Translate

Wednesday, June 10, 2015

PEMBOIKOTAN KAPAL-KAPAL BELANDA

Dengan inisiatif Partai Komunis Australia (ACP) dan pimpinan Komunis dari Serikat Buruh Perairan Australia, para buruh pelabuhan Australia pada 20 September 1945 di seluruh pelabuhan Australia melarang pemuatan ke atas semua kapal Belanda yang berlayar ke Hindia Belanda. WWF juga menjelaskan sifat politis dari tindakan ini.

Sebuah edaran yang dibuat oleh cabang WWF dari ACP yang disebarkan di dermaga Sydnet 24 September 1945 menyatakan bahwa :
"Empat kapal, yaitu Jepara, El Libertador, Generaal Verspijk dan Patras, yang sedang dimuat dengan suplai yang dibawa dari Inggris bagi tentara Belanda yang berperang melawan kemerdekaan rakyat Indonesia serta untuk membawa pemerintahan boneka Hindia Belanda ke Indonesia.. Pemuatan kapal-kapal ini jelas bertentangan dengan cita-cita demokrasi Gerakan Buruh Australia. Membantu Belanda dengan cara apapun berarti membantu ketamakkan imperialisme Belanda melawan demokrasi Indonesia."

Serikat Buruh Perairan Australia yang mempertahankan boikot atas pengapalan Belanda di Australia yang selama sekitar empat tahun merupakan kekuatan domestik utama yang berpengaruh atas bentuk hubungan resmi Australia dengan Indonesia pada masa sesudah perang.

Meskipun dalam masalah pemboikotan kapal-kapal Belanda itu, pemerintah Australia berusaha memberikan kesan seakan-akan tidak memihak, namun pemboikotan yang berkepanjangan atas pemuatan kapal-kapal Belanda ditafsirkan di luar negeri sebagai tanda bahwa pemerintah mendukung kemerdekaan Indonesia.

Pada hakikatnya berita pemboikotan kapal-kapal Belanda tersebut lebih vokal menyampaikan pesan ke seluruh dunia mengenai lahirnya Negara Indonesia Merdeka, dengan kesan yang jauh lebih meyakinkan dan menggemparkan daripada berita proklamsi itu sendiri yang disiarkan dari Jakarta melalui gelombang pendek.

Pemogokkan diprakarsai oleh pelaut-pelaut Indonesia yang meninggalkan enam kapal Belanda di pelabuhan Brisbane pada 24 September 1945. Aksi ini segera diikuti dengan sebuah keputusan WWF cabang Brisbane untuk memboikot keenam kapal tersebut. Pemogokan kemudian diambil alih oleh cabang-cabang WWF di Sydney dan Melbourne. Pada 26 September 1945, Dewan Federal memutuskan pemogokan menyeluruh terhadap semua kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan Australia.

Pemogokan umum terhadap kapal-kapal Belanda itu, di samping mempengaruhi pengangkutan serdadu dan alat perang, juga merusak rencana pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan. Kapal Belanda Van Heutz, yang dijadwalkan mengangkut pemerintah dalam pengasingan pulang ke Indonesia, terhambat oleh aksi pemogokan tersebut. Sama halnya dengan kapal Karsik, yang sudah memuat uang NICA untuk diedarkan di Indonesia. Uang itu akhirnya diangkut oleh kapal Australia, Bungaree, yang mencapai Tanjung Priok baru pada bulan Maret 1946.

Beberapa kapal lain tertahan di pelabuhan-pelabuhan Australia selama hampir enam bulan. Setiap keterlambatan pengangkutan para penguasa belanda dan alat-alat kekuasaannya untuk bercokol kembali di Indonesia sangat menguntungkan Republik. Tenggang waktu ketertundaan itu memberi kesempatan kepada Republik untuk bernafas dan melakukan konsolidasi di bidang politik, ekonomi dan militer.

Monday, June 8, 2015

SUASANA MENJELANG PENDARATAN TENTARA SEKUTU

Pada bulan Februari 1942 Jepang menyerbu Hindia-Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah, dan pada 10 Maret 1942 inti pemerintahan Hindia-Belanda diungsikan ke Australia. Selama Perang Pasifik, Australia bersama kekuatan Sekutu lainnya, mengakui kalau kekuatan penjajahan Eropa kembali memasuki wilayah Asia Tenggara - wilayah tempat mereka diusir oleh orang-orang Jepang - penduduk setempat mungkin akan menolak mereka.

Kegagalan kekuatan metropolitan untuk mempertahankan wilayah kolonial mereka terhadap agresi Jepang, efektifnya propaganda Jepang yang dirancang untuk mengasingkan rakyat jajahan dari penguasa mereka sebelum perang, serta dorongan yang dilakukan pihak Jepang bagi gerakan-gerakan nasional pribumi, merupakan beberapa faktor yang mendasari perhitungan ini.

Proklamasi Republik Indonesia pada mulanya hanya menimbulkan sedikit perhatian di dunia luar. Departemen Luar Negeri Australia mendengar berita tentang proklamasi Republik Indonesia dari siaran radio gelombang pendek yang dipancarkan dari Jakarta tanggal 19 Agustus 1945. Melalui pemantauannya atas siaran radio Indonesia, Australia sadar bahwa hal itu merupakan versi Indonesia tentang perkembangan pasca penyerahan Jepang. Laporan itu masuk ke dinas intelijen South East Asia Command (SEAC) dan kantor resmi Belanda serta Hindia Belanda di Australia.

Sadar bahwa Jepang mendorong gerakan nasionalis Indonesia, Sekutu memperkirakan bahwa Jepang mungkin menciptakan satu pemerintahan boneka. Sejalan dengan hal itu dunia Barat memandang kemunculan Republik Indonesia sebagai puncak kebijakan anti-kolonial Jepang di Hindia Belanda, dan mengakui bahwa kolaborasi Indonesia sebagai gerakan awal yang dengan pengorbanan tertentu dari sebagian kaum nasionalis untuk meningkatkan posisi tawar-menawarnya dalam menghadapi kembalinya Belanda.

Soekarno-Hatta memproklamasikan Republik Indonesia di bawah tekanan kaum nasionalis Indonesia yang revolusioner. Namun, Sekutu hanya memberi perhatian sekilas pada lingkungan di seputar proklamasi Republik Indonesia, yang secara kebetulan bertepatan dengan berakhirnya Perang Dunia.

Karena Jepang menyerah begitu cepat, kemungkinan Sekutu untuk menilai kredibilitas serta dukungan umum bagi Republik Indonesia terbatas sekali. Jepang masih menduduki Hindia Belanda, dan Sekutu tidak dapat segera masuk kembali menduduki wilayah-wilayah tersebut. Hindia Belanda secara efektif baru dipindahkan dari komando South West Pacific Area (SWPA) Mac Arthur kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Mountbatten pada 15 Agustus 1945. Rencana pengiriman pasukan pendarat ke Pulau Jawa harus ditunda sampai penyerahan resmi Jepang pada 2 September 1945.

Akibatnya, baru pada 8 September 1945 misi pendahulu Sekutu melakukan pendaratan (terjun payung) di Jakarta, diikuti misi Sekutu yang tiba dengan kapal pada 15 September 1945.

Akhirnya, pasukan SEAC (satu batalyon India) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison memasuki Jawa 29 September 1945. Maka baru pada pertengahan September 1945 Sekutu mempunyai sumber informasi langsung tentang Republik Indonesia.

Laporan-laporan dari Jakarta segera menekankan bahwa situasi yang berlangsung sangat tidak cocok dengan yang diperhitungkan dalam rencana-rencana SEAC dan Belanda. Meskipun pihak Sekutu telah menginstruksikan orang-orang Jepang di Hindia Belanda untuk mempertahankan tanggung jawab hukum dan ketertiban sampai Sekutu tiba, tapi banyak persenjataan telah beralih ke tangan Indonesia. Pemerintah Jepang secara efektif telah digantikan oleh pemerintah Republik yang telah menangani semua sarana umum. Dukungan rakyat terhadap gerakan nasionalis dan pemerintah Republik lebih kuat dari yang diperkirakan, dan juga kecenderungan kaum nasionalis untuk bertahan dengan kekerasan terhadap upaya pembentukan kembali kekuasaan Belanda.

Dalam menanggapi situasi di Pulau Jawa, SEAC segera mengubah kebijakannya untuk menduduki kembali Hindia Belanda. Mulanya, pemerintah Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 1945 menandatangani Civil Affairs Agreement yang dirancang dengan tujuan pendudukan kembali SEAC di Sumatera. Kemudian pada 4 September (setelah pemindahan sepenuhnya Hindia Belanda ke SEAC), Mountbatten dan Van Mook sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip perjanjian itu terhadap seluruh Hindia Belanda.

Namun, adanya sifat politis yang semu dari perjanjian tersebut, membuat Mountbatten meminta tuntutan dari Kepala Staf Inggris mengenai kebijakan terhadap Republik Indonesia. Dengan hanya diberi instruksi untuk tidak mengambil tindakan yang mengandung pengakuan terhadap Republik Indonesia, pada 28 September 1945 ia membatasi kewajiban SEAC hanya dengan persoalan-persoalan yang berguna langsung bagi militer. Selain itu ia membatasi operasi-operasi SEAC di Jawa pada wilayah-wilayah kunci di Jakarta dan Surabaya. Kalau wilayah-wilayah ini aman, SEAC akan melepaskan tanggung jawab kepada pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) yang akan bertanggung jawab bagi pembentukan ke,bali pemerintah sipil. Semuanya ini terjadi tanpa Australia segera memberi perhatian besar.

Sunday, June 7, 2015

KONTAK DENGAN AUSTRALIA

Walaupun Australia bukan negara Asia, namun lokasi geografisnya dekat dengan Indonesia dan peranan yang dilakukan pada masa dan sesudah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia membuat negara itu sebagai tetangga yang sangat penting di mata Indonesia. Laut Timor yang tidak terlalu luas memisahkan benua Australia dari Pulau Timor. Sedangkan jarak dari Kupang (ibukota Nusa Tenggara Timur) hanya beberapa jam terbang dari kota Australia terdekat, Darwin.

Seperti yang dapat dibuktikan dari Undang-Undang Imigrasinya, Australia adalah negara berpenduduk kulit putih dan sangat gigih mempertahankan posisi itu, satu dari tonggak penting politik luar negeri Australia. Negara itu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan pendatang berkulit berwarna dari Asia ke benua itu. Seperti yang digambarkan oleh seorang senator Partai Liberal pada bulan Maret 1949, bahwa kehadiran Belanda di Indonesia adalah "orang kulit putih diharapkan berdiri di antara kita dengan ratusan juta orang kulit berwarna di sebelah utara kita."

Namun Australia tidak menutup mata terhadap perkembangan politik di negara-negara Asia yang menjadi tetangganya, terutama Indonesia yang dianggap sebagai tetangga terbesar dan terdekat. Pemerintah Buruh Asia (ALP) yang berkuasa setelah perang di bawah pimpinan Perdana Menteri J.B. Chifley, dengan H.V. Evatt sebagai Menteri Luar Negeri, sungguh menyadari perubahan konstelasi politik di masa pasca Perang Dunia II di Asia tempat gelombang nasionalisme, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme sedang memuncak dan dengan segala kekuatan menolak kembalinya penjajahan dalam bentuk apapun.

Perkembangan di Indonesia yang begitu dekat dengan tapal batas Australia tidak mungkin tidak mempengaruhi Australia terutama kalangan pemerintah yang bertanggung jawab di sana, sehingga mereka mulai meyakini kesungguhan gerakan nasionalis untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tetapi intervensi dari pihak pemerintah Australia untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mencegah kembalinya penjajahan Belanda, menyusul kemudian dan terjadi melalui dua peristiwa sebagai berikut :

Pertama, peristiwa dalam negeri : Pada 24 September 1945, hanya lima minggu sesudah proklamasi dan beberapa hari sebelum tentara Inggriis mendarat di Indonesia, cabang Brisbane dari Waterside Worker's Federation (WWF) mengambil prakarsa dengan mengumumkan pemboikotan terhadap kapal-kapal yang memuat semjata untuk dibawa ke Indonesia. Keputusan itu berpengaruh dan mengejutkan, menarik perhatian tidak saja terhadap masalah yang bersangkutan, tetapi terhadap pentingnya tindakan politik kaum buruh pelabuhan Australia.

Pemerintah Chifley dam Dewan Serikat Buruh (Council of Trade Union) Australia tidak mendukung pemboikotan tersebut, tetapi peristiwa itu menarik perhatian umum terhadap kepentingan gerakan nasionalis Indonesia. Dalam suasana semangat yang bergelora, penuh harapan dan demokratis, terutama di kalangan pendukung Partai Buruh, ternyata tindakan buruh pelabuhan tersebut sangat menyulitkan pemerintah ALP (Australian Labour Party) untuk menentang kaum nasionalis atas nama penjajah Belanda.

Kedua, ketika pemerintah Belanda melancarkan serangan militer pertamanya bulan Juli 1947, pemerintah Australia secara nyata mengambil posisi memihak pemerintah nasionalis Indonesia, dan bersama India membawa sengketa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejak hari itu, pemerintah Australia berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda dan secara sungguh-sungguh berdiri di belakang pemerintah Indonesia menentang Belanda. Hal itu dapat disaksikan dari sikap anggota Australia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.

Dengan menjalankan kebijakan tersebut pemerintah Chifley berhasil menanamkan rasa persahabatan yang mendalam di kalangan rakyat Indonesia. Demikian eratnya rasa persahabatan itu, sehingga seorang Menteri Luar Negeri Indonesia menggambarkan Menteri Luar Negeri H.V. Evatt sebagai "bidan kemerdekaan Indonesia".

Sebagai akibat dukungan Australia terhadap perjuangan Indonesia, prestisenya melambung tinggi di kalangan negara-negara baru merdeka di Asia. Pendapat umum pada waktu itu ialah bahwa Australia tidak merupakan perpanjangan dari Whitehall (pemerintah Inggris) tetapi sebaliknya dikatakan bahwa Australia telah menjalankan politik luar negeri yang bebas sesuai kepentingannya sendiri dengan memihak kepada gerakan kemerdekaan dan memahami aspirasi nasional bekas jajahan Barat di Asia.

Sebagai bukti rasa hormat terhadap Australia yang tertanam dalam pandangan pemimpin-pemimpin Asia, Australia diundang oleh Perdana Menteri Nehru untuk menghadiri Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi bulan Januari 1949, yang khusus menanggapi Aksi Militer Kedua Belanda di Indonesia dengan tujuan untuk membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mencapai penyelesaian masalah Indonesia-Belanda.

Saturday, June 6, 2015

KONTAK DENGAN NEGARA-NEGARA TIMUR TENGAH

Hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah terutama negara Arab telah terjalin sejak lama ketika agama Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Ka'bah yang menjadi kiblat umat Islam melakukan sembahyang, terletak di Arab Saudi. Setiap tahun pada musim haji, ratusan bahkan ribuan umat Islam Indonesia yang mampu, menziarahi tanah suci memenuhi panggilan Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima.

Selain itu, Mesir pusat Perguruan Tinggi Al Azhar yang sudah berumur seribu tahun lebih merupakan pusat tumpuan ratusan mahasiswa Indonesia yang datang merantau untuk memperdalam ajaran agama Islam sejak jaman dahulu. Hubungan kebudayaan yang ditempa di perguruan tinggi itu berurat-akar serta berkembang dari pelosok ke pelosok Indonesia melalui lulusan perguruan tinggi itu, setelah mereka kembali ke tanah air dan terjun dalam upaya menyebarkan ilmu-ilmu keislaman.

Hubungan yang terbina melalui agama tersebut tertanam sangat mendalam di dalam hati sanubari penganut agama Islam secara timbal balik. Indonesia yang di masa lalu dikenal sebagai Syarqul Hind (Hindia Timur) adalah negara penganut Islam terbesar di dunia dan menduduki tempat yang penting di kalangan negara-negara Arab lain. Begitu pula di samping Mekkah dan Kairo, nama Baghdad, Aden, Damaskus, Beirut dan lain-lainnya tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia.

Sejak masa penjajahan, mahasiswa Indonesia telah mulai berdatangan ke Mesir dan jamaah haji Indonesia dalam jumlah yang tidak kecil telah membanjiri tanah suci. Di antara mahasiswa itu terdapat patriot-patriot Indonesia yang mencita-citakan Indonesia merdeka. Mereka ternyata merupakan pelopor perjuangan yang mulai menanamkan bibit kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang disiarkan dalam berbagai media massa negara-negara Arab.
Pangeran Abdullah bin Muhsin dari Hadramaut menemui Menteri Penerangan Republik Indonesia Moh. Natsir di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, pada tanggal 12 Agustus 1948.
Burhanudin Ubani menulis :
"Perjuangan kemerdekaan putera-putera Indonesia di luar negeri, sudah lama dilakukan sebelum proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Mula-mula di Timur Tengah, kemudian menyusul Negeri Belanda, India dan negara-negara lainnya."

"Dalam soal mendapatkan dukungan dan pengakuan negara-negara Arab terhadap Republik", tulis Aboe Bakar Loebis, "perlu disebut di sini peran yang dimainkan oleh dan bantuan sangat besar yang diberikan oleh Azzam Pasha, pendiri dan Sekretaris Jenderal Pertama Liga Arab. Ialah yang membuka jalan bagi Republik Indonesia di negara-negara Arab."

Untuk menyampaikan pengakuan Liga Arab kepada Republik Indonesia, Konsul Jenderal Mesir di Bombay, Mohammad Abdul Moun'im diutus ke ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, dengan pesawat charter dan sekembalinya dalam pesawat yang sama sampai ke Singapura, ikut pula rombongan Republik Indonesia yang terdiri dari H. Agus Salim, Menteri Muda Luar Negeri; Baswedan. Menteri Muda Penerangan dalam kabinet Soetan Sjahrir, di samping Nazir Datuk Pamontjak SH.

Rombongan tersebut menggabungkan diri dengan delegasi Indonesia yang datang ke India untuk menghadiri konferensi Inter Asian Relations. Setelah selesai, rombongan tersebut melanjutkan misinya ke Timur Tengah. Negara-negara Liga Arab, berkat hasil positif dari diplomasi yang dijalankan H. Agus Salim, telah mengakui Republik Indonesia.

Menurut Moh. Roem :
"Dalam perlawatannya ke Timur Tengah, H. Agus Salim sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Soetan Sjahrir memang secara gencar memperkenalkan Republik baru itu di luar negeri. Ketika ada penggantian Kabinet Soetan Sjahrir ke Kabinet Sjariffuddin, dari Timur Tengah H. Agus Salim tidak kembali ke tanah air, namun meneruskan misinya ke berbagai negara dalam kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri."

Dari Kairo, H. Agus Salim meneruskan misinya ke Suriah, Transyordania, Irak, Lebanon dengan hasil yang gemilang. Dia tidak dapat mengikuti misinya ke Arab Saudi dan Yaman, karena sebagai Menteri Luar Negeri yang baru, harus berangkat ke New York bersama Soetan Sjahrir untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesudah Belanda melancarkan agresi militer pertama. Misinya itu dilanjutkan oleh Haji Rasyidi cs.

Saat itu, Soetan Sjahrir yang telah berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda pada permulaan agresi Belanda dalam perjalanannya ke New York telah sampai di Kairo pada 5 Agustus 1947. Disusul kemudian oleh Mohammad Hatta bersama isteri dan juga singgah di Kairo setelah selesai menghadiri Konferensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Banyaknya delegasi atau tokoh-tokoh Republik Indonesia yang berdatangan di Mesir adalah untuk menyatakan penghargaan dan terima kasih Indonesia terhadap besarnya dukungan negara-negara Arab yang dipelopori oleh Mesir kepada perjuangan rakyat Indonesia.
Sebelum kunjungan H. Agus Salim, Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta, utusan Republik Indonesia pertama yang mengunjungu Mesir adalah delegasi Suwandi yang singgah di Kairo pada 7 April 1946 dalam perjalanannya ke negeri Belanda untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Belanda (Hoge Veluwe). Delegasi itu terdiri dari Suwandi, Menteri Kehakiman sebagai Ketua; Dr. Sudarsono, Menteri Dalam Negeri sebagai anggota dan Abdul Karim Pringgodogdo, Sekretaris Kabinet sebagai Sekretaris.

Karena kedatangan delegasi Suwandi secara tiba-tiba dan untuk semalam saja, maka mereka belum sempat mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat Mesir. Tapi dalam perjalanan pulang delegasi Suwandi singgah lagi di Kairo pada 26 April 1946. Acara pertemuan dengan pembesar-pembesar Mesir telah diatur, tetapi tidak dapat dilaksanakan semuanya, karena delegasi hanya sehari di ibukota Mesir itu dan secara bersamaan bertepatan dengan hari besar.

Sungguhpun demikian telah dapat ditemui pelaksana-pelaksana politik luar negeri Mesir dan Arab di rumah mereka masing-masing seperti Menteri Luar Negeri Mesir, Sekretaris Jenderal Liga Arab dan pemimpin rakyat Mustafa Nahas Pasha pemimpin partai Al Wafd yang berpengaruh. Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdurrahman Azzam Pasha menyampaikan undangan makan siang, dalam kesempatan itu Suwandi menyampaikan terima kasih Indonesia atas keputusan Liga Arab 8 April 1946 yang mendukung kemerdekaan Indonesia dengan harapan agar Liga meningkatkan dukungannya sampai tercapai kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.

Sebelum berangkat meninggalkan Kairo, delegasi minta supaya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bangsa Mesir khususnya dan bangsa Arab umumnya terhadap dukungan yang diberikan kepada perjuangan Indonesia. Pesan itu disampaikan melalui pers setempat. Disampaikan pula surat khusus kepada Sidki Pasha, Perdana Menteri Mesir yang baru, karena tidak sempat menemuinya.

Keberhasilan misi Suwandi maupun misi H. Agus Salim dan kunjungan Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta tersebut adalah berkat kerja keras dan usaha yang tak kenal lelah dari pejuang-pejuang Indonesia yang telah terlebih dahulu dirintis oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Kairo, Baghdad dan negara-negara Arab lainnya di antaranya Zein Hassan di Mesir dan Imron Rosyadi di Irak.

KONFERENSI ASIA UNTUK INDONESIA (. . . BAGIAN 2)

. . . lanjutan dari bagian 1

Pada hari kedua, konferensi sudah menyepakati suatu resolusi untuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang antara lain menyebut :

Aksi Militer Belanda pada 9 Desember 1948 di Indonesia jelas merupakan suatu agresi militer yang berusaha membangkitkan kembali kekuasaan kolonialisme yang seluruhnya bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jika hal itu dibiarkan berlanjut, perdamaian di Asia Tenggara, Asia dan seluruh dunia pasti akan terganggu. Oleh sebab itu Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi menuntut : 
  1. Semua pemimpin Republik Indonesia dan tahanan-tahanan politik lainnya harus segera dibebaskan.
  2. Pemerintah Republik Indonesia harus diberi kesempatan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan. Untuk itu : (a) Yogyakarta harus segera dikembalikan kepada Republik Indonesia. Kepadanya harus diberikan alat-alat komunikasi. Belanda tidak boleh menghalangi, menghambat dan mengganggu pengembalian itu. (b) Semua daerah yang pada 18 Desember 1948 merupakan wilayah kekuasaan Republik Indonesia harus dikembalikan sebelum tanggal 15 Maret 1949. (c) Penarikan pasukan-pasukan Belanda dari wilayah tersebut harus segera dilaksanakan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara atau badan lain yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan. (d) Pembatasan-pembatasan yang dilakukan Belanda terhadap perdagangan dan pelayaran Republikk Indonesia harus diberhentikan/
  3. Pembentukan Pemerintahan Peralihan Indonesia Serikat harus diketahui dan didukung Komisi Tiga Negara atau badan lain yang ditunjuk Dewan Keamanan, dan harus dilaksanakan sebelum tanggal 15 Maret 1949.
  4. Pemerintah itu harus mempunyai kekuasaan penuh atas angkatan bersenjata dan urusan dalam negeri. Oleh sebab itu tentara Belanda yang ada di Indonesia harus segera ditarik kembali untuk selanjutnya diangkut kembali ke negeri asal di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara atau badan yang ditunjuk Dewan Keamanan.
  5. Hubungan Pemerintah Peralihan Indonesia Serikat dengan luar negeri akan dirundingkan dengan Komisi Tiga Negara atau badan lain dari pihak Belanda.
  6. Pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Serikat sudah diadakan sebelum tanggal 1 Oktober 1949.
  7. Penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat dilakukan sebelum 1 Januari 1950.
  8. Tentang hubungan Belanda-Indonesia selanjutnya diserahkan pada pihak-pihak yang bersangkutan.
  9. Komisi Tiga Negara atau badan lain yang ditunjuk Dewan Keamanan harus mempunyai wewenang mengawasi pelaksanaan ketentuan tersebut di atas sampai seluruhnya terlaksana dengan baik. Jika telah ditetapkan, Komisi Tiga Negara atau badan lain yang ditunjuk Dewan Keamanan harus dapat mengambil tindakan yang tegas berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebagai penutup Konferensi Asia untuk Indonesia meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan memberi pertanggung-jawaban pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 14 April 1949.

Tidak dapat disangkal, bahwa Konferensi Asia kedua untuk Indonesia telah makin menumbuhkan kesadaran terhadap keharusan untuk mengadakan kerja sama yang lebih erat antar sesama bangsa Asia. Kejadian di Indonesia telah membuktikan bahwa kolonialisme belum mati.

Juga disadari, bahwa kolonialis, sekalipun telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada bangsa Asia sendiri, belum tentu berarti benar-benar menghapuskan sifat-sifat kolonialnya. Karena itu besar kemungkinan kolonialisme akan timbul kembali pada bidang lain yang dapat menjadikan bangsa Asia selalu terikat dan tergantung pada mereka. Itulah sebabnya semua negara menyetujui pendapat Nehru, bahwa seharusnya negara-negara Asia menggalang kerja sama yang lebih erat satu sama lain demi perdamaian di Asia dan dunia.

Beberapa utusan mengusulkan untuk mendirikan suatu wadah Asia yang bersifat regional, tetapi karena utusan-utusan tidak mendapat petunjuk untuk itu dari pemerintah masing-masing, maka pendirian wadah belum dapat diputuskan saat itu.

Yang diputuskan adalah suatu resolusi untuk semua negara di Asia yang antara lain berbunyi :
  1. Untuk selanjutnya, semua negara Asia akan mengadakan hubungan secara teratur satu sama lain melalui jalur-jalur diplomasi yang ada.
  2. Menginstruksikan kepada wakil masing-masing di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara lain untuk selalu mengadakan hubungan dan kerja sama dengan wakil-wakil negara Asia lainnya, supaya terdapat kesejajaran dalam usaha dan tindakan.
Resolusi New Delhi tersebut langsung diikuti oleh tindakan-tindakan nyata dari negara-negara Asia. India, Pakista, Sri Lanka, Mesir dan Arab Saudi menutup lapangan udaranya untuk KLM (Maskapai Penerbangan Belanda), sehingga untuk penerbangan ke Indonesia, KLM harus melalui Mauritius (jajahan Perancis). Hanya dengan bantuan Perancis dan Inggris maka Belanda berhasil mendapatkan fasilitas-fasilitas alternatif untuk perusahaan penerbangannya, tetapi lebih merepotkan karena jaraknya bertambah jauh, menyita waktu lebih lama dan biaya yang lebih mahal.

Meskipun konferensi hanya dua hari, 20 Januari hingga 21 Januari 1949, namun keputusan-keputusan yang diambil oleh konferensi di New Delhi itu sungguh merupakan pukulan berat bagi Belanda. Resolusi-resolusi yang telah diterimanya menunjukkan dengan jelas bagaimana kedudukan internasional Belanda hancur karena serangannya terhadap Republik Indonesia.

Resolusi itu disampaikan Nehru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta supaya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera bersidang membicarakan agresi Belanda terhadap Republik Indonesia. Belanda bukan saja gagal melenyapkan Republik Indonesia, bahkan sebaliknya menjadi 'pesakitan' di mata dunia. Semua tuntutan Konferensi di New Delhi itu akhirnya termuat dalam resolusi-resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 28 Januari 1949.

Tentang hal itu Ide Anak Agung Gde Agung, menulis :
"Konferensi Asia-Afrika (karena hadirnya Mesir dan Ethiopia) ini, merupakan pertemuan pertama negara Asia dan Afrika, yang mempunyai status hukum internasional (kemerdekaan) dan dapat dianggap sebagai cikal bakal solidaritas Asia-Afrika yang timbul kemudian. Resolusinya mempengaruhi keputusan Dewan Keamanan dalam menyuarakan celaan terhadap tindakan militer Belanda di Indonesia."

Dari New Delhi (India) hubungan Indonesia dilanjutkan dengan Karachi (Pakistan), Rangoon (Birma, kini Myanmar) dan Ceylon (Sri Lanka).
-selesai-

KONFERENSI ASIA UNTUK INDONESIA (. . . BAGIAN 1)

India kembali muncul memberikan dukungan hebat kepada Republik Indonesia. Nehru atas saran Perdana Menteri U Nu dari Birma (Myanmar) mengadakan Konferensi Asia untuk Indonesia (Asian Conferense on Indonesia) yang dihadiri oleh wakil-wakil negara : Afghanistan, Australia, Burma (Myanmar), Ceylon (Sri Lanka), Mesir, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Lebanon, Indonesia, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah dan Yaman. Dengan peninjau dari Cina, Nepal, Selandia Baru dan Thailand. Turki menolak hadir. Perlu dicatat kehadiran dua negara Afrika, Mesir dan Ethiopia. Wakil-wakil Republik Indonesia dari berbagai negara juga datang ke New Delhi, antara lain Mr. Utoyo Ramelan, Soemitro Djojohadikoesoemo, Haji Rasyidi, Idham dan lain-lain.

Tidak sedikit wartawan dari seluruh penjuru dunia datang berduyun-duyun ke New Delhi untuk meliput konferensi yang begitu penting. Baru pertama kali ini, negara-negara merdeka di Asia berkumpul untuk membela nasib satu negara merdeka baru di Asia yang diserang oleh negara bekas penjajahnya dan terancam kemerdekaannya.

Dalam pidato pembukaannya Perdana Menteri Nehru menguraikan maksud dan tujuan konferensi, yang secara khusus diadakan untuk membicarakan persoalan Indonesia dan untuk memberikan saran-saran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa supaya perang di Indonesia dapat segera diakhiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian kehadiran 19 utusan dari negara-negara Asia dan Australia dalam konferensi, sejalan dan seirama dengan ketentuan-ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bukan didorong oleh rasa benci atau bermusuhan terhadap suatu negara atau kelompok negara tertentu.

Nehru berkata :
"Kita berkumpul karena kita sadar, bahwa kemerdekaan dan kebebasan bangsa serumpun Asia, Indonesia sedang menghadapi kolonialisme yang kembali menonjolkan kepalanya di sana, menentang segala usaha dan kekuatan yang berusaha menciptakan tata kehidupan baru di atas dunia sekarang ini. Tantangan itu jauh lebih berbahaya daripada apa yang dilihat dengan mata kepala, oleh karena tantangan itu terjadi di Asia yang baru bangun, yang sudah lama meringkuk di bawah berbagai bentuk penjajahan bangsa-bangsa lain pada masa yang lampau."

Lebih lanjut Nehru mengatakan bahwa,
"Bagi Asia, Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi lambang persatuan dunia, yang dicita-citakan oleh semua bangsa-bangsa yang memiliki cita-cita dan keinginan yang baik. Tetapi untuk bangsa-bangsa yang tidak menghendaki kerjasama yang baik antar semua bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan badan penghalang yang harus disingkirkan. Mereka inilah yang mengejek, merendahkan dan mencemooh dasar-dasar perserikatan itu."

"Oleh sebab itu, kalau tantangan yang terjadi sekarang di Indonesia tidak mendapat jawaban yang tegas dan pasti, dapat diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama kejadian-kejadian yang serupa akan merusak ketenteraman bangsa-bangsa di Asia dan dengan demikian ketenteraman seluruh dunia. Sudah terlalu lama Asia menjadi bola permainan bangsa-bangsa lain, oleh sebab itu dia tidak akan mengizinkan siapa pun merusak dan menghalangi perkembangan yang sedang berlangsung di Asia."

Berbicara tentang keadaan dunia dewasa itu Nehru berkata :
"Pada suatu pihak terlihat dunia semakin terpecah-pecah yang senantiasa dicekam rasa takut terhadap Perang Dunia Ketiga. Dan pada lain pihak dapat dilihat dunia yang berusaha keras menciptakan dasar-dasar yang lebih kukuh untuk suatu kerja sama yang lebih harmonis, yang akan mempersatukan seluruh daya dan kemampuan bangsa-bangsa untuk mewujudkan cita-cita bersama." 

Dalam pidato pembukaannya itu Nehru dengan tegas mengutuk serangan Belanda terhadap Republik Indonesia dan menyebutnya sebagai suatu naked and unabashed aggression (suatu agresi terbuka tanpa malu). Ia menuntut "penghentian kegiatan militer Belanda, pembebasan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditawan dan penyerahan kembali kekuasaan Republik Indonesia di daerah-daerah yang diduduki Belanda". Pembicara-pembicara lain semuanya juga berbicara dalam nada yang kurang lebih sama.

Konferensi memusatkan seluruh perhatian pada langkah-langkah apa yang dapat diambil Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk secepat mungkin menciptakan perdamaian di Indonesia. Konferensi sependapat untuk mendesak Dewan Keamanan yang berarti Perserikatan Bangsa-Bangsa, supaya mengambil tidakan yang tegas terhadap Belanda yang berusaha menghidupkan kembali kolonialisme yang sudah dianggap mati, dengan mengandalkan kekuatan militernya terhadap bangsa yang baru menyatakan diri merdeka.

... bersambung ke bagian 2