Translate

Sunday, June 7, 2015

KONTAK DENGAN AUSTRALIA

Walaupun Australia bukan negara Asia, namun lokasi geografisnya dekat dengan Indonesia dan peranan yang dilakukan pada masa dan sesudah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia membuat negara itu sebagai tetangga yang sangat penting di mata Indonesia. Laut Timor yang tidak terlalu luas memisahkan benua Australia dari Pulau Timor. Sedangkan jarak dari Kupang (ibukota Nusa Tenggara Timur) hanya beberapa jam terbang dari kota Australia terdekat, Darwin.

Seperti yang dapat dibuktikan dari Undang-Undang Imigrasinya, Australia adalah negara berpenduduk kulit putih dan sangat gigih mempertahankan posisi itu, satu dari tonggak penting politik luar negeri Australia. Negara itu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan pendatang berkulit berwarna dari Asia ke benua itu. Seperti yang digambarkan oleh seorang senator Partai Liberal pada bulan Maret 1949, bahwa kehadiran Belanda di Indonesia adalah "orang kulit putih diharapkan berdiri di antara kita dengan ratusan juta orang kulit berwarna di sebelah utara kita."

Namun Australia tidak menutup mata terhadap perkembangan politik di negara-negara Asia yang menjadi tetangganya, terutama Indonesia yang dianggap sebagai tetangga terbesar dan terdekat. Pemerintah Buruh Asia (ALP) yang berkuasa setelah perang di bawah pimpinan Perdana Menteri J.B. Chifley, dengan H.V. Evatt sebagai Menteri Luar Negeri, sungguh menyadari perubahan konstelasi politik di masa pasca Perang Dunia II di Asia tempat gelombang nasionalisme, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme sedang memuncak dan dengan segala kekuatan menolak kembalinya penjajahan dalam bentuk apapun.

Perkembangan di Indonesia yang begitu dekat dengan tapal batas Australia tidak mungkin tidak mempengaruhi Australia terutama kalangan pemerintah yang bertanggung jawab di sana, sehingga mereka mulai meyakini kesungguhan gerakan nasionalis untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tetapi intervensi dari pihak pemerintah Australia untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mencegah kembalinya penjajahan Belanda, menyusul kemudian dan terjadi melalui dua peristiwa sebagai berikut :

Pertama, peristiwa dalam negeri : Pada 24 September 1945, hanya lima minggu sesudah proklamasi dan beberapa hari sebelum tentara Inggriis mendarat di Indonesia, cabang Brisbane dari Waterside Worker's Federation (WWF) mengambil prakarsa dengan mengumumkan pemboikotan terhadap kapal-kapal yang memuat semjata untuk dibawa ke Indonesia. Keputusan itu berpengaruh dan mengejutkan, menarik perhatian tidak saja terhadap masalah yang bersangkutan, tetapi terhadap pentingnya tindakan politik kaum buruh pelabuhan Australia.

Pemerintah Chifley dam Dewan Serikat Buruh (Council of Trade Union) Australia tidak mendukung pemboikotan tersebut, tetapi peristiwa itu menarik perhatian umum terhadap kepentingan gerakan nasionalis Indonesia. Dalam suasana semangat yang bergelora, penuh harapan dan demokratis, terutama di kalangan pendukung Partai Buruh, ternyata tindakan buruh pelabuhan tersebut sangat menyulitkan pemerintah ALP (Australian Labour Party) untuk menentang kaum nasionalis atas nama penjajah Belanda.

Kedua, ketika pemerintah Belanda melancarkan serangan militer pertamanya bulan Juli 1947, pemerintah Australia secara nyata mengambil posisi memihak pemerintah nasionalis Indonesia, dan bersama India membawa sengketa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejak hari itu, pemerintah Australia berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda dan secara sungguh-sungguh berdiri di belakang pemerintah Indonesia menentang Belanda. Hal itu dapat disaksikan dari sikap anggota Australia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.

Dengan menjalankan kebijakan tersebut pemerintah Chifley berhasil menanamkan rasa persahabatan yang mendalam di kalangan rakyat Indonesia. Demikian eratnya rasa persahabatan itu, sehingga seorang Menteri Luar Negeri Indonesia menggambarkan Menteri Luar Negeri H.V. Evatt sebagai "bidan kemerdekaan Indonesia".

Sebagai akibat dukungan Australia terhadap perjuangan Indonesia, prestisenya melambung tinggi di kalangan negara-negara baru merdeka di Asia. Pendapat umum pada waktu itu ialah bahwa Australia tidak merupakan perpanjangan dari Whitehall (pemerintah Inggris) tetapi sebaliknya dikatakan bahwa Australia telah menjalankan politik luar negeri yang bebas sesuai kepentingannya sendiri dengan memihak kepada gerakan kemerdekaan dan memahami aspirasi nasional bekas jajahan Barat di Asia.

Sebagai bukti rasa hormat terhadap Australia yang tertanam dalam pandangan pemimpin-pemimpin Asia, Australia diundang oleh Perdana Menteri Nehru untuk menghadiri Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi bulan Januari 1949, yang khusus menanggapi Aksi Militer Kedua Belanda di Indonesia dengan tujuan untuk membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mencapai penyelesaian masalah Indonesia-Belanda.

No comments:

Post a Comment