Pada masa perdebatan rencana resolusi Australia, van Langenhouven, wakil Belgia mengusulkan agar wakil Belanda yang tidak duduk dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, diundang untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Usul itu segera disambut Hodgson dengan tambahan supaya pihak Indonesia juga diminta hadir agar persoalan yang dihadapi benar-benar jelas.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menyetujui untuk mengundang wakil Belanda turut menghadiri perdebatan. Tetapi tentang kehadiran Indonesia tidak dapat diputuskan dan masih akan dibicarakan dalam sidang selanjutnya. Dalam sidang 1 Agustus 1947, van Kleffens, wakil Belanda sudah turut hadir dan telah diberi kesempatan untuk berpidato.
Dalam pidatonya, dia dengan tandas menentang pengikutsertaan Republik Indonesia dalam perdebatan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Katanya, Republik Indonesia hanyalah satu pihak yang tidak mempunyai kedaulatan dan sama sekali tidak berhak bersuara di forum internasional. Selanjutnya dia berkata, bahwa berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa hanya negara yang mempunyai kedaulatan yang dapat berbicara di depan forum, sedangkan Indonesia jelas tidak mempunyai hak kedaulatan itu.
Hodgson membantah pendapat van Kleffens. Dia berpendapat bahwa Indonesia sudah diakui, secara de facto sehingga Dewan tidak hanya berhak, bahkan wajib mendengarkan pihak Indonesia.
Wakil Kolombia mengusulkan supaya Dewan langsung membicarakan rancangan resolusi Australia itu. Tetapi Gromyko, wakil Uni Soviet menyatakan keberatan. Dia berpendapat bahwa butir pertama dapat dibicarakan sekarang, tetapi butir kedua dan usul India (penarikan mundur pasukan) tidak dapat dibicarakan tanpa kehadiran wakil dari Indonesia. Karena, menurut Gromyko hal itu akan berarti bahwa Dewan sudah gegabah menetapkan sikap untuk suatu negara tanpa memberi kesempatan pada bangsa itu untuk menyatakan kehendak dan pendiriannya.
Dalam rapat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 7 Agustus 1947, Gromyko kembali meminta supaya segera mengambil keputusan tentang keikutsertaan Indonesia dalam pembicaraan selanjutnya. Dalam sidang lanjutan tanggal 12 Agustus 1947, Gromyko langsung mendesak Dewan Keamanan mengambil keputusan tentang keikutsertaan Indonesia dalam pembahasa selanjutnya. Dia berkata usul itu sudah ditunda satu kali, oleh sebab itu dia berharap supaya hari itu Dewan mengambil keputusan.
Utusan India Sen, menambahkan supaya delegasi Republik Indonesia yang diketuai Soetan Sjahrir juga mendapat pengakuan diplomatik sebagai delegasi yang dipimpun seorang Duta Besar. Selanjutnya dikemukakan bahwa delegasi Republik Inodnesia sudah berada dalam ruangan. Karena itu dapat dianggap wajar, kalau kepada mereka diberi kesempatan untuk mengutarakan pendiriannya. van Kleffens menanggapi usul Rusia dan India dengan berkata bahwa tidak ada dasar yang membenarkan agar Dewan Keamanan meminta Indonesia menjelaskan pendiriannya di depan forum ini, apalagi untuk memperlakukan ketuanya sebagai Duta Besar.
Ketua sidang menunjuk kepada Pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyebut bahwa negara yang bukan anggota Dewan Keamanan atau Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak dibenarkan mengambil bagian dalam sidang Dewan Keamanan. Kecuali pihak-pihak yang langsung terlibat dalam sengketa yang sedang dibahas. Dengan demikian dia menyatakan bahwa kehadiran Republik Indonesia dapat dipertimbangkan oleh Sidang.
Van Kleffens tetap menghendaki Dewan Keamanan menolak keikutsertaan Indonesia dalam sidang. Dia berkata bahwa Indonesia bukanlah suatu negara dan tidak menganggap itu sebagai negara. Hal itu dibuktikan dengan surat Presiden Soekarno kepada pemerintah Amerika Serikat, yang mengakui bahwa "kekuasaan sepenuhnya sampai 1 Januari 1949 masih tetap berada di tangan pemerintah Belanda."
Wakil Inggris, Sir Alexander Cadogan, mendukung pendapat van Kleffens dan mengusulkan Dewan Keamanan untuk menolak kehadiran Indonesia atau memberi kesempatan yang sama pada Indonesia Timur dan Borneo (Kalimantan) yang juga hadir dalam ruangan itu.
Wakil India Sen, mengatakan pada bagian kedua Pasal 2 tersebut dapat dilihat bahwa kesempatan untuk didengar Dewan Keamanan tidak mutlak terbatas pada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau kepada negara yang berdaulat penuh. Oleh sebab itulah dia berbicara tentang "parties" atau pihak-pihak yang tidak atau belum berdaulat.
Wakil Amerika Serikat mengemukakan bahwa keinginan untuk mendengar pihak Indonesia dalam persoalan ini sepenuhnya sejalan dengan jiwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan tanpa mendahului soal-soal yuridis yang menyangkut eksistensi Indonesia sebagai negara, jikalau Dewan Keamanan ingin memperoleh suatu gambaran yang sebenarnya, tidak boleh tidak, pihak Indonesia harus didengar.
Menjawab van Kleffens, Gromyko berkata bahwa tanpa pertimbangan yang diajukan Amerika Serikat, Indonesia harus didengar. Pada kenyataannya Indonesia cukup merdeka dan berdaulat untuk menjelaskan pendiriannya kepada Dewan Keamanan.
Selanjutnya van Kleffens menunjul Pasal 39, yang dimaksud dengan pihak-pihak yang dapat diundang ialah pihak-pihak yang dapat memberi keterangan tentang hal-hal yang termasuk dalam kompetensi Dewan Keamanan. Dan justru disinilah masalahnya, karena Dewan tidak berhak mencampuri urusan Indonesia.
Dewan memutuskan memungut suara. Di samping India, Rusia dan Amerika Serikat, wakil-wakil Polandia, Cina, Australia dan Kolombia (7 suara) menyatakan setuju mengikutsertakan Indonesia. Yang tidak setuju adalah Belgia, Inggris dan Perancis.
Setelah hasil pemungutan suara diumumkan, Ketua Sidang mengundang wakil-wakil Indonesia mengambil tempat dalam ruangan sidang. Kemudian dia memperkenalkan anggota-anggotanya kepada sidang. Ketua Soetan Sjahrir (Duta Besar), Haji Agoes Salim, wakil Ketua, dan anggota : Thambu, Soedjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo.
Dalam sidang berikutnya, tanggal 14 Agustus 1947, wakil Belgia secara resmi mengajukan permintaan untuk mengikutsertakan Indonesia Timur dan Borneo (Kalimantan) dalam sidang. Permintaan Belgia oleh ketua langsung diajukan kepada sidang.
Wakil Belanda membuka perdebatan dengan menyatakan bahwa sama halnya dengan Indonesia, kedua negara Indonesia itu secara langsung turut terlibat dalam permasalahan. Dia berbicara mengenai status masing-masing dalam Negara Serikat yang akan didirikan kelak untuk membuktikan bahwa kedudukan Indonesia tidak lebih tinggi dari kedudukan kedua negara tersebut. Dikatakan, jika Indonesia dianggap sebagai salah satu pihak dalam pertikaian, maka seharusnya Indonesia Timur dan Borneo juga harus dipandang sebagai satu pihak.
Kemudia pemungutan suara dilakukan. Ternyata usul Belgia itu ditolak dengan tujuh suara. Yang setuju hanya empat suara. Diterimanya surat-surat kepercayaan (credentials) Soetan Sjahrir sebagai wakil Republik Indonesia dan ditolaknya keikutsertaan Indonesia Timur dan Borneo, merupakan kemenangan lagi dari Indonesia vis-a-vis Belanda di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi harus diakui bahwa resolusi Dewan Keamanan masih belum memenuhi kepentingan Indonesia yang senantiasa memperjuangkan :
- Agar Dewan mencela serangan militer Belanda;
- Memerintahkan gencatan senjata;
- Memerintahkan penarikan mundur pasukan bersenjata Belanda ke garis demarkasi dengan mengirimkan pengawas;
- Menerima pembentukan badan arbitrasi untuk menyelesaikan sengketa.
Sesudah sekian lama membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, Dewan Keamanan hanya memutuskan penghentian tembak menembak yang sebenarnya lebih menguntungkan pihak Belanda, dan lebih condong kepada pemberian jasa-jasa baik untuk menyelesaikan sengketa Indonesia daripada menyerahkannya kepada suatu badan arbitrasi seperti yang dituntut Indonesia.
No comments:
Post a Comment