Hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah terutama negara Arab telah terjalin sejak lama ketika agama Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Ka'bah yang menjadi kiblat umat Islam melakukan sembahyang, terletak di Arab Saudi. Setiap tahun pada musim haji, ratusan bahkan ribuan umat Islam Indonesia yang mampu, menziarahi tanah suci memenuhi panggilan Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima.
Selain itu, Mesir pusat Perguruan Tinggi Al Azhar yang sudah berumur seribu tahun lebih merupakan pusat tumpuan ratusan mahasiswa Indonesia yang datang merantau untuk memperdalam ajaran agama Islam sejak jaman dahulu. Hubungan kebudayaan yang ditempa di perguruan tinggi itu berurat-akar serta berkembang dari pelosok ke pelosok Indonesia melalui lulusan perguruan tinggi itu, setelah mereka kembali ke tanah air dan terjun dalam upaya menyebarkan ilmu-ilmu keislaman.
Hubungan yang terbina melalui agama tersebut tertanam sangat mendalam di dalam hati sanubari penganut agama Islam secara timbal balik. Indonesia yang di masa lalu dikenal sebagai Syarqul Hind (Hindia Timur) adalah negara penganut Islam terbesar di dunia dan menduduki tempat yang penting di kalangan negara-negara Arab lain. Begitu pula di samping Mekkah dan Kairo, nama Baghdad, Aden, Damaskus, Beirut dan lain-lainnya tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia.
Sejak masa penjajahan, mahasiswa Indonesia telah mulai berdatangan ke Mesir dan jamaah haji Indonesia dalam jumlah yang tidak kecil telah membanjiri tanah suci. Di antara mahasiswa itu terdapat patriot-patriot Indonesia yang mencita-citakan Indonesia merdeka. Mereka ternyata merupakan pelopor perjuangan yang mulai menanamkan bibit kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang disiarkan dalam berbagai media massa negara-negara Arab.
Pangeran Abdullah bin Muhsin dari Hadramaut menemui Menteri Penerangan Republik Indonesia Moh. Natsir di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, pada tanggal 12 Agustus 1948. |
Burhanudin Ubani menulis :
"Perjuangan kemerdekaan putera-putera Indonesia di luar negeri, sudah lama dilakukan sebelum proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Mula-mula di Timur Tengah, kemudian menyusul Negeri Belanda, India dan negara-negara lainnya."
"Dalam soal mendapatkan dukungan dan pengakuan negara-negara Arab terhadap Republik", tulis Aboe Bakar Loebis, "perlu disebut di sini peran yang dimainkan oleh dan bantuan sangat besar yang diberikan oleh Azzam Pasha, pendiri dan Sekretaris Jenderal Pertama Liga Arab. Ialah yang membuka jalan bagi Republik Indonesia di negara-negara Arab."
Untuk menyampaikan pengakuan Liga Arab kepada Republik Indonesia, Konsul Jenderal Mesir di Bombay, Mohammad Abdul Moun'im diutus ke ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, dengan pesawat charter dan sekembalinya dalam pesawat yang sama sampai ke Singapura, ikut pula rombongan Republik Indonesia yang terdiri dari H. Agus Salim, Menteri Muda Luar Negeri; Baswedan. Menteri Muda Penerangan dalam kabinet Soetan Sjahrir, di samping Nazir Datuk Pamontjak SH.
Rombongan tersebut menggabungkan diri dengan delegasi Indonesia yang datang ke India untuk menghadiri konferensi Inter Asian Relations. Setelah selesai, rombongan tersebut melanjutkan misinya ke Timur Tengah. Negara-negara Liga Arab, berkat hasil positif dari diplomasi yang dijalankan H. Agus Salim, telah mengakui Republik Indonesia.
Menurut Moh. Roem :
"Dalam perlawatannya ke Timur Tengah, H. Agus Salim sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Soetan Sjahrir memang secara gencar memperkenalkan Republik baru itu di luar negeri. Ketika ada penggantian Kabinet Soetan Sjahrir ke Kabinet Sjariffuddin, dari Timur Tengah H. Agus Salim tidak kembali ke tanah air, namun meneruskan misinya ke berbagai negara dalam kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri."
Dari Kairo, H. Agus Salim meneruskan misinya ke Suriah, Transyordania, Irak, Lebanon dengan hasil yang gemilang. Dia tidak dapat mengikuti misinya ke Arab Saudi dan Yaman, karena sebagai Menteri Luar Negeri yang baru, harus berangkat ke New York bersama Soetan Sjahrir untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesudah Belanda melancarkan agresi militer pertama. Misinya itu dilanjutkan oleh Haji Rasyidi cs.
Saat itu, Soetan Sjahrir yang telah berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda pada permulaan agresi Belanda dalam perjalanannya ke New York telah sampai di Kairo pada 5 Agustus 1947. Disusul kemudian oleh Mohammad Hatta bersama isteri dan juga singgah di Kairo setelah selesai menghadiri Konferensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Banyaknya delegasi atau tokoh-tokoh Republik Indonesia yang berdatangan di Mesir adalah untuk menyatakan penghargaan dan terima kasih Indonesia terhadap besarnya dukungan negara-negara Arab yang dipelopori oleh Mesir kepada perjuangan rakyat Indonesia.
Sebelum kunjungan H. Agus Salim, Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta, utusan Republik Indonesia pertama yang mengunjungu Mesir adalah delegasi Suwandi yang singgah di Kairo pada 7 April 1946 dalam perjalanannya ke negeri Belanda untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Belanda (Hoge Veluwe). Delegasi itu terdiri dari Suwandi, Menteri Kehakiman sebagai Ketua; Dr. Sudarsono, Menteri Dalam Negeri sebagai anggota dan Abdul Karim Pringgodogdo, Sekretaris Kabinet sebagai Sekretaris.
Karena kedatangan delegasi Suwandi secara tiba-tiba dan untuk semalam saja, maka mereka belum sempat mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat Mesir. Tapi dalam perjalanan pulang delegasi Suwandi singgah lagi di Kairo pada 26 April 1946. Acara pertemuan dengan pembesar-pembesar Mesir telah diatur, tetapi tidak dapat dilaksanakan semuanya, karena delegasi hanya sehari di ibukota Mesir itu dan secara bersamaan bertepatan dengan hari besar.
Sungguhpun demikian telah dapat ditemui pelaksana-pelaksana politik luar negeri Mesir dan Arab di rumah mereka masing-masing seperti Menteri Luar Negeri Mesir, Sekretaris Jenderal Liga Arab dan pemimpin rakyat Mustafa Nahas Pasha pemimpin partai Al Wafd yang berpengaruh. Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdurrahman Azzam Pasha menyampaikan undangan makan siang, dalam kesempatan itu Suwandi menyampaikan terima kasih Indonesia atas keputusan Liga Arab 8 April 1946 yang mendukung kemerdekaan Indonesia dengan harapan agar Liga meningkatkan dukungannya sampai tercapai kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.
Sebelum berangkat meninggalkan Kairo, delegasi minta supaya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bangsa Mesir khususnya dan bangsa Arab umumnya terhadap dukungan yang diberikan kepada perjuangan Indonesia. Pesan itu disampaikan melalui pers setempat. Disampaikan pula surat khusus kepada Sidki Pasha, Perdana Menteri Mesir yang baru, karena tidak sempat menemuinya.
Keberhasilan misi Suwandi maupun misi H. Agus Salim dan kunjungan Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta tersebut adalah berkat kerja keras dan usaha yang tak kenal lelah dari pejuang-pejuang Indonesia yang telah terlebih dahulu dirintis oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Kairo, Baghdad dan negara-negara Arab lainnya di antaranya Zein Hassan di Mesir dan Imron Rosyadi di Irak.
No comments:
Post a Comment