Antara sesama Sekutu, dalam hal ini Inggris dan Belanda, terdapat semacam pengertian bahwa kedaulatan atas Indonesia berada di tangan Belanda. Hal ini jelas tercermin dari pernyataan yang diberikan oleh Rear Admiral Patterson, wakil Mountbatten segera setelah mendarat bahwa tentaranya berada di sana "untuk memelihara ketenteraman dan keamanan sampai saatnya pemerintah sah Netherlands Indies sekali lagi berfungsi.."
Bahkan pada 24 Agustus 1945 pemerintah Inggris dan Belanda menandatangani Civil Affairs Agreement di London mengenai akan diadakan pengaturan pemindahan kekuasaan di wilayah Indonesia dari military administration Sekutu kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration) Menteri Negara Michiels van Verduynen, mantan Duta Besar Belanda di Inggris mengatakan bahwa Churchill telah meyakinkannya bahwa "you get the Indies back."
Namun demikian, setelah melihat sendiri kenyataan yang hidup di Pulau Jawa, Sekutu mengambil posisi menerapkan politik non-interference dalam masalah dalam negeri sesuai keterangan Panglima AFNEI Christison di atas. Setelah Mountbatten mengadakan rapat dengan Dr. van der Plas yang juga disaksikan Mr. J.J. Lawson, Menteri Perang Inggris, wakil Belanda diberitahukan mengenai keputusan pemerintah Inggris bahwa "tidak seorang pun tentara Inggris akan digunakan untuk memaksakan kekuasaan Belanda terhadap kaum nasionalis Indonesia. Tentara Inggris secara eksklusif akan digunakan untuk membebaskan tawanan perang dan interniran dan untuk menguasai perimeter terbatas di sekitar Jakarta dan Surabaya. Tentara Inggris tidak akan dibenarkan untuk melewati batas-batas tersebut. Terserah kepada tentara Belanda untuk menduduki wilayah Jawa lainnya.
Sikap Sekutu tersebut menurut Ide Anak Agung Gde Agung memang "sikap yang pro-Indonesia", tetapi sulit untuk dapat dimengerti oleh rakyat Indonesia, mengingat Sekutu terus membiarkan tentara Belanda mendarat. Ketika diketahui bahwa kontingen kecil tentara Belanda telah mendarat di Jawa sebagai bagian dari pasukan Sekutu, Presiden Soekarno dan pemimpin Indonesia lain serta merta memberikan reaksi. Inggris diperingatkan bahwa Republik Indonesia tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama dengan tentara pendudukan kecuali jika pemusatan tentara Belanda dihentikan.
Dari pihak mereka, penguasa Inggris merasa tidak mampu mengambil tindakan demikian keras terhadap sekutunya, lebih-lebih apabila tuntutan mengenai kedaulatan Belanda terhadap kepulauan itu telah diakui London. Satu-satunya jalan keluar bagi Komando Asia Tenggara adalah mendorong Belanda dan Indonesia agar menyelesaikan pertikaian politiknya selekas mungkin.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah mulai mencurigai niat Komando Sekutu sejak diketahui bahwa perwira NICA, seperti van der Plas, telah diizinkan memasuki Jakarta sebagai anggota misi Laksamana Patterson. Pemimpin Republik Indonesia mengkhawatirkan bahwa pendaratan tambahan dari tentara Belanda yang "diselundupkan" tentara Sekutu dapat mengakibatkan bentrokan bersenjata dengan rakyat Indonesia. Kemudian hal itu memang terjadi ketika tentara Sekutu mendarat di Surabaya 25 Oktober 1945, yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban, termasuk komandan Sekutu Brigadir Mallaby yang terbunuh pada 4 November 1945.
Pertempuran Surabaya mempunyai pengaruh mendalam di kalangan resmi pemerintah Inggris. Mereka merasa khawatir bahwa situasi di Indonesia dapat berkembang dan menjurus ke arah tragedi "second Greece" (Yunani Kedua) yang mengakibatkan keterlibatannya pasukan Inggris dalam perang saudara di Yunani. Selain itu bahwa perluasan dan intensitas pertempuran telah membuktikan kekuatan gerakan populer untuk kemerdekaan dan memberi peringatan bahwa penguasa Inggris harus bersedia mendatangkan tentara pendudukan yang lebih besar lagi di Indonesia utnuk masa yang tidak tertentu.
Pertempuran di Surabaya tersebut cukup memberi pengaruh kepada Van Mook. Ia melaporkan kepada pemerintahnya bahwa perlawanan di Pulau Jawa mempunyai akar yang lebih mendalam dan lebih meluas dari apa yang pernah dibayangkan pada situasi pra-perang. Namun demikian masih belum mungkin untuk mengadakan perkiraan mengenai kekuatan itu nyata-nyata jauh lebih besar dari apa yang disebut gerombolan Jawa di masa lalu.
Sebagai akibat masalah pasukan Belanda itu, Sekutu dihadapkan kepada dilema pelik. Kedudukannya serba salah dimata pemimpin dan rakyat Indonesia. Mungkin, sebagai diutarakan Fisher, hal itu adalah karena sikap Sekutu "mengakui pemerintah yang tidak berfungsi dan tidak mengakui pemerintah yang berfungsi". Dan oleh karena itu menurut Wolf, Komando Sekutu menempatkan dirinya dalam posisi yang tidak memungkinkannya sekaligus melaksanakan secara berhasil tugasnya yaitu menerapkan politik "non-intervention" dalam hubungan Republik-Belanda.
No comments:
Post a Comment