Translate

Monday, June 8, 2015

SUASANA MENJELANG PENDARATAN TENTARA SEKUTU

Pada bulan Februari 1942 Jepang menyerbu Hindia-Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah, dan pada 10 Maret 1942 inti pemerintahan Hindia-Belanda diungsikan ke Australia. Selama Perang Pasifik, Australia bersama kekuatan Sekutu lainnya, mengakui kalau kekuatan penjajahan Eropa kembali memasuki wilayah Asia Tenggara - wilayah tempat mereka diusir oleh orang-orang Jepang - penduduk setempat mungkin akan menolak mereka.

Kegagalan kekuatan metropolitan untuk mempertahankan wilayah kolonial mereka terhadap agresi Jepang, efektifnya propaganda Jepang yang dirancang untuk mengasingkan rakyat jajahan dari penguasa mereka sebelum perang, serta dorongan yang dilakukan pihak Jepang bagi gerakan-gerakan nasional pribumi, merupakan beberapa faktor yang mendasari perhitungan ini.

Proklamasi Republik Indonesia pada mulanya hanya menimbulkan sedikit perhatian di dunia luar. Departemen Luar Negeri Australia mendengar berita tentang proklamasi Republik Indonesia dari siaran radio gelombang pendek yang dipancarkan dari Jakarta tanggal 19 Agustus 1945. Melalui pemantauannya atas siaran radio Indonesia, Australia sadar bahwa hal itu merupakan versi Indonesia tentang perkembangan pasca penyerahan Jepang. Laporan itu masuk ke dinas intelijen South East Asia Command (SEAC) dan kantor resmi Belanda serta Hindia Belanda di Australia.

Sadar bahwa Jepang mendorong gerakan nasionalis Indonesia, Sekutu memperkirakan bahwa Jepang mungkin menciptakan satu pemerintahan boneka. Sejalan dengan hal itu dunia Barat memandang kemunculan Republik Indonesia sebagai puncak kebijakan anti-kolonial Jepang di Hindia Belanda, dan mengakui bahwa kolaborasi Indonesia sebagai gerakan awal yang dengan pengorbanan tertentu dari sebagian kaum nasionalis untuk meningkatkan posisi tawar-menawarnya dalam menghadapi kembalinya Belanda.

Soekarno-Hatta memproklamasikan Republik Indonesia di bawah tekanan kaum nasionalis Indonesia yang revolusioner. Namun, Sekutu hanya memberi perhatian sekilas pada lingkungan di seputar proklamasi Republik Indonesia, yang secara kebetulan bertepatan dengan berakhirnya Perang Dunia.

Karena Jepang menyerah begitu cepat, kemungkinan Sekutu untuk menilai kredibilitas serta dukungan umum bagi Republik Indonesia terbatas sekali. Jepang masih menduduki Hindia Belanda, dan Sekutu tidak dapat segera masuk kembali menduduki wilayah-wilayah tersebut. Hindia Belanda secara efektif baru dipindahkan dari komando South West Pacific Area (SWPA) Mac Arthur kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Mountbatten pada 15 Agustus 1945. Rencana pengiriman pasukan pendarat ke Pulau Jawa harus ditunda sampai penyerahan resmi Jepang pada 2 September 1945.

Akibatnya, baru pada 8 September 1945 misi pendahulu Sekutu melakukan pendaratan (terjun payung) di Jakarta, diikuti misi Sekutu yang tiba dengan kapal pada 15 September 1945.

Akhirnya, pasukan SEAC (satu batalyon India) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison memasuki Jawa 29 September 1945. Maka baru pada pertengahan September 1945 Sekutu mempunyai sumber informasi langsung tentang Republik Indonesia.

Laporan-laporan dari Jakarta segera menekankan bahwa situasi yang berlangsung sangat tidak cocok dengan yang diperhitungkan dalam rencana-rencana SEAC dan Belanda. Meskipun pihak Sekutu telah menginstruksikan orang-orang Jepang di Hindia Belanda untuk mempertahankan tanggung jawab hukum dan ketertiban sampai Sekutu tiba, tapi banyak persenjataan telah beralih ke tangan Indonesia. Pemerintah Jepang secara efektif telah digantikan oleh pemerintah Republik yang telah menangani semua sarana umum. Dukungan rakyat terhadap gerakan nasionalis dan pemerintah Republik lebih kuat dari yang diperkirakan, dan juga kecenderungan kaum nasionalis untuk bertahan dengan kekerasan terhadap upaya pembentukan kembali kekuasaan Belanda.

Dalam menanggapi situasi di Pulau Jawa, SEAC segera mengubah kebijakannya untuk menduduki kembali Hindia Belanda. Mulanya, pemerintah Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 1945 menandatangani Civil Affairs Agreement yang dirancang dengan tujuan pendudukan kembali SEAC di Sumatera. Kemudian pada 4 September (setelah pemindahan sepenuhnya Hindia Belanda ke SEAC), Mountbatten dan Van Mook sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip perjanjian itu terhadap seluruh Hindia Belanda.

Namun, adanya sifat politis yang semu dari perjanjian tersebut, membuat Mountbatten meminta tuntutan dari Kepala Staf Inggris mengenai kebijakan terhadap Republik Indonesia. Dengan hanya diberi instruksi untuk tidak mengambil tindakan yang mengandung pengakuan terhadap Republik Indonesia, pada 28 September 1945 ia membatasi kewajiban SEAC hanya dengan persoalan-persoalan yang berguna langsung bagi militer. Selain itu ia membatasi operasi-operasi SEAC di Jawa pada wilayah-wilayah kunci di Jakarta dan Surabaya. Kalau wilayah-wilayah ini aman, SEAC akan melepaskan tanggung jawab kepada pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) yang akan bertanggung jawab bagi pembentukan ke,bali pemerintah sipil. Semuanya ini terjadi tanpa Australia segera memberi perhatian besar.

No comments:

Post a Comment