Translate

Saturday, September 15, 2018

PERUNDINGAN-PERUNDINGAN MENJELANG HOGE VELUWE (BAGIAN 2)

. . . sambungan

Konsultasi dengan KNIP mengundang berbagai kritik, khususnya dari Persatoean Perdjoeangan melontarkan kritik tajam. Akibatnya seluruh Kabinet Soetan Sjahrir mendadak meletakkan jabatan pada tanggal 28 Februari 1946. Karena tidak berhasil membentuk kabinet baru, pemerintah Republik Indonesia memberikan mandat kembali kepada Perdana Menteri Soetan Sjahrir untuk membentuk kabinet kedua. Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga diinstruksikan agar melanjutkan perundingan dengan Belanda untuk mecapai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Berbekal mandat baru ini Perdana Menteri Soetan Sjahrir berhasil mendapat dukungan penuh pemerintahan Republik Indonesia dan KNIP. Satu hari setelah pelantikan tanggal 13 Maret 1946, atas nama pemerintah Republik Indonesia dia menuntut pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara penuh di atas seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda. Perdana Menteri Soetan Sjahrir menolak usulan "masa peralihan di bawah kekuasaan Belanda". Situasi ini membuat jalan buntu, deadlock baru, tidak terhindar.

Saat itu terjadi sedikit kontroversi sejarah. Untuk mengatasi deadlock Van Mook menjajaki dengan usul kompromi, bahwa untuk menyelesaikan struktur kenegaraan hubungan Indonesia-Belanda mengambil cara hubungan Vietnam-Perancis dalam bentuk Uni. Perlu diketahui hubungan Uni Republik Vietnam-Perancis (Union Francaise) berlandaskan perjanjian tertanggal 6 Maret 1946.

Delegasi Republik Indonesia menolak tegas usulan Van Mook (Belanda). Contoh perjanjian Vietnam-Perancis kemudian menimbulkan salah paham yang satu bulan kemudian menjadi salah satu penyebab kegagalan perundingan Hoge Veluwe.

Van Mook di dalam bukunya mengakui, bahwa gagasan tersebut adalah upaya pribadinya untuk mengatasi jalan buntu. Dia juga menegaskan bahwa usulan tersebut bukan usul resmi pemerintah Belanda. Dikatakan :

".. ik meende toen van mijn kant een stap te moeten doen onder uitdrukkelijk voorbehoud dat daarin geen Nederlandsa voordeel mocht worden gezien, doch dat hij alleen werd ondernomen om een uitweg uit het slop te zoeken" (saya waktu itu berpendapat bahwa dari pihak saya harus melakukan suatu upaya untuk mengatasi jalan buntu).

Tulisan ini mungkin untuk menyelamatkan nama baiknya, karena ternyata Belanda di Hoge Veluwe tidak mendukung konsep penyelesaian a la Union Francaise.

Reaksi Indonesia yang mengira bahwa usulan tersebut datang dari Pemerintah Belanda, menimbulkan pula salah faham dikalangan delegasi Republik. Apakah hal itu dapat diartikan sebagai upaya manuver diplomasi Belanda untuk memancing reaksi positif dunia internasional terhadap niat baik Belanda, perlu dipertanyakan.

Di tengah-tengah suasana yang menghangat akibat pendaratan pasukan-pasukan Belanda menggantikan pasukan Inggris di Bali dan Jakarta, Van Mook berlandaskan inspirasi perjanjian Vietnam-Perancis mengajukan empat usulan sebagai berikut :

  1. Republik akan merupakan bagian dari negara Indonesia yang bersifat federal, negara Indonesia Serikat tersebut akan merupakan negara bebas (vrije staat) sebagai mitra dari Kerajaan, dengan pengakuan de facto untuk Jawa dan Sumatera, tetapi sebagai bagian dari Kerajaan yang meliputi wilayah Hindia-Belanda dalam hubungan kenegaraan yang mencakup negeri Belanda, Suriname dan Curacao.
  2. Republik menyetujui pendaratan pasukan-pasukan Belanda untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah diberikan kepada tentara Sekutu (Inggris).
  3. Republik setuju menghentikan segala permusuhan.
  4. Republik akan turut serta dalam berbagai kegiatan konsultasi dengan wakil-wakil dari semua daerah wilayan Hindia-Belanda, maupun golongan-golongan minoritas, untuk membahas bentuk struktur politik (kenegaraan) mengenai Negara Indonesia di kemudian hari maupun hubungannya langsung dengan Kerajaan Belanda.
Usul Van Mookk ini tampaknya langsung disampaikan kepada Perdana Menteri Soetan Sjahrir tanpa konsultasi dengan pemerintah Belanda. Manuver diplomatik Van Mook dimaksudkan agar iktikad baiknya tampil meyakinkan dunia internasional. Di sisi lain mengupayakan agar Soetan Sjahrir sebagai tokoh moderat dapat dibujuk untuk menempuh jalan diplomasi melalui perundingan dengan Belanda.

Usul itu mendaoat tanggapan positif dari Amerika Serikat. Sedangkan Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga menyadari manuver Van Mook sempat mempengaruhi opini dunia internasional. Terutama usulan dengan gaya penyelesaian sengketa Vietnam-Perancis. Dunia internasional sempat dilanda optimisme, persengketaan Indonesia-Belanda dinilais edang menuju penyelesaian yang positif melalui jalur diplomasi.

. . (bersambung)

Monday, March 27, 2017

PERUNDINGAN-PERUNDINGAN MENJELANG HOGE VELUWE (BAGIAN 1)

Suasana memanas. Pendaratan tentara Sekutu dicurigai membawa pasukan-pasukan NICA Belanda, sehingga mengakibatkan pertempuran antara lain di Semarang dan Surabaya. Akhirnya pertemuan Indonesia-Belanda diselenggarakan di Jakarta bertempat di paviliun kediaman Letnan Jenderal Christison, tanggal 23 Oktober 1945.

Semula, Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Indonesia. Karena paksaan Inggris, serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja perundingan. Di sini mulai tampak peranan diplomasi perjuangan Indonesia.

Dr. H.J. Van Mook menyatakan :
"In de wereld van die dagen had nu eenmaal de sensationele stichting van de republiek een groot aantal reacties te hare gunste opgewekt.. Daarom heb ik ook toen geemeend zulk een eerste contact niet te moeten weigeren" (...pada waktu itu pembentukan republik yang begitu sensasional telah menimbulkan berbagai reaksi dukungan dunia. Atas alasan ini maka saya berpendapat bahwa kontak pertama dengan pihak republik tidak dapat diabaikan).

Ini merupakan kemenangan pertama bagi diplomasi perjuangan Indonesia. Pertemuan tersebut di atas merupakan penjajakan informal (tidak resmi) terhadap posisi masing-masing. Perlu diingat pada saat itu masing-masing negara mengajukan posisi secara maksimal.

Presiden Soekarno hadir pada pembukaan pertemuan. Di Negeri Belanda hal ini menimbulkan berbagai kecaman terhadap Van Mook. Sementara itu kecaman di dalam negeri muncul pula karena pertemuan pertama itu berlangsung secara akrab sehingga kalangan "Persatoen Perdjoeangan" menuduh sebagai pertemuan antek Belanda. Menurut Van Mook pertemuan pertama itu diliputi suasana "sfeer van gemoedelijkheid en oude relatie" (suasana akrab antar sahabat lama).

Sebagai penengah, dipandang dari posisi Letnan Jenderal Christison, manuver diplomasi Inggris dapat disamakan dengan diplomasi modern confidence building measures. Suasana akrab dan bersahabat ini dapat dipertahankan oleh Soetan Sjahrir dan Van Mook sampai akhir perundingan Hoge Veluwe. Kendati berada ditengah hangatnya konflik senjata serta kecaman di kubu Indonesia dan Belanda.

Pertemuan pertama yang berlangsung akrab ini, tetap tidak menjembati posisi delegasi Indonesia yang menginginkan pengakuan secara penuh, yang meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda, sesuai pidato Ratu Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (hak penentuan nasib sendiri Indonesia, tetapi tetap dalam lingkungan Gemeenebest Kerajaan Belanda), sesuai posisi yang ditawarkan Belanda.

Antara perundingan pertama dan kedua yang berlangsung di Jakarta tanggal 10 Februari 1946, terjadi berbagai gejolak yang meningkatkan suhu konflik bersenjata, sehingga pemerintahan terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta.

Terjadi konflik politis di dalam kubu Indonesia dan Belanda yang pada hakikatnya tepat memberikan peranan di meja perundingan melalui diplomasi Soetan Sjahrir dan Van Mook. Peranan Inggris sebagai penengah diserahkan kepada diplomat profesional, Sir Archibald Clark Kerr, Duta Besar Inggris di Moskow. Kehadiran diplomat profesional Inggris itu merupakan hasil persetujuan Inggris-Belanda di Chequers (peristirahatan PM Inggris Attlee), tanggal 25 Desember 1945, sebagai upaya mengatasi deadlock pada pertemuan pertama.

Kelanjutan perundingan Indonesia-Belanda serta peranan penengah Inggris, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tekanan dari Partai Buruh Inggris yang sedang berkuasa dan pihak Amerika Serikat turut berpengaruh. Tampilnya diplomat profesional Inggris sebagai penengah kemungkinan besar karena pihak militer Inggris selaku pemrakarsa perundingan terpengaruh suara-suara negatif, sebagai akibat terbunuhnya Brigadi Mallaby. Seperti diketahui, Mallaby (Jenderal Inggris) terbunuh dalam pertempuran Surabaya. Hingga kini tidak diketahui siapa pembunuh Jenderal Mallaby.

Perundingan kedua berlangsung secara informal dan akrab. Dalam rangka confidence building measures peranan utamt masih tetap dilakukan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Van Mook. Van Mook telah melakukan konsultasi ke Den Haag dan kembali membawa usul-usul kompromi baru.

Usul kompromi Belanda pada intinya adalah masih mempertahankan konsep Gemeenebest, namun di atas persamaan kedudukasn dan penentuan nasib sendiri, setelah masa transisi sepuluh tahun. Diusulkan pula tata cara konsultasi dan arbitrasi penentuan hubungan selanjutnya antara Indonesia-Belanda. Untuk mengatasi kecurigaan pihak Republik Indonesia, Belanda dalam penjelasan tambahan tanggal 22 Februari 1946 menawarkan konsep federasi. Delegasi Indonesia tidak menerima begitu saja, tetapi berjanji akan mempelajari usul-usul tersebut setelah konsultasi dengan Pemerintah Republik Indonesia, KNIP.

. . . bersambung

MANUVER DIPLOMASI INDONESIA, BELANDA DAN INGGRIS MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE

Situasi dan kondisi pada masa menjelang perundingan Hoge Veluwe, Indonesia, Belanda dan Inggris saling bertentangan. Selain itu, kecurigaan intern yang tertanam di kubu pejuang Indonesia dan di dalam kubu Belanda, menjadi kendala yang sering kali menghambat manuver diplomasi. Ini sangat mempengaruhi efektivitas diplomasi dalam menyelesaikan persengketaan secara tepat, tuntas dan cepat.

Meskipun perbedaan selalu timbul, terdapat persamaan pendapat khususnya pihak-pihak yang memilih prioritas melaui jalur diplomasi, baik Indonesia, Belanda dan Inggris. Mereka berupaya agar dapat segera melakukan penyelesaian secara diplomasi untuk menghindari pertumpahan darah yang berkepanjangan dan menelan korban nyawa serta materi.

Terjadi a race against time (berlomba dengan waktu) karena unsur-unsur dari kedua pihak mengecam cara-cara diplomasi. Mereka beranggapan jalur diplomasi sebagai pengkhianatan belaka. Setiap konsesi dan kompromi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara memuaskan, akan dijadikan senjata untuk membuktikan kesalahan penyelesaian melalui diplomasi. Ini memperkuat keinginan untuk menyelesaikan persengketaan di medan perang.

Pada posisi seperti terungkap di atas, para diplomat Indonesia dan Belanda sibuk menguras otak dan ketrampilan bersilat lidah berhadapan di meja perundingan, serta harus gigih menghadapi pihak yang menentang jalur diplomasi di negara masing-masing.

Diplomasi Inggris saat itu harus diakui sebagai faktor penekan yang efektif. Inggris memaksa kedua pihak yang bersengketa untuk selalui kembali ke meja perundingan, walau berulang kali mengalami jalan buntu. Ditinjau dari kepentingan strategi dan manuver diplomasi perjuangan Republik Indonesia, tekanan Inggris sangat menguntungkan. Antara lain, untuk mempercepat posisi Indonesia segera memperoleh pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Republik Indonesia. Selain itu untuk memenangkan waktu dalam melakukan konsolidasi kekuatan di dalam negeri (angkatan perang, aparatur pemerintah, dan lain-lain).

Peranan Inggris sebagai penengah, langsung atau tidak langsung merupakan faktor pendukung yang positif dalam diplomasi perjuangan Indonesia. Di dalam bukunya Van Mook menulis :

". . . Voorts bleek duidelijk, dat de Britten alles wilden vermijden hetgeen hen in strijd zou kunnen brengen met de republikeinen. . . " (jelas bahwa pihak Inggris ingin menghindari permusuhan dengan pihak pejuang Republik Indonesia).

MOTIVASI DIPLOMASI INGGRIS

Berlainan dengan Indonesia-Belanda, diplomasi Inggris harus mengharapi front dari dalam dan luar. Baik dari kalangan politisi Inggris, khususnya partai buruh yang sedang berkuasa, maupun kalangan angkatan bersenjata yang bertugas di Indonesia. Jawa yang ingin secepatnya keluar dari jeratan tugas mengembalikan tawanan perang Sekutu dan tentera Jepanga dari kantong-kantong Jawa.

Untuk ini diperlukan kondisi mantap. Inggris juga melihat kenyataan secara de facto pemerintah Indonesia telah berkuasa. Kendati mendapat tentangan keras dari Belanda, namun prakarsa pertama diplomasi Inggris sebagai penengah adalah mempertemukan kedua pihak di meja perundingan. Ini merupakan gagasan dari kalangan Angkatan Bersenjata Inggris yang diprakarsai Letnan Jenderal Christison. Hal ini menarik Indonesia dan Belanda, karena angkatan bersenjata masing-masing kurang mendukung penyelesaian persengketaan melalui jalur diplomasi.

Pada tahap selanjutnya hingga masa perundingan Hoge Veluwe, dan setelahnya prakarsa Letnan Jenderal Christison kemudian dilanjutkan para diplomat profesional Inggris seperti, Archibald Clark Kerr (kemudian bergelar Lord Inverchapel).

Secara garis besar dapat diuraikan motivasi diplomasi Inggris yang bersedia menjadi penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari pertemuan pertama pada 23 Oktober 1945 di Jakarta hingga penandatanganan Perjanjian Linggajati tanggal 25 Maret 1947, adalah sebagai berikut :
  1. Tidak menghendaki adanya pergolakan di wilayah Asia karena akan mempengaruhi wilayah dan sekitarnya.
  2. Pergolakan yang berlarut-larut akan mengundang turut campurnya tangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu anggota permanennya Uni Soviet yang berambisi menanamkan pengaruh di Asia Tenggara
Selain itu, Partai Buruh Inggris sangat menaruh simpati pada perjuangan Republik Indonesia.

Sunday, March 26, 2017

MOTIVASI DIPLOMASI BELANDA MENGEMBALIKAN HINDIA-BELANDA DALAM BENTUK BARU

Motivasi diplomasi Belanda dengan tujuan mengembalikan Hindia-Belanda dalam bentuk baru, sesuai dengan situasi dan kondisi dekolonisasi yang berlangsung setelah Perang Dunia II, adalah berdasarkan pidato Ratu Belanda Wilhelmina tanggal 6 Desember 1942 (ada yang menyebutkan 7 Desember 1942 sesuai dengan nama Divisi Belanda yang dikirim ke Indonesia), demikian pula pernyataan pemerintah Belanda tertanggal 6 November 1945 menjabarkan dengan dasar pidato Ratu Wilhelmina tersebut.

Konsepsi perundingan yang kemudian diajukan Belanda tanggal 10 Februari 1946 pada hakikatnya merupakan ulangan dari yang pernah dinyatakan  tanggal 7 Desember 1942 dan 6 November 1945, baik oleh Ratu Wilhelmina maupun pemerintah Belanda.

Secara garis besar isi ketiga dokumen penting yang memberi motivasi Belanda yang mungkin merupakan perjuangan mereka pula, adalah sebagai berikut :
  1. Indonesia akan dijadikan negara Gemeenebest (anggota persemakmuran) berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri (self government) di dalam lingkungan Kerajaan Belanda (termasuk Suriname dan Curacao).
  2. Masalah dalam negeri diurus oleh Indoensia sedang urusan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda.
  3. Sebelum membentuk Gemeenebest akan diadakan suatu pemerintah peralihan selama 10 tahun.
  4. Indonesia akan dijadikan anggota PBB.
Apabila Indonesia memiliki tokoh trio selaku pelaksana utama diplomasi perjuangan (Soekarno-Hatta-Sjahrir), maka Belanda di dalam pelaksanaan diplomasi (terutama menjelang perundingan Hoge Veluwe), Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dr.H.J. Van Mook adalah satu-satunya yang tampak menonjol, sehingga terkesan sebagai one man show. Hal ini menimbulkan berbagai kecaman di negeri Belanda, terutama dari golongan ekstremis kolonialis Belanda yang tergabung dalam Indie in Nood (Hindia-Belanda dalam malapetaka).

Seperti yang terjadi di Indonesia, masyarakat di Belanda yang mendukung cara Dr. H.J. Van Mook melalui penyelesaian diplomasi harus menghadapi dua front.

Front pertama, pihak Republik Indonesia dengan jalur diplomasi. Termasuk bekas negara Sekutu yakni Amerika Serikat, dan Inggris yang harus diyakinkan terhadap niat Belanda menyesuaikan diri dengan dekolonisasi setelah Perang Dunia II.

Front kedua, di pihak Belanda selain dari golongan kolonialis juga golongan gereja.Terutama partai Katholik dan pihak militer yang menganggap penyelesaian melalui pertempuran bersenjata jauh lebih efektif. Lebih jauh karena angkatan perang Indonesia masih usia muda dan belum dapat melakukan konsolidasi. Mereka menilai pendekatan diplomasi sangat lamban, kompromisits dan merendahkan martabat bangsa Belanda. Khususnya menghadapi Republik Indonesia "buatan" Jepang yang berada di bawah kekuasaan kaum ekstrimis fanatik yang tidak dapat berpikir secara rasional.

Situasi di Belanda mencapai puncaknya ketika berlangsung kampanye pers secara besar-besaran mendiskreditkan Van Mook. Dia hampir dipecat. Alasan bahwa golongan moderat di Indonesia Soekarno-Hatta-Sjahrir adalah kelompok yang masih dapat diajak berunding atau berdiplomasi, ditolak. Melalui intervensi pribadi Ratu Wilhelmina maka keadaan pun dapat diatasi. Ratu berpendapat tidak selayaknya mengganti seorang panglima yang tengah bertugas di medan perang. Demikian ungkapan mantan Menteri Luar Negeri, Ide Anak Agung Gde Agung.

Khusus pada masa perundingan Indonesia-Belanda menjelang Hoge Veluwe, sebagian besar manuver diplomasi Belanda merupakan prakarsa Van Mook. Dia melakukan konsultasi yang erat dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir dengan dukungan Soekarno-Hatta. Selain itu Inggris memberikan tekanan secara terus menerus.

Prakarsa Van Mook dan Soetan Sjahrir melalui Hoge Veluwe gagal. Kegagalan itu membawa dampak negatif bagi kedua tokoh tersebut serta memperkuat keyakinan para penentang diplomasi di Belanda maupun Indonesia, bahwa penyelesaian melalui jalur diplomasi hanya membuang waktu.

Kedua tokoh pelaku diplomasi Indonesia dan Belanda ini patut dicatat sebagai diplomat yang berpenampilan tenang dan tegar di dalam menjalankan misi masing-masing negara. Kendati menghadapi tantangan dari dalam maupun luar yang berat, mereka tetap bertahan.

Hubungan Van Mook dengan Perdana Menteri Soetan Sjahrir sangat menarik. Seolah-olah terjadi hubungan pribadi yang akrab, sehingga selama perundingan diplomasi berlangsung mampu mampu menjembatani perbedaan antara delegasi Indonesia dan Belanda. Baik pada masa menjelang perundingan Hoge Veluwe maupun setelahnya.

Di dalam buku "Indonesie, Nederland en de Wereld" Van Mook menyatakan sejak pertemuan pertama dengan Soetan Sjahrir, dia secara pribadi telah tertarik dan menilai Soetan Sjahrir seorang yang memiliki "krachtige en aantrekkelijke persoonlijkheid" (berkepribadian kuat dan menarik).

Apakah Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga memiliki penilaian yang sama terhadap Van Mook, hingga hari ini tidak pernah terungkap. Namun yang jelas, hubungan pribadi kedua tokoh diplomasi ini langsung atau tidak telah mampu mengatasi berbagai jalan buntu selama perundingan.

PERMULAAN DIPLOMASI MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . lanjutan

Selain itu ABRI berhasil menegakkan kewibawaan negara terhadap berbagai pergolakan di daerah, percobaan kudeta dan pemberontakkan. ABRI telah memprakarsai dan mendorong pembangunan berencana serta memberi dukungan penuh dalam meletakkan landasan yang kukuh bagi bangsa Indonesia memasuki tahap tinggal landas.
Apabila hal ini dikaitkan dengan amanat Jenderal Urip Sumohardjo pada saat pelantikannya, "tentara kami adalah 70 juta (seluruh) rakyat Indonesia", maka prioritas diplomasi pada perang kemerdekaan itu adalah diplomasi perjuangan. Suatu sifat diplomasi Indonesia yang beberapa puluh tahun kemudian dirumuskan secara lebih terperinci oleh Presiden Soeharto, tanggal 12 September 1978.

Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Veluwe muncul berbagai dilema. Suatu dilema yang harus dihadapi para diplomat Indonesia maupun Belanda adalah tekanan langsung dan tidak langsung dari kaum politisi di negeri masing-masing. Tekanan itu datang dari golongan pendukung perundingan dan golongan yang ingin menuntaskan penyelesaian secepatnya di medan pertempuran.

Inggris selaku penengah di dalam perundingan antara Indonesia-Belanda tidak luput dari dilema. Inggris yang turut terlibat dalam persengketaan kedua negara itu menyimpan keinginan mendukung Belanda. Karena Belanda adalah teman seiring dalam Blok Negara Sekutu Perang Dunia II. Namun di lain pihak Inggris ingin segera keluar dari jeratan persengketaan serta secepatnya mengupayakan proses perundingan Indonesia-Belanda agar berhasil.

Faktor penting yang turut mempengaruhi adalah proses dekolonialisasi yang sedang melanda jajahan Inggris pada saat itu, yakni India dan Burma. Pada waktu itu Inggris tidak mungkin memberikan prioritas untuk melakukan penyelesaian melalui perang senjata karena sebagian besar tentaranya terdiri dari pasukan-pasukan India, dan pasukan ini dalam keadaan lelah berperang. Selain itu didesak oleh para penguasa India untuk segera kembali.

Latar belakang di atas turut berpengaruh terhadap motivasi yang menggerakkan berbagai manuver para diplomat Indonesia, Belanda dan Inggris. Terutama pada saat-saat menjelang perundingan Hoge Veluwe.

Kelompok nasionalis pejuang pendukung taktik dan strategi diplomasi perjuangan yang diprakarsai tokoh trio Soekarno-Hatta-Sjahrir terpaksa harus menghadapi dua front.

Front pertama, adalah Belanda yang masih harus diyakinkan tentang kesanggupan Republik Indonesia menjadi negara yang sungguh-sungguh merdeka. Bukan suatu negara "buatan" Jepang. Diplomasi perjuangan itu berlandaskan isi Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 maupun makna keputusan Badan Pekerja KNIP tanggal 17 Oktober 1945 serta Maklumat Politik Republik Indonesia 1 November 1945.

Pada hakikatnya diplomasi perjuangan, terpaksa menempuh jalan berliku-liku. Dituntut kesabaran yang tinggi untuk mencapai pengakuan eksistensi Republik Indonesia. Tidak saja oleh Belanda tetapi juga oleh masyarakat dunia, terutama yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Front kedua, unsur-unsur revolusioner di dalam negeri yang tergabung dalam Persatoean Perdjoeangan pimpinan Tan Malaka yang ingin lebih tegas menghadapi Belanda. Mereka menguras seluruh ketekunan rasional, kepala dingin dan kesabaran para pendukung diplomasi perjuangan pimpinan Soekarno-Hatta-Sjahrir.

Unsur-unsur dalam negeri tersebut selalu menganggap diplomasi perjuangan yang dilakukan Soekarno-Hatta-Sjahrir sangat lambat dan terlalu kompromistis. Mereka menganggap jalur diplomasi tidak menjamin tercapainya sasaran kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Ucapan bernada keras dari unsur-unsur revolusioner terhadap kelompok pelaku diplomasi perjuangan, hampir memecah persatuan kubu perjuangan Republik Indonesia. Bahkan hampir menggagalkan proses perundingan diplomasi perjuangan yang tengah berlangsung. Ucapan itu sesungguhnya ditujukan kepada Soekarno-Hatta sebagai "kolaborator Jepang" dan kepada Soetan Sjahrir dan kawan-kawan sebagai "antek Belanda"/

Upaya-upaya menggagalkan diplomasi perjuangan juga dilancarkan oleh "front pertama", khususnya Belanda yang ingin memanfaatkan pertentangan antar kelompok pendukung diplomasi perjuangan. Taktik devide et impera dilakukan antara lain dengan memberi nama kelompok "moderat" bagi para pendukung diplomasi perjuangan dan kelompok "ekstrimis" yang bukan pendukung.

Kelompok moderat, menurut Van Mook lebih mudah didekati. Kenyatan ini memberikan bukti bagi para pejuang yang kurang setuju dengan jalur diplomasi perjuangan. Serta memperkuat tuduhan bahwa Soetan Sjahrir dan kawan-kawan adalah antek Belanda yang selalu bersedia memberi konsesi atau secara kasar diungkapkan "menjual bangsa dan negara".

Kontroversi ini tidak hanya berkecamuk di pihak Republik Indonesia, tetapi juga di kubu Belanda.

SELESAI.

PERMULAAN DIPLOMASI MENJELANG PERUNDINGAN HOGE VELUWE (BAGIAN 1)

Menjelang perundingan Hoge Veluwe di Negeri Belanda, dalam rangka melakukan langkah penyeleesaian persengketaan antara Indonesia-Belanda. Maka di Jakarta berlangsung perundingan babak pertama antara pihak Indonesia-Belanda dari tanggal 23 Oktober 1945 hingga 31 Maret 1946. Tatkala itu merupakan saat-saat Indonesia sedang melangkah menanam benih-benih politik luar negeri. Khususnya dalam rangka melaksanakan diplomasi perjuangan, ditengah kancah peperangan.

Dalam rangka menghadapi kolonialisme Belanda, muncul perbedaan pendapat di antara masing-masing kubu di dalam negeri. Kubu yang memilih penyelesaian sengketa dengan Belanda melalui perjuangan bersenjata dan kubu yang memilih penyelesaian melalui jalur diplomasi. Perdebatan perbedaan pendapat antara dua kubu di dalam negeri, ditandai dengan suasana gejolak perjuangan pada masa itu. Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di pihak Belanda. Kala itu konsep strategi perjuangan Indonesia maupun Belanda masih mencari bentuk yang sepadan.

Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Veluwe tercatat proses diplomasi Indonesia-Belanda dengan Inggris yang berperan selaku penengah. Pada saat itu telah berhasil dipersiapkan konsep-konsep yang kemudian dapat dikembangkan di dalam perundingan-perundingan selanjutnya, sehingga mampu menghasilkan kemenangan di dalam diplomasi perjuangan Republik Indonesia. Kemenangan itu tercermin dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh dunia internasional, khususnya oleh Belanda pada akhir tahun 1949.

Pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia itu berkat dukungan kuat dari hasil perjuangan bersenjata rakyat bersama-sama dengan angkatan perang Indonesia, yang ternyata lebih gigih dari angkatan perang Belanda. Akhirnya Belanda terkucil di forum internasional.

Konsep Politik Luar Negeri Republik Indonesia secara ideal dan konstitusional tercantum di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan secara terperinci penjabarannya untuk pertama kali dirumuskan oleh Badan Pekerja Komite Nasional dirumuskan tanggal 17 Oktober 1945. Masalah ini terdesak oleh situasi dan kondisi saat itu, karena konsep perjuangan yang jelas belum pernah dirumuskan. Sejak saat itu perjuangan diplomasi dijadikan prioritas utama.

Latar belakang pertemuan informal pertama Indonesia-Belanda tanggal 23 Oktober 1945, berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk bersedia mengeluarkan pernyataan bersama (komunike) tanggal 25 Oktober 1945. Pernyataan bersama itu menyatakan pentingnya masalah perdamaian yang kekal di kawasan Lautan Teduh. Patut dicatat pula Maklumat Pemerintah tanggal 27 Oktober 1945 menyatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilaksanakan berdasarkan peri kemanusiaan dan Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, dasar yuridis menjadi pegangan Indonesia sejak awal perundingan dengan pihak Belanda.

Keputusan lain yang menjadi dasar konsep politik luar negeri dan diplomasi perjuangan Indonesia, adalah Maklumat (manifes) Politik Republik Indonesia tanggal 1 November 1945. Agar bangsa Indonesia dan dunia internasional dapat memahami sikap pemerintah Indonesia, sehingga tidak terpengaruh oleh propaganda Belanda. Selama ini Belanda selalu menghembuskan berita-berita sumbang, bahwa Republik Indonesia itu adalah ciptaan Jepang dan beraliran komunis. Upaya menepis berita sumbang itu merupakan langkah prioritas utama diplomasi Republik Indonesia.

Perlu diketahui pidato Presiden Soekarno di depan angkatan Pemuda yang memilih jalan penyelesaian melalui kekerasan bersenjata, mendahului Maklumat Politik itu awal September 1945 menekankan bahwa perjuangan diplomasi merupakan syarat utama bagi eksistensi Republik Indonesia di dunia internasional. Namun kegiatan diplomasi tersebut harus didasari kekuataan paksaan, yang tidak saja bersumber pada bangsa Indonesia, antara lain melalui kekuatan bersenjata, namun juga melalui kekuatan opini dunia internasional.

Presiden Soeharto dalam amanatnya pada hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Ke-49 tanggal 5 Oktober 1994, antara lain menjelaskan, bahwa dalam perjuangan mengemban amanat rakyat, ABRI telah melakukan tiga misi besar sejarah. Yakni, dalam perang kemerdekaan bersama rakyat ABRI berhasil memberikan dukungan kekuatan kepada perjuangan diplomasi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

. . . bersambung