. . . lanjutan
Pada 2 April 1949 dilaporkan dari Washington bahwa satu amendemen kompromi sebagai ganti resolusi Brewster sedang disiapkan oleh Senator Arthur Vandenberg yang dikatakan rekayasa dengan persetujuan State Department. Inti dari kompromi itu adalah bahwa bantuan ECA untuk Belanda akan dihentikan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan sanksi terhadap Belanda akibat pembangkangannya terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usulan kompromi Vandenberg itu mengandung resiko bahwa sanksi tidak pernah akan berhasil diterapkan mengingat susunan keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jika sampai memperoleh 7 suara yang diperlukan dapat saja di veto oleh salah satu anggota, Perancis misalnya, yang telah pernah memveto resolusi mengenai sengketa Indonesia yang lebih lunak.
Senator Partai Republik yang terkenal bebas dan terhormat, Senator Morse, menolak untuk menerima usulan kompromi itu. Argumentasinya yang cukup sehat diterima oleh mayoritas Senator Partai Demokrat yang mendukung usulan kompromi itu.
Kata Morse :
"I do not see how we can escape the conclusion that to whatever extent we have been helpful to the Dutch economy under the Marshall Plan, we necessarily thereby have been helpful to the Dutch government in carrying ouy its violations of what I consider to be one of the most basic principles of our pledges under the United Nations Charter, the pledge that we would seek at least to protect the interests of the people in the world who sought to make a fight for freedom as we believe in freedom... We would not adopt the compromise amendment. We are dealing with a great moral and ethical issues, and I do not think it is right to sanction here... approval for the expenditure of American dollars in the Netherlands under ECA, while the Netherlands stands in open defiance on the record of its obligations under the United Nations Charter. I say it had been found guilty of trampling freedom in Indonesia... I hold to the view, Mr. President, that so long as we permit the Dutch to get by with the course of defianat action which has been theirs since the violation of the Renville Agreement, we are going to be misunderstood in Indonesia. We are going to be misunderstood elsewhere in the world where weak people are looking to us to take a dominant role in protecting freedom."
Yang artinya,
"Saya tidak melihat bagaimana kita dapat menghindari kesimpulan sampai sejauh mana kita berguna bagi ekonomi Belanda di bawah rencana Marshall, sejauh itu pula kita secara pasti telah membantu pemerintah Belanda dalam upayanya melanggar apa yang saya anggap sebagai satu dari prinsip yang paling pokok dari janji kita di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, janji yang akan terus kita buat sekurang-kurangnya untuk memelihara kepentingan rakyat di dunia yang berupaya berjuang untuk kemerdekaan, kemerdekaan yang kita junjung tinggi... Sekiranya kita jangan menerima amendemen kompromi itu. Kita sedang menghadapi soal-soal moral dan etik yang besar, dan saya tidak percaya bahwa ini adalah tempatnya untuk membelanjakan dollar Amerika Serikat di Negeri Belanda di bawah ECA, ketika Belanda tetap membangkang secara terbuka dalam daftar kewajibannya di bawah piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa . Saya katakan bahwa dia ternyata telah membuat kesalahan menginjak-injak kemerdekaan di Indonesia... saya berpegang pada pendapat itu, Mr. President, bahwa selama kita mengizinkan Belanda melakukan pembangkangan yang merupakan kebiasaannya sejak Persetujuan Renville, kita akan tetap dianggap salah di Indonesia, kita akan tetap pula dianggap salah di tempat lain di dunia di tempat rakyat yang lemah melihat kepada kita agar kita tetap mengambil peranan dominan dalam menjamin kemerdekaan."
Dari titik inilah mulainya perubahan dalam kebijakan Amerika Serikat terhadap Belanda. Tekanan terhadap pemerintah Amerika Serikat agar secara drastis mengubah sikapnya berkembang dengan cepat di Washington. Sebagian senator mendesak pemerintahnya untuk menghentikan bantuan Rencana Marshall kepada Belanda (yang berjumlah sekitar $350 juta) selama Pemerintah Belanda meneruskan kebijakannya yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menteri Luar Negeri Dean Acheson memberitahukan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Stikker, yang sedang mengunjungi Washington pada waktu itu, bahwa pemerintah Amerika Serikat akan terpaksa mengambil tindakan keras, jika pemerintah Belanda terus menerus melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Guna memperoleh keterangan selanjutnya, Menteri Dean Acheson memanggil Merle Cochran ke Washington untuk berkonsultasi dan memberikan instruksi kepadanya sebagai wakil Amerika Serikat dalam Komisi Tiga Negara, untuk mengambil prakarsa menciptakan perjanjian kompromi antara Belanda dan pihak yang bersangkutan di Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pendirian Menteri Dean Acheson ini merupakan perintis jalan dari pernyataan Roem-van Roijen. Di sini Merle Cochran memainkan peranan penting dalam mendekatkan pihak-pihak yang bertengkar dan juga dalam membujuk mereka menerima prinsip-prinsip yang diuraikan dalam pengumuman tersebut. Merle Cochran mengadakan tekanan kuat terhadap pihak-pihak yang bersengketa untuk menerima persetujuan dasar bagi perundingan selanjutnya menuju penyelesaian politik sengketa Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment