Dalam tindakan permulaannya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa hanya membatasi dirinya dengan mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Tanpa mengambil keputusan mengenai inti persengketaan, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa membiarkan pihak-pihak yang bersengketa agar secara bebas mencapai penyelesaian politik dengan jalan arbitrasi atau melalui cara damai lainnya. Sementara itu pada 31 Juli 1947 pemerintah Amerika Serikat menawarkan jasa-jasa baiknya.
Tanggal 16 Agustus 1947, Konsul Amerika di Indonesia, Walter Foote menyampaikan nota dari pemerintahnya kepada Dr. A. K Gani. Dalam nota tersebut pemerintah Amerika Serikat kembali menawarkan jasa-jasa baiknya. Antara lain di dalam nota dikatakan :
"Pemerintah Belanda sudah menyatakan setuju menerima jasa-jasa baik Amerika untuk membantu kedua belah pihak, supaya dapat mengadakan perundingan langsung. Jika Republik Indonesia menerimanya, pemerintah Amerika akan segera mengambil tindakan yang diperlukan. Tetapi kalau Republik Indonesia menghendaki bentuk perantara lain, dengan sendirinya tawaran ini akan kami cabut dan dinyatakan batal."
Pemerintah Republik Indonesia yang menghendaki dari pihak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, bentuk perantara yang lebih berbobot, terpaksa menolak tawaran Amerika Serikat. Karena itu tanggal 20 Agustus 1947 Amerika Serikat menyatakan tawarannya dibatalkan. Dalam jawabannya kepada Pemerintah Amerika Serikat, pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1947 menjelaskan :
"Menunggu keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih lanjut, kami ingin menegaskan kembali bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia sangat mengharapkan Amerika dapat bertindak sebagai perantara dengan kekuasaan menentukan dalam perselisihan Belanda - Indonesia. Dalam hubungan itu, kami sudah memberitahukan kepada wakil kami di Dewan Keamanan, bahwa bentuk perantaraan yang kami inginkan adalah arbitrasi."
Perkembangan selanjutnya terjadi 15 Agustus 1947 ketika van Kleffens mengatakan bahwa, berdasarkan semua pertimbangan, pemerintah Belanda sekali lagi hendak membuktikan keinginannya untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Indonesia dan menyatakan kesediaan menerima jasa-jasa baik dari negara-negara bersahabat. Kemudian atas nama pemerintahnya, dia mengusulkan kepada Republik Indonesia sebagai berikut :
"Masing-masing negara, Belanda dan Indonesia menunjuk satu negara menjadi wakilnya. Kemudian kedua negara yang ditunjuk itu sama-sama menunjuk satu negara yang mereka anggap tidak memihak, tetapi cukup berbobot. Pihak ketiga yang tidak memihak itu akan mengirimkan pejabat-pejabatnya ke Indonesia untuk meninjau keadaan dan menyusun sebuah laporan yang akan disiarkan secara luas. Jasa-jasa baik negara ketiga tersebut juga dapat diperluas untuk mengusahakan dimulainya perundingan segera."
Sejalan dengan permohonan Soetan Sjahrir agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan "tindakan langsung", Polandia mengusulkan bahwa satu komisi atas nama Dewan Keamanan dapat berindak sebagai mediator dan arbitrator. Sedangkan Australia menganjurkan agar masing-masing pihak menunjuk satu arbitrator dengan Dewan Keamanan menunjuk anggota ketiga. Pada saat-saat inilah (22 Agustus 1947) delegasi Amerika Serikat mengemukakan sebaiknya Dewan Keamanan menghindarkan paksaan mencari penyelesaian melalui cara-cara tertentu terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi menawarkan jasa-jasa baik. Berhubung Dewan Keamanan akan bertindak atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan sendiri, masalah juridiksi tidak akan timbul. Jasa-jasa baik ini dapat diberikan melalui satu panitia (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tiga anggota, yang masing-masing pihak memilih satu dan anggota yang ketiga pada gilirannya dipilih oleh dua anggota yang telah ditunjuk.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment