. . . lanjutan
Dalam sidang berikutnya, 15 Agustus 1947, van Kleffens mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Secara panjang lebar dia menjelaskan betapa kecewanya pemerintah Belanda. Pertama karena Dewan Keamanan tidak mengindahkan permintaan mereka, sekali pun segala sesuatu yang dikemukakan didasarkan pada keinginan yang tulus. Oleh sebab itu pemerintah Belanda melihat dirinya terpaksa mengajukan protes terhadap perlakuan Dewan Keamanan terhadap Indonesia TImur dan Borneo (Kalimantan). Terlebih lagi, karena ada negara yang menyebut bahwa penyertaan 20 juta orang penduduk dari negeri yang ditegakkan secara demokratis, akan mengaburkan persoalan.
Tentang uraian Soetan Sjahrir, van Kleffens berkata bahwa gerombolan-gerombolan dalam wilayah Republik tidak pernah dapat mereka kendalikan. Pemerintah Soekarno dengan kabinetnya tidak berkuasa atas pasukan bersenjata yang disebutkan sebagai "bulat pendukung politiknya". Dan sekarang, setelah sebagian daerah itu berada di dalam tanggung jawab Belanda, tentara Belanda dihadapkan pada kesulitan-kesulitan untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban di daerah-daerah yang selama itu tidak mengenal peraturan.
Soetan Sjahrir dua kali lagi mendapat kesempatan berpidato pada Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 9 Agustus 1947 (giliran kedua) dan 25 Agustus 1947 (giliran ketiga dan terakhir). Berbicara pada akhir sidang 19 Agustus 1947, Soetan Sjahrir menandaskan bahwa dari keterangan wakil pemerintah Belanda sudah jelas terbukti bahwa mereka merasa kecewa dan marah, karena Dewan Keamanan sudah memerintahkan gencatan senjata di Indonesia.
Sementara itu menunjuk pada kebenaran pendapat yang diutarakan pada permulaan pembahasan ini, bahwa sejak semula Belanda tidak pernah berniat mengadakan perjanjian dua pihak dengan Republik Indonesia, yang di rencanakan hanyalah : menguasai kembali Indonesia. Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, mudah dimengerti, kalau bangsa Indonesia selalu dihinggapi rasa was-was dan takut selama tentara Belanda masih terdapat di negerinya. Dan mereka tidak dapat berpegang pada janji-janji Belanda, yang selama ini terbukti selalu berbeda dengan perbuatannya.
Karena pemerintah Indonesia tidak percaya lagi pada Belanda, maka tidak ada untungnya mengadakan perundingan langsung antara dua pihak. Ketakutan dan kecurigaan itu juga tidak lenyap, sekalipun diterima tawaran Amerika Serikat sebagai pihak yang mempertemukan, karena itulah Indonesia terpaksa menolaknya.
Selanjutnya Soetan Sjahrir mengemukakan bahwa menurut keterangan dan laporan yang mereka terima dari tanah air dan dari negeri Belanda, pada saat ini Belanda sedang mengadakan persiapan-persiapan untuk meneruskan aksi militer ke Yogyakarta. Terlepas dari benar tidaknya kabar-kabar itu, hal tersebut telah menyebabkan keadaan di Jakarta benar-benar tegang dan kritis.
Dalam hal itu sudah pasti bahwa Belanda akan melemparkan kesalahan kepada pihak Republik Indonesia. Mereka akan menyatakan bahwa pelanggaran pihak Indonesia semakin banyak. Tetapi siapakah yang berani menjamin bahwa pernyataan mereka benar dan bukan sebaliknya?
Sudah jelas Belanda sangat marah, karena gencatan senjata harus dilaksanakan. Meskipun nampaknya kedua pihak mengumumkan gencatan senjata, dapat diperkirakan bahwa tembak-menembak antara kedua pihak akan terus berlangsung.
Selanjutnya Soetan Sjahrir mengatakan, kiranya bagi Dewan Keamanan sudah jelas bahwa suatu perundingan dua pihak pada tingkat sekarang ini tidak mungkin lagi. Dia bertanya :
"Bagaimana mungkin dua pihak dapat disebut berunding, kalau yang satu memegang pistol yang ditempatkan pada benak pihak kedua? Dengan demikian Indonesia tidak dapat berbuat selain menolak usul yang diajukan Belanda, karena tidak memenuhi syarat."
Dalam sidang lanjutan 25 Agustus 1947, Soetan Sjahrir mendapat giliran pertama berbicara. Secara panjang lebar dia menggambarkan dan menjelaskan keadaan politik Indonesia setelah gencatan senjata untuk membuktikan bahwa gencatan senjata itu tidak banyak mengubah keadaan. Ketenteraman yang dikehendaki tidak bertambah baik, bahkan dalam banyak hal menjadi lebih buruk. Belanda terus melaksanakan rencana untuk menduduki daerah-daerah strategis sebagai bagian persiapan pangkalan yang lebih baik untuk fase berikut : melanjutkan operasi militer ke Yogyakarta. Dengan semakin jelas bagi Dewan Keamanan, bahwa perdamaian di Indonesia tidak akan mungkin tercapai selama masih ada serdadu Belanda bertugas di sana. Dia menegaskan bahwa Indonesia bersedia mematuhi setiap keputusan yang ditetapkan Dewan Keamanan termasuk usaha arbitrasi dari negara-negara yang tidak memihak.
Kemudian Soetan Sjahrir mengajukan keberatannya terhadap resolusi bernama Cina - Australia, yang menghendaki Dewan Keamanan mendasarkan kebijakan pada pendapat para konsul di Indonesia yang pada umumnya masih tetap melihat persoalan Indonesia melalui kacamata pemerintah Belanda.
Pada akhirnya Soetan Sjahrir menyatakan pengharapannya agar Dewan Keamanan berupaya mengadakan jaminan yang lebih pasti terhadap pelaksanaan gencatan senjata.
Sejak 4 dan 5 Agustus 1947 daerah yang diduduki Belanda sudah bertambah luas, bila semakin lama Dewan Keamanan menangguhkan pengambilan keputusan semakin luas pula wilayah kekuasaan de facto Indonesia yang diduduki Belanda.
No comments:
Post a Comment