Translate

Saturday, February 28, 2015

SEKUTU MEMAKSA BELANDA BERUNDING (. . . BAGIAN II)

Pada 23 Oktober 1945, Jenderal Christison mengatur perundingan dengan pemimpin Republik Indonesia, di antara mereka adalah Presiden Soekarno. Van Mook menghadiri pertemuan yang bersifat informal itu. Penasehat politik Laksamana Mountbatten, Mr. Maberly E. Dening juga hadir. Pejabat Foreign Office Inggris ini dikirim ke Jakarta untuk membantu Panglima Sekutu dalam usahanya untuk mempertemukan pihak Republik Indonesia dan Belanda. Dalam rapat ini Maberly Dening memberitahukan pemimpin Republik Indonesia mengenai kenyataan bahwa Komando Sekutu mengakui pemerintah Hindia-Belanda sebagai penguasa yang sah di Indonesia. Informasi itu menimbulkan protes keras dari pihak Republik Indonesia.

Karena khawatir akan timbulnya reaksi dari pemerintah Republik Indonesia, Inggris terpanggil memberi penjelasan bahwa pengakuannya terhadap kedaulatan Belanda tidak berarti mendukung Belanda dalam persengketaannya dengan Indonesia. Karena secepatnya, Komando Sekutu mengumumkan bahwa pendaratan tentara Beland selanjutnya di Pulau Jawa dan Sumatera ditangguhkan untuk sementara waktu.

Pada 25 Oktober 1945, Republik Indonesia mengeluarkan pengumuman memberitahukan Inggris dan Belanda apa dasar kesediaan Indonesia untuk berunding. Pengumuman itu menekankan bahwa :
  1. Kepentingan Republik Indonesia tidak hanya menyangkut perkembangan susunan dunia baru, tetapi demi mencapai dasar perdamaian abadi di Pasifik.
  2. Berdasarkan persepsi ini pemerintah Republik Indonesia berpendapat bahwa perundingan untuk menyelesaikan masalah Indonesia hanya akan berhasil menjamin perdamaian abadi jika perundingan itu diadakan di hadapan dunia terbuka.
  3. Untuk itu pembicaraan permulaan dan yang bersifat tidak resmi mengenai konferensi untuk menyelesaikan persoalannya, menurut peerintah Indonesia perlu dilakukan di antara dua pihak yang bersangkutan, dengan kehadiran pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah.
  4. Pemerintah Republik Indonesia ingin menjelaskan bahwa Indonesia bersedia mengadakan perundingan dengan siapa saja, dengan syarat bahwa perundingan itu diadakan atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Indonesia.
Desakan untuk mengadakan perundingan datang tidak saja dari pihak Sekutu di Indonesia. Pada 23 November 1945 Menteri Luar Negeri Inggris Earnest Bevin mendesak diadakannya perundingan secepatnya demi kebaikan kepulauan ini. Dan pada 19 Desember 1945 State Department Amerika Serikat menyatakan "increasing apprehension" terhadap perkembangan disini. Sementara mengakui bahwa tanggung jawab utama untuk mengadakan penyelesaian berada di tangan Belanda, sebagai negara berdaulat dan pada pemimpin Republik Indonesia, Amerika Serikat merasa berkepentingan dalam penyelesaian masalah yang mengkhawatirkan seluruh dunia. Dia menuntut untuk segera diadakan perundingan dan penyelesaian damai sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Delapan hari kemudian, pemerintah Inggris atar prakarsa Mr. Bevin mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Schermerhorn, Logemann dan anggota kabinet Belanda lain di tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris di Chequers. Hasilnya adalah pengumuman 19 Januari 1946 tentang penunjukan diplomat ulung Inggris Sir Archibald Clark Kerr, mantan Duta Besar Inggris di Moskow untuk menduduki pos barunya di Washington. Dia ditunjuk sebagai Duta Besar Istimewa untuk membantu mencari penyelesaian damai dan memusatkan pada kesulitan politik di Indonesia. Sir Archibald Clark Kerr akhirnya diganti oleh Lord Killearn Komisaris Tinggi di Asia Tenggara sebagai penengah sesudah Perundingan Hoge Veluwe.

Sekutu akhirnya dapat menyelesaikan misinya dengan baik di Indonesia berkat kerja sama dengan pemerintah Republik Indonesia. Ketika Sekutu meninggalkan Indonesia tanggal 30 November 1946, telah tersedia landasan perundingan yang di atasnya dapat diadakan pembicaraan yang sungguh-sungguh antara Indonesia dan Belanda. Meskipun harus diakui bahwa kesediaan Belanda berunding hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, sampai persiapan militernya selesai untuk menyerang dan menghancurkan Republik Indonesia.

SEKUTU MEMAKSA BELANDA BERUNDING ( . . . BAGIAN I)

Satu segi dari sikap Sekutu yang positif adalah pendiriannya yang senantiasa menekan Belanda agar bersedia menyelesaikan sengketanya dengan Republik Indonesia secara damai. Hal tersebut telah tercantum dalam keterangan Jenderal Christison ketika Sekutu mendarat. Laksamana Mountbatten kemudian menyatakan bahwa dia bersedia untuk mempercepat pengiriman lebih banyak tentara Sekutu ke Pulau Jawa, jika pemerintah Belanda di Indonesia menunjukkan kesediannya untuk segera memulai pembicaraan dengan Presiden Soekarno dan pengikutnya. Laksamana Mountbatten mengingatkan van der Plas kebijakan pemerintah Inggris dalam menghadapi gerakan kebangsaan di Birma. Pada mulanya, Jenderal Aung San, pemimpin nasional Birma adalah bermusuhan dengan Inggris. Bagaimanapun juga dia akhirnya menyerang Jepang. Lebih-lebih lagi kelompok Presiden Soekarno adalah salah satu gerakan yang tersusun rapi di kalangan kelompok nasionalis Indonesia.

Van der Plas mengutarakan bahwa pemerintahnya sama sekali tidak bersedia berunding dengan Presiden Soekarno. Wakil Belanda itu mengatakan bahwa memperbandingkan antara Republik Indonesia dan Birma kurang tepat, karena Presiden Soekarno tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Jepang. Laksamana Mountbatten menjawab bahwa jika Belanda menolak berunding dengan pemimpin nasionalis Indonesia, dia, pertama akan memerintahkan Jenderal Christison untuk memulai pembicaraan dengan para pemimpin Republik Indonesia. Kedua, Laksamana Mountbatten akan menolak memberikan Belanda bantuan apapun, jika akibat pendiriannya yang menolak berunding, Belanda menghadapi kesulitan yang serius.

Laksamana Mountbatten maupun Jenderal Christison sama-sama bertekad menekankan perlunya perundingan kepada Belanda dan Republik Indonesia, dan menjelaskan betapa penting bagi keduanya untuk menyelesaikan persengketaan dengan damai. Ditekankan bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas Sekutu adalah tergantung pada kecepatan penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu, pembesar-pembesar militer Inggris menyatakan sejelas-jelasnya bahwa penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda harus dengan jalan damai. Juru bicara pemerintah Inggris di London dengan kata-kata yang lebih hati-hati mengulangi pendapat yang sama itu.

Satu hal penting yang menentukan kebijakan Inggris untuk mendesak diadakan perundingan adalah kemenangan Partai Buruh dalam pemilihan umum sesudah Jerman kalah. Partai Buruh tidak dapat mengabaikan semangat gerakan kemerdekaan di Asia, yang terdapat di dalam negeri maupun di luar negeri sebagaimana tercermin dalam pendapat yang diutarakan oleh anggota Parlemen partai Buruh seperti Tom Driberg, Horald Davies dan Woodrow Wyatt.

Dalam keadaan demikian van der Plas maupun Van Mook sendiri mulai ikut menyadari pendirian pemerintah Inggris, pemerintah yang masih diperlukannya. Dan mereka mulai berpendapat perlunya mengadakan perundingan untuk mencapai penyelesaian. Langkah pertama untuk mengatasi jalan buntu tersebut adalah konferensi yang diadakan di Singapura pada 10-11 Oktober 1945. Yang hadir dalam konferensi tersebut ialah Laksamana Mountbatten, Jenderal Christison, Laksamana Muda Patterson, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, Dr. van der Plas dan Vice Admiral Helfrich, Panglima Angkatan Bersenjata Belanda di Timur Jauh.

Komando Asia Tenggara menjelaskan dalam konferensi itu bahwa kebijakan Inggris di Indonesia dipengaruhi dua faktor. Pertama, pemerintah Buruh sangat merasa prihatin terhadap kekerasan yang dilakukan oleh tentara Inggris di Indonesia. Sangat dikhawatirkan berulangnya kembali "Greece Tragedy". Pemerintah Buruh mendesak bahwa dalam melaksanakan tugas Sekutu di Hindia-Belanda, tentara Inggris harus menghindarkan kekerasan sebanyak mungkin. Kedua, Komando Asia Tenggara benar-benar belum siap untuk mengemban tugas yang dipikulkan pada bahunya sesudah Jepang secara mendadak menyerah. Masalahnya terutama terletak pada kekurangan yang sangat gawat dalam fasilitas transpor.

Dalam hal itu, wakil Inggris dan Belanda selanjutnya membicarakan prinsip-prinsip kebijakan umum yang bakal mereka ajukan kepada masing-masing pemerintah untuk disetujui. Telah disepakati pula bahwa pemerintah Belanda di Indonesia adalah satu-satunya penguasa di Indonesia. Sebagai imbalannya Inggris menuntut agar Belanda meninggalkan pendiriannya yang negatif terhadap perundingan politik dengan pemimpin Republik Indonesia. Tanpa konsesi itu Laksamana Mountbatten khawatir bahwa operasi militer yang ditingkatkan oleh tentara Inggris dan India untuk mencapai sasaran yang ditentukan, akan menghadapi kesukaran yang sulit diatasi yang akan datang dari London dan India.

Meskipun Van Mook memprotes tuntutan itu Komando Asia Tenggara tetap bersikeras agar pemimpin dari kelompok Indonesia diundang untuk menghadiri perundingan dan di dalamnya Presiden Soekarno harus diikutsertakan. Dalam keadaan demikian Van Mook tidak dapat berbuat lain bahkan berkesimpulan perundingan dengan pemimpin Republik Indonesia adalah conditio sine qua non demi memperoleh imbalan dari pihak Inggris. Dia kemudian mengajukan usul kepada pemerintahnya di Den Haag untuk meninggalkan sikap keras kepala guna mengadakan perundingan dengan pemimpin Republik Indonesia.

Menyadari sikap kaku Belanda yang enggan berunding dengan pemimpin Republik Indonesia tidak dapat lebih lama dipertahankan, apalagi sesudah menyaksikan pertempuran Surabaya, pemerintah Belanda akhirnya menerima usul Van Mook. Bagaimanapun pemerintah Belanda masih bersikeras bahwa Letnan Gubernur Jenderal mengadakan pembicaraan hanya dengan orang Indonesia yang "baik". Pribadi seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan kolaborator lain dengan Jepang masih belum dapat diterima, karena berunding dengan rezim Presiden Soekarno adalah kurang terhormat dan tidak berguna. Dikemukakan bahwa dasar pembicaraan harus berpangkal tolak pada pidato Ratu Wilhelmina 7 Desember 1942.

Soekarno adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. Menolak untuk berbicara dengannya berarti menolak seluruh hubungan dengan Republik Indonesia. Mempertahankan pendirian itu secara terus menerus akan menimbulkan kesulitan dengan Inggris. Belanda tidak berada dalam keadaan yang dapat mengambil resiko hilangnya goodwill Inggris. Oleh karena itu Van Mook terpaksa mengakui bahwa tidak mungkin baginya untuk mematuhi seluruh perintah Den Haag untuk tidak berunding. (...bersambung ke bagian II)

Thursday, February 26, 2015

POLITIK NON-INTERFERENCE SEKUTU

Antara sesama Sekutu, dalam hal ini Inggris dan Belanda, terdapat semacam pengertian bahwa kedaulatan atas Indonesia berada di tangan Belanda. Hal ini jelas tercermin dari pernyataan yang diberikan oleh Rear Admiral Patterson, wakil Mountbatten segera setelah mendarat bahwa tentaranya berada di sana "untuk memelihara ketenteraman dan keamanan sampai saatnya pemerintah sah Netherlands Indies sekali lagi berfungsi.."

Bahkan pada 24 Agustus 1945 pemerintah Inggris dan Belanda menandatangani Civil Affairs Agreement di London mengenai akan diadakan pengaturan pemindahan kekuasaan di wilayah Indonesia dari military administration Sekutu kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration) Menteri Negara Michiels van Verduynen, mantan Duta Besar Belanda di Inggris mengatakan bahwa Churchill telah meyakinkannya bahwa "you get the Indies back."

Namun demikian, setelah melihat sendiri kenyataan yang hidup di Pulau Jawa, Sekutu mengambil posisi menerapkan politik non-interference dalam masalah dalam negeri sesuai keterangan Panglima AFNEI Christison di atas. Setelah Mountbatten mengadakan rapat dengan Dr. van der Plas yang juga disaksikan Mr. J.J. Lawson, Menteri Perang Inggris, wakil Belanda diberitahukan mengenai keputusan pemerintah Inggris bahwa "tidak seorang pun tentara Inggris akan digunakan untuk memaksakan kekuasaan Belanda terhadap kaum nasionalis Indonesia. Tentara Inggris secara eksklusif akan digunakan untuk membebaskan tawanan perang dan interniran dan untuk menguasai perimeter terbatas di sekitar Jakarta dan Surabaya. Tentara Inggris tidak akan dibenarkan untuk melewati batas-batas tersebut. Terserah kepada tentara Belanda untuk menduduki wilayah Jawa lainnya.

Sikap Sekutu tersebut menurut Ide Anak Agung Gde Agung memang "sikap yang pro-Indonesia", tetapi sulit untuk dapat dimengerti oleh rakyat Indonesia, mengingat Sekutu terus membiarkan tentara Belanda mendarat. Ketika diketahui bahwa kontingen kecil tentara Belanda telah mendarat di Jawa sebagai bagian dari pasukan Sekutu, Presiden Soekarno dan pemimpin Indonesia lain serta merta memberikan reaksi. Inggris diperingatkan bahwa Republik Indonesia tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama dengan tentara pendudukan kecuali jika pemusatan tentara Belanda dihentikan.

Dari pihak mereka, penguasa Inggris merasa tidak mampu mengambil tindakan demikian keras terhadap sekutunya, lebih-lebih apabila tuntutan mengenai kedaulatan Belanda terhadap kepulauan itu telah diakui London. Satu-satunya jalan keluar bagi Komando Asia Tenggara adalah mendorong Belanda dan Indonesia agar menyelesaikan pertikaian politiknya selekas mungkin.

Sebenarnya bangsa Indonesia telah mulai mencurigai niat Komando Sekutu sejak diketahui bahwa perwira NICA, seperti van der Plas, telah diizinkan memasuki Jakarta sebagai anggota misi Laksamana Patterson. Pemimpin Republik Indonesia mengkhawatirkan bahwa pendaratan tambahan dari tentara Belanda yang "diselundupkan" tentara Sekutu dapat mengakibatkan bentrokan bersenjata dengan rakyat Indonesia. Kemudian hal itu memang terjadi ketika tentara Sekutu mendarat di Surabaya 25 Oktober 1945, yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban, termasuk komandan Sekutu Brigadir Mallaby yang terbunuh pada 4 November 1945.

Pertempuran Surabaya mempunyai pengaruh mendalam di kalangan resmi pemerintah Inggris. Mereka merasa khawatir bahwa situasi di Indonesia dapat berkembang dan menjurus ke arah tragedi "second Greece" (Yunani Kedua) yang mengakibatkan keterlibatannya pasukan Inggris dalam perang saudara di Yunani. Selain itu bahwa perluasan dan intensitas pertempuran telah membuktikan kekuatan gerakan populer untuk kemerdekaan dan memberi peringatan bahwa penguasa Inggris harus bersedia mendatangkan tentara pendudukan yang lebih besar lagi di Indonesia utnuk masa yang tidak tertentu.

Pertempuran di Surabaya tersebut cukup memberi pengaruh kepada Van Mook. Ia melaporkan kepada pemerintahnya bahwa perlawanan di Pulau Jawa mempunyai akar yang lebih mendalam dan lebih meluas dari apa yang pernah dibayangkan pada situasi pra-perang. Namun demikian masih belum mungkin untuk mengadakan perkiraan mengenai kekuatan itu nyata-nyata jauh lebih besar dari apa yang disebut gerombolan Jawa di masa lalu.

Sebagai akibat masalah pasukan Belanda itu, Sekutu dihadapkan kepada dilema pelik. Kedudukannya serba salah dimata pemimpin dan rakyat Indonesia. Mungkin, sebagai diutarakan Fisher, hal itu adalah karena sikap Sekutu "mengakui pemerintah yang tidak berfungsi dan tidak mengakui pemerintah yang berfungsi". Dan oleh karena itu menurut Wolf, Komando Sekutu menempatkan dirinya dalam posisi yang tidak memungkinkannya sekaligus melaksanakan secara berhasil tugasnya yaitu menerapkan politik "non-intervention" dalam hubungan Republik-Belanda.

Saturday, February 14, 2015

PERSIAPAN MENGHADAPI SEKUTU

Indonesia jelas mempersiapkan diri untuk menghadapi pendaratan Sekutu. Hal itu merupakan kontak pertama Republik Indonesia dengan kekuatan asing dan sekaligus merupakan permulaan kegiatan diplomasi Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan. Presiden Soekarno membuat suatu pernyataan yang ditujukan pada Laksamana Lord Louis Mountbatten. Isi pokok pernyataan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Secara psikologis bangsa Indonesia pada waktu ini banyak terpengaruh oleh dua faktor : Pertama, oleh cita-cita Indonesia merdeka; Kedua, oleh propaganda Belanda dari Australia mengenai maksud Belanda untuk mengembalikan jajahannya.
  2. Bekas pemerintah kolonial Belanda di Australia seperti yang disiarkan radio menyatakan bahwa NICA akan mengambil alih administrasi pemerintah di Indonesia;
  3. Hal ini telah membangunkan kecurigaan di kalangan bangsa Indonesia, karena ini berarti bahwa akan kembalinya rezim kolonial Belanda;
  4. Hal ini telah mempengaruhi pendirian bangsa Indonesia yang tidak ingin kembali dijajah dan mereka bersedia untuk mempertahankan pemerintah Republi Indonesia dengan pengorbanan apapun;
  5. Bangsa Indonesia tidak membenci bangsa Belanda, tetapi dengan segala kemampuannya menolak didirikannya kembali pemerintahan kolonial;
  6. Siaran radio dari Australia tersebut telah menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat.
Pernyataan Presiden Soekarno tersebut disusul pula oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo kepada bangsa Indonesia yang menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan tentara Sekutu. Isi pokoknya adalah sebagai berikut :
  1. Datangnya tentara Sekutu untuk menggantikan tentara Jepang itu tidak berarti bahwa kemerdekaan Indonesia terhapus;
  2. Oleh karena itu rakyat Indonesia harus bersikap netral kepadanya, dengan tenang dan tenteram menunjukkan kemauan pasti untuk tetap merdeka, akan tetapi menunjukkan ketertibannya, berdisiplin kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintahnya sendiri dan oleh pemerintah balatentara Sekutu yang bersifat kepolisian itu.
  3. Rakyat Indonesia harus insyaf, bahwa perjuangan kita dalam fase sekarang ini ialah perjuangan diplomatik. Kemudian menyusul Maklumat Politik pemerintah 1 November 1945 yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut : a) Politik damai dan hidup berdampingan secara damai; b) Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; c) Politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain; d) Politik berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam mengatur strategi selanjutnya terutama dalam menghadapi Sekutu, Soekarno-Hatta mengambil langkah-langkah lebih jauh, yang terpenting diantaranya ialah menyetujui usul penggantian kabinet Presidensial dengan kabinet Parlementer yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir, seorang tokoh yang dianggap moderat dan bersih dari tuduhan bekerja sama dengan Jepang. Penggantian kabinet tersebut merupakan pula tuntutan kekuatan politik dalam negeri waktu itu di Indonesia.

Tuesday, February 10, 2015

TUJUAN PENDARATAN SEKUTU

Laksamana Lord Louis Mountbatten sebagai Komandan Asia Tenggara menyatakan maksud pendaratan Sekutu di Indonesia sebagai berikut :
  1. Tujuan pendaratan Sekutu ialah untuk melucuti tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke tanah airnya;
  2. Melepaskan tawanan perang Sekutu dan iterniran (APWI);
  3. Menjaga keamanan dan ketenteraman.
Adapun tujuan (1) dan (2) diuraikan dalam postingan berikutnya (POPDA), sedangkan dibagian ini hanya disinggung tujuan (3) mengenai pemeliharaan keamanan dan ketenteraman.

Bagi bangsa Indonesia pernyataan Mountbatten masih merupakan tanda tanya bagi nasib Indonesia, karena dalam butir (3) dikatakan bahwa tentara Sekutu akan mempertahankan keamanan dan ketenteraman, dapat diartikan mempertahankan status quo ante bellum. Bagi Sekutu istilah status quo ante bellum berarti kedaulatan atas Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda berada di tangan Belanda. Sedangkan bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, berpendirian bahwa negara Republik Indonesia telah berdiri menggantikan jajahan Belanda.

Tentara Sekutu yang melihat kenyataan bahwa Republik Indonesia telah berkuasa di Pulau Jawa dan Sumatera akhirnya menyangsikan keterangan Belanda yang mengatakan bahwa rakyat Hindia Belanda masih "patuh dan setia" pada pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia adalah buatan Jepang serta pemimpinnya adalah kaum ekstremis yang ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebagai akibatnya, mereka mengubah sikap dengan mendekati Republik Indonesia demi berhasilnya tugas kewajiban mereka di Indonesia.

Laksamana Mountbatten mempunyai pandangan yang lebih luas daripada Belanda. Hal itu antara lain adalah berkat info tambahan yang diperoleh Sekutu dari rombongan perintis di bawah pimpinan Mayor A.G. Greenhalgh yang pertama diterjunkan di lapangan udara Kemayoran, keterangan Jenderal Yamamoto dan saksi mata Letnan Kolonel Lawrence van der Post, Letnan Kolonel Maisy dan Wing Commander Davis.

Untuk mengetahui apa yang terjadi di Indonesia maka Komando Asia Tenggara mengirimkan Mayor A.G. Greenhalgh dengan enam orang anak buahnya di lapangan Kemayoran Jakarta. Dalam laporan pertamanya, Mayor Greenhalgh menyatakan bahwa "akan sangat membantu jika pada tingkat pertama pendudukan dilakukan hanya dengan menggunakan pasukan Inggris." Laporan pertama itu merugikan kepentingan Belanda, karena dengan demikian Laksamana Mountbatten tidak mengizinkan pendaratan Belanda secara besar-besaran, untuk menjaga jangan sampai terjadi pertempuran yang melibatkan pasukan Inggris.

Jenderal Yamamoto menyampaikan laporannya kepada Laksamana Muda W.R. Patterson di kapal perang Cumberland, pada waktu dia diminta pertanggungjawaban tentang keterlibatan dan keamanan di Jakarta berhubung dengan diselenggarakannya rapat raksasa di lapangan Ikada pada 19 September 1945. Dalam penjelasannya Jenderal Yamamoto mengatakan bahwa rakyat Indonesia sangat benci kepada Belanda, dan untuk menghindari pertumpahan darah, agar kepada mereka yang dipimpin Soekarno-Hatta dijanjikan kemerdekaan.

Laksamana Mountbatten juga mendapatkan laporan keadaan sebenarnya di Pulau Jawa dan Sumatera dari Letnan Kolonel Lawrence van der Post seorang perwira intelijen Inggris yang pernah ditawan Jepang dan Letnan Kolonel Maisy dan Wing Commander Davis yang masing-masing bertugas sebagai pemimpin rumah sakit untuk tawanan perang dan sebagai kepala kamp-kamp tawanan perang. Sesudah itu Laksamana Mountbatten menyatakan kepada van der Plas pada 27 September 1945 di Singapura, bahwa tidak seorang pun prajurit Inggris akan dipergunakan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda. Pasukan Inggris hanya akan dipergunakan untuk menolong para tawanan Belanda.

Monday, February 9, 2015

PENDARATAN SEKUTU

Untuk Indonesia bagian Timur (kecuali Bali dan Lombok) dan Kalimantan, pendaratan dilakukan oleh Tentara Australia yang mempunyai komando tersendiri. Pada 15 September 1945 Sekutu (Inggris) merapat di Tanjung Priok di bawah pimpinan Laksamana Muda W.R. Patterson sebagai wakil dari Laksamana Lord Louis Mountbatten. Di samping kapal perang Inggris Cumberland, terdapat juga kapal perang Belanda Tromp, yang membawa tentara Belanda dan personil NICA yang berada di bawah pimpinan van der Plas yang diperbantukan pada pimpinan perang Sekutu di Indonesia AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) mewakili pemerintah Belanda.

Tatkala pihak Inggris mengetahui situasi pergolakan di Indonesia, walaupun pasukan-pasukannya sudah merapat di Tanjung Priok, mereka belum berani memerintahkan melakukan pendaratan. Letnan Jenderal Sir Philips Christison Panglima AFNEI sebelum pendaratan mengeluarkan pernyataan pada 29 September 1945 dari Kandi sebagai berikut :
  1. Pemerintah Indonesia tidak akan disingkirkan dan diharapkan akan terus dapat melaksanakan pemerintahan sipil di wilayah di luar daerah yang diduduki oleh tentara Inggris;
  2. Tentara Belanda tidak akan diikutsertakan dalam pasukan yang mendarat, berhubung bangsa Indonesia telah menyatakan bahwa mereka akan menentang pendaratan jika Belanda ikut serta;
  3. Bermaksud akan menemui pemimpin-pemimpin pelbagai gerakan dan memberitahukan mereka tujuan kedatangan Inggris;
  4. Bermaksud akan membawa wakil Belanda dan pemimpin Indonesia bersama pada Pertemuan Meja Bundar yang secara gigih ditentang Belanda.
Pernyataan itu memberi pengaruh yang positif kepada bangsa Indonesia karena menurut Ide Anak Agung Gde Agung "dalam kenyataannya merupakan pengakuan de facto Sekutu terhadap pemerintah Republik Indonesia."

Jenderal Christison ketika tiba, dalam konferensi pers membeberkan tugas utama pasukan Sekutu. Ditanya, apa yang akan terjadi di wilayah luar enclave yang akan diduduki tentaranya, Jenderal Christison menjawab : "Things will have to go on as they are" (segala sesuatu harus berjalan sebagaimana biasanya) sampai NICA tiba; kita tak dapat bertanggung jawab. Bagian kalimat "go on as they are", diartikan sebagai pemberian pengakuan de facto kepada kepemimpinan Republik Indonesia. Menurut Alastair M. Taylor yang juga hadir dalam konferensi pers itu, keputusan untuk memberi pengakuan de facto kepada Republik Indonesia diambil kabinet atas nasehat Mr. Bevin.

Sebaliknya bagi pihak Belanda pernyataan tersebut merupakan suatu hal yang negatif, karena Belanda merasa bahwa Sekutunya tidak menghormati kedaulatan Belanda atas Indonesia, dan melanggar "Civil Affairs Agreement"  yang dibuat London. Belanda sangat kecewa terhadap Jenderal Christison dan Van Mook segera mengajukan protes kepada Inggris.

Pendaratan tentara Sekutu di Indonesia 29 September 1945 dilakukan dengan formasi sebagai berikut:
  1. 23rd Indian Division, di bawah pimpinan Mayjen D.C Hawthorn (untuk daerah Jakarta);
  2. 5th Indian Division, di bawah pimpinan Mayjen Mansergh (untuk daerah Surabaya);
  3. 26th Indian Division, di bawah pimpinan Mayjen H.I Chambers (untuk daerah Sumatera, di Padang dan Medan).
Penggunaan divisi-divisi India oleh AFNEI berpengaruh juga bagi Indonesia dan menimbulkan masalah yang menguntungkan. Tentara India sebagai bangsa Asia, yang juga sedang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya, bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Banyak prajurit-prajurit India menganut agama Islam, seperti halnya dengan sebagian besar bangsa Indonesia. Akibat dua faktor tersebut banyak tentara India yang melarikan diri memihak kepada Republik dan membentuk Brigade Internasional.

Keberadaan tentara India itu menimbulkan protes dari pemimpin Partai Kongres India seperti Nehru dan dari tokoh Liga Muslimin India seperti Mohammad Ali Jinnah yang memprotes Inggris tentang penggunaan tentara India di Indonesia. Apalagi setelah mendengar terjadinya pertempuran-pertempuran di Indonesia dan khusunya di Surabaya, maka mereka mendesak agar tentara India secepat mungkin dipulangkan ke tanah airnya. Oleh karena itu Inggris merencanakan agar pada bulan Maret 1946 divisi-divisi India sudah ditarik dari Indonesia.

VACUUM OF POWER (KEKOSONGAN KEKUASAAN DI INDONESIA)

Antara tanggal 15 Agustus 1945 (tanggal penyerahan Jepang) dan pendaratan Sekutu tanggal 29 September 1945 terdapat Vacuum of power (kekosongan kekuasaan). Hal itu terjadi karena Jenderal McArthur memberitahukan perintah umum bahwa pendaratan hanya dapat dilakukan setelah diadakan penandatanganan perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu. Hal itu baru dapat dilakukan setelah tanggal 2 September 1945, sebab penandatanganan penyerahan Jepang kepada Sekutu baru dilakukan tanggal tersebut di Tokyo.

Dengan menyerahnya Jepang secara tiba-tiba, Sekutu belum siap dalam hal transportasi untuk pendudukan kembali Asia Tenggara. Dengan pernyataan penyerahan Jepang tanpa syarat oleh Kaisar Hirohito pada 15 Agustus 1945 di Tokyo, Belanda memperhitungkan tentara Jepang di Indonesia akan meneruskan perlawanan. Namun hal itu tidak terjadi. Andai kata Jepang bertempur terus, Belanda akan berkesempatan bersama-sama dengan tentara Sekutu melakukan pendaratan, yang berarti penguasaan terhadap Indonesia dapat lebih cepat dilakukan.

Keterlambatan pendaratan bertambah lagi dengan rencana Komando Asia Tenggara dalam penentuan jadwal pendudukan yang dimulai di Saigon, Malaya dan kemudian baru di Indonesia. Saigon didahulukan, karena terdapat markas besar tentara Jepang yang dipimpin Laksamana Terauchi. Setelah itu menyusul Malaya (termasuk Singapura) sebagai jajahan Inggris sehingga dia berkepentingan untuk segera mendudukinya. Banyak pula kapal-kapal Belanda yang dipergunakan oleh tentara Inggris ataupun tentara Australia. Walaupun sudah sering kapal-kapal itu diminta oleh Belanda untuk pendaratan tentaranya, tetapi dipergunakan oleh Inggris.

Keterlambatan itu diprotes oleh Belanda, sebab mengakibatkan vacuum of power yang berarti pemberian kesempatan yang sangat baik bagi Republik Indonesia untuk memperkuat posisinya. Belanda selalu menganggap Inggris sebagai bangsa yang oportunitis, dan ada unsur kesengajaan dari pihak Inggris. Pendapat itu timbul karena adanya persaingan dalam bidang ekonomi dan politik di Asia Tenggara. Belanda menuduh Jenderal Christison sebagai pengecut dalam menghadapi gerakan kemerdekaan Indonesia. Maka ketika Jenderal Christison diganti oleh Letnan Jenderal Sir Mortague Stopford, Belanda merasa sangat senang.

Dengan diumumkannya penyerahan tentara Jepang oleh Kaisar Hirohito, maka tentara Jepang di Indonesia mengalami tekanan mental. Mereka tidak tahu apa yang akan diperbuat, sekalipun persenjataan masih utuh. Menjelang pendaratan Sekutu, balatentara Jepang diangkat sebagai penguasa Sekutu di Indonesia untuk menjaga keamanan dan ketenteraman, tetapi karena mereka telah kehilangan semangat, mereka tak acuh terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Jepang tahu adanya persiapan-persiapan dan pernyataan proklamasi bangsa Indonesia di Pegangsaan Timur, tetapi mereka enggan untuk menghalangi dan bertempur dengan bangsa Indonesia. Mereka mampu menghalang-halangi upaya proklamasi kemerdekaan itu, tetapi hal itu akan mengakibatkan pertumpahan darah di seluruh Indonesia.

Banyak di antara tentara Jepang, khususnya dari Angkatan Lautnya, yang mempermudah pemberian senjata pada penguasa Indonesia, seperti yang terjadi di Surabaya. Mengenai hal itu Belanda memprotes keras pihak Jepang. Pihak Angkatan Darat lebih kaku dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan Indonesia dan oleh karena itu terjadi usaha-usaha perebutan senjata yang mengakibatkan timbulnya pertempuran dengan pihak Jepang. Pertempuran dengan pihak Jepang itu membuktikan juga pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil pemberian atau hadiah dari pihak Jepang.

Di seluruh kota Jakarta bangsa Indonesia mengibarkan bendera merah-putih. Di dalam upaya menggerakan massa di Jakarta dan di seluruh Indonesia, golongan pemuda di bawah pimpinan Sudiro, Dr. Moewardi dan Chairul Saleh sangat berjasa. Golongan pemuda inilah yang membuat coretan-coretan di dinding gedung-gedung dan di gerbong-gerbong kereta api. Karena itu pula Inggris tidak berani mendaratkan tentaranya segera setelah merapat di Tanjung Priok pada 15 September 1945. Mereka baru melakukan pendaratan 14 hari kemudian yakni pada 29 September 1945.

Adanya pemogokan-pemogokan di Australia yang dilakukan oleh kaum buruh pelabuhan Australia atas desakan buruh pelabuhan Indonesia yang berada di Australia ikut memberi sumbangan positif. Pemboikotan kaum buruh terhadap kapal-kapal Belanda itu benar-benar memperlambat gerakan-gerakan membawa alat-alat persenjataan Belanda ke Indonesia. Pemogokan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya, sehingga duta besar Belanda sering memprotes pemerintah Australia.

Vacuum of power yang terjadi sebagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut sungguh sangat menguntungkan pihak Indonesia, karena dalam masa-masa tenggang itu terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan konsolidasi ke dalam, sehingga ketika tentara Sekutu mengadakan pendaratan di Indonesia, sudah terdapat administrasi sipil maupun militer yang telah mulai mampu menghadapi segala macam kemungkinan.