Translate

Wednesday, December 16, 2015

KONTAK DENGAN UNI SOVIET (BAGIAN 2)

. . . lanjutan

Hubungan Indonesia-Uni Soviet  menjadi bertambah dingin setelah Kabinet Hatta menumpas pemberontakkan PKI di Madiun. Pendirian yang berubah ini menjadi terbuka, ketika delegasi Uni Soviet mengambil sikap abstain dalam pengambilan suara pada 28 Januari 1949 terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan alasan bahwa resolusi itu tidak begitu keras dan tidak begitu menyeluruh dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda seperti yang diperkirakan oleh delegasi Uni Soviet.
Perubahan pendirian itu makin bertambah nyata dan jelas ketika delegasi Uni Soviet memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diajukan untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pihak - Belanda dan wakil Republik Indonesia Serikat yang akan datang - pada kesempatan berakhirnya Konferensi Meja Bundar, karena telah mencapai perjanjian menyeluruh mengenai penyerahan kedaulatan.

Malik, wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, bagaimana pun menyadari penyerahan kedaulatan kepada Indonesia tidak terpengaruh oleh vetonya. Tindakan Uni Soviet nampaknya sebagai satu pernyataan tidak senang terhadap Kabinet Hatta dan Soekarno yang setelah pemberontakan komunis di Madiun dan setelah penumpasannya kemudian, dianggap telah menjadi kaki tangan kekuasaan imperialis terutama Amerika Serikat. Malik mencela Konferensi Meja Bundar karena tidak sedikit pun mempertahankan pengaruh pemerintah Belanda di Indonesia untuk generasi-generasi mendatang.

Pemikiran pemerintah Uni Soviet adalah untuk menjelekkan Soekarno dan Hatta di mata kelompok kiri di Indonesia dengan cara memveto resolusi itu. Tetapi pada bagian lain, dia tidak akan mengambil tindakan yang akan merusak rencana penyerahan kedaulatan kepada Indonesia sebagai yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan di Den Haag.

Untuk menyatakan ketidaksenangannya terhadap pemerintah baru yang dibentuk sesudah penyerahan kedaulatan di bawah pimpinan Mohammad Hatta, pemerintah Uni Soviet menunggu sebulan lamanya sebelum memberikan pengakuannya kepada Republik Indonesia Serikat. Bersama itu pemerintah Uni Soviet menyatakan bahwa pembukaan hubungan diplomatik baru dapat diadakan sesudah pemerintah Mohammad Hatta mengadakan pembicaraan permulaan dengan Uni Soviet.

Untuk memenuhi permintaan pemerintah Uni Soviet tersebut, Perdana Menteri Mohammad Hatta mengirimkan misi diplomatik ke Moskow bulan Mei 1950. Misi itu di bawah pimpinan Duta Besar L.N. Palar, Wakil Tetap Republik Indonesia Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan dua anggota terkemuka Partai Masyumi Mohammad Yamin dan Yusuf Wibisono. Perdana Menteri Mohammad Hatta terutama menginstruksikan delegasi Palar untuk menjajaki bagaimana pendirian pemerintah Uni Soviet terhadap Republik Indonesia Serikat dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan September yang akan datang, apabila mengajukan keinginannya untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ternyata misi Palar telah mencapai hasil, karena ketika tanggal 28 September tahun 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Uni Soviet tidak memveto permintaan itu, sehingga hari itu Indonesia menjadi anggota ke 60 Perserikatan Bangsa-Bangsa.

No comments:

Post a Comment