Translate

Thursday, December 17, 2015

PIDATO SOETAN SJAHRIR (BAGIAN 1)

Bagaimanapun juga, diakuinya Republik Indonesia sebagai opposite number (istilah yang dipakai wakil Cina) dan menjadi satu pihak dalam pertikaian Indonesia-Belanda dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah merupakan suatu kemajuan besar dalam diplomasi Indonesia. Setibanya di Lake Success, Soetan Sjahrir mengadakan pembicaraan dengan wakil-wakil pemerintah India dan Australia di Dewan Keamanan. Kemudian dengan wakil-wakil negara Arab dan Mesir untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejak hari pertama Soetan Sjahrir sudah sadar bahwa tugas yang dihadapi delegasi Indonesia di Lake Success bukan suatu pekerjaan yang mudah. Benteng propaganda kolonial, dengan dana dan alat-alat yang serba cukup ditambah dengan pelaksanaannya yang berjalan baik, sudah sangat mempengaruhi pendapat umum. Termasuk orang-orang dikalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan rakyat Amerika Serikat sendiri.

Berkat usaha misi perintis Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam waktu kurang dari dua minggu, kalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pertikaian Belanda-Indonesia dan telah membuat mereka lebih hati-hati menerima keterangan Belanda.

Sidang Dewan Keamanan tanggal 14 Agustus 1947, diadakan sesudah melalui pertarungan yang berliku-liku dan perdebatan yang panjang lebar di satu pihak antara Belanda yang diwakili oleh van Kleffens dan di pihak lain oleh pendukung Indonesia yang kadang kala diwakili Kolonel Hodgson, Pillai Sen dan kadangkala diwakili oleh delegasi negara lain. Sesudah pemungutan suara mengenai keikutsertaan Indonesia Timur dan Borneo yang ditolak oleh Dewan Keamanan, maka ketua mempersilakan Soetan Sjahrir memulai keterangannya. Dia secara ringkas menguraikan sejarah perkembangan pergerakan nasionalisme di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda sampai penjajahan Jepang.

Dia menyalahkan pemerintah Belanda yang tidak bersedia bekerja sama dengan bangsa Indonesia untuk menghadapi serbuan Jepang, sehingga Indonesia menjadi mangsa empuk bagi Jepang. Ketika itu seluruh kekuatan Belanda langsung melarikan diri atau meletakkan senjata, setelah Jepang mulai mendaratkan pasukannya di pantai-pantai Indonesia.

Menanggapi tuduhan seolah-olah kemerdekaan itu direncanakan oleh Jepang di Saigon bersama-sama beberapa pemimpin Republik Indonesia, Soetan Sjahrir berkata bahwa janji Jepang tidak pernah merupakan bahwan pertimbangan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi seutuhnya tercetus dan datang dari bawah.

Tentang tahanan politik, ia mengemukakan :
"Dalam waktu 14 bulan Indonesia sudah mampu melucuti senjata dan mengungsikan 70.000 serdadu Jepang, membebaskan serta mengungsikan 30.000 warga negara Belanda bekas tahanan Jepang. Sekarang di daerah Indonesia tidak terdapat lagi seorang pun bekas tahanan Jepang dan atau warga negara Belanda."

Kemudian Soetan Sjahrir memberi penjelasan tentang upaya penengah dari Inggris Lord Inverchapel yang sudah berhasil merumuskan suatu perjanjian kompromis (Hoge Veluwe). Tetapi perjanjian itu dikhianati Belanda. Dia membentuk negara-negara Indonesia Timur, Kalimantan, membangkitkan gerakan separatis di Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan. Dalam usahanya Belanda merangkul orang-orang feodal yang terkenal sebagai pesuruh Belanda, yang setia kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Soetan Sjahrir meneruskan bahwa Belanda tidak berhenti di situ saja. Belanda terus memperkuat angkatan bersenjatanya di Indonesia dari 47.000 orang pada tahun 1946/1947 menjadi 91.000 pada triwulan pertama 1947. Menjelang pecahnya perang kemerdekaan di Indonesia, Belanda selalu menyumbat telinga terhadap usul Indonesia untuk menyerahkan persoalan pada arbitrasi. Dia menganggap Pasal 17 Persetujuan Linggajati sama sekali tidak berarti.

Soetan Sjahrir juga menunjuk pada surat van Mook yang disampaikan kepada Wakil Perdana Menteri A.K. Gani 20 Juli 1947, yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Belanda tidak mengakui dirinya terikat pada Perjanjian Linggajati. Seluruhnya sudah membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah Belanda tidak pernah sungguh-sungguh berupaya melaksanakan Perjanjian Linggajati. Semua upaya politik, ekonomi dan militer yang selama ini dilakukan, ternyata hanya dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan : menundukkan Indonesia dengan kekuatan senjata.

Sekarang, kata Soetan Sjahrir, setelah Dewan Keamanan memerintahkan kedua pihak mengadakan gencatan senjata, pengharapan untuk dapat menyelesaikan pertikaian secara damai hidup kembali. Tetapi perdamaian yang diidam-idamkan itu hanya mungkin dicapai, jika seluruh pasukan bersenjata Belanda meninggalkan wilayah Indonesia. Karena selama tentara Belanda masih ada di sana, selama itu pulalah ada kemungkinan bahwa Belanda akan kembali memaksakan keinginannya dengan kekuatan senjata. Oleh sebab itu, Indonesia sangat mengharapkan supaya Dewan Keamanan bersedia mendesak pihak Belanda menarik seluruh pasukannya dari wilayah Indonesia dan mengembalikan pada kedudukan yang disetujui dalam Persetujuan Gencatan Senjata 14 Oktober 1946. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan menjamin keamanan dan ketenteraman di seluruh wilayah de facto nya.

Sementara itu, menurut Soetan Sjahrir, Indonesia tidak percaya bahwa pihak Belanda akan melaksanakan gencatan senjata secara jujur. Oleh karena itu Indonesia sangat mengharapkan Dewan Keamanan membentuk sebuah Komisi Pengawas yang atas nama Dewan Keamanan akan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Belanda ke garis yang sudah disepakati itu.

Kemudian Soetan Sjahrir menyatakan harapan Indonesia bahwa Dewan Keamanan bersedia membentuk sebuah badan arbitrasi untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda-Indonesia.

Sebagai kata penutup, Soetan Sjahrir menyatakan terima kasih kepada Amerika Serikat dan Australia yang sudah menyatakan kesediannya memberikan jasa-jasa baiknya.

Setelah Soetan Sjahrir memberi penjelasan panjang lebar, wakil Cina meminta supaya sidang diundurkan, tetapi van Kleffens mendesak, supaya sidang terus dilanjutkan untuk mendengar keterangannya. Sembilan anggota menolak untuk meneruskan sidang hari itu, sehingga van Kleffens harus menelan dua kali kegagalan dalam satu hari.

. . . bersambung

No comments:

Post a Comment