bahwa dia telah menerima surat kawat dari Republik Indonesia yang menyatakan menerima baik seluruh keputusan Dewan Keamanan.
No comments:
Post a Comment