Translate

Saturday, February 28, 2015

SEKUTU MEMAKSA BELANDA BERUNDING ( . . . BAGIAN I)

Satu segi dari sikap Sekutu yang positif adalah pendiriannya yang senantiasa menekan Belanda agar bersedia menyelesaikan sengketanya dengan Republik Indonesia secara damai. Hal tersebut telah tercantum dalam keterangan Jenderal Christison ketika Sekutu mendarat. Laksamana Mountbatten kemudian menyatakan bahwa dia bersedia untuk mempercepat pengiriman lebih banyak tentara Sekutu ke Pulau Jawa, jika pemerintah Belanda di Indonesia menunjukkan kesediannya untuk segera memulai pembicaraan dengan Presiden Soekarno dan pengikutnya. Laksamana Mountbatten mengingatkan van der Plas kebijakan pemerintah Inggris dalam menghadapi gerakan kebangsaan di Birma. Pada mulanya, Jenderal Aung San, pemimpin nasional Birma adalah bermusuhan dengan Inggris. Bagaimanapun juga dia akhirnya menyerang Jepang. Lebih-lebih lagi kelompok Presiden Soekarno adalah salah satu gerakan yang tersusun rapi di kalangan kelompok nasionalis Indonesia.

Van der Plas mengutarakan bahwa pemerintahnya sama sekali tidak bersedia berunding dengan Presiden Soekarno. Wakil Belanda itu mengatakan bahwa memperbandingkan antara Republik Indonesia dan Birma kurang tepat, karena Presiden Soekarno tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Jepang. Laksamana Mountbatten menjawab bahwa jika Belanda menolak berunding dengan pemimpin nasionalis Indonesia, dia, pertama akan memerintahkan Jenderal Christison untuk memulai pembicaraan dengan para pemimpin Republik Indonesia. Kedua, Laksamana Mountbatten akan menolak memberikan Belanda bantuan apapun, jika akibat pendiriannya yang menolak berunding, Belanda menghadapi kesulitan yang serius.

Laksamana Mountbatten maupun Jenderal Christison sama-sama bertekad menekankan perlunya perundingan kepada Belanda dan Republik Indonesia, dan menjelaskan betapa penting bagi keduanya untuk menyelesaikan persengketaan dengan damai. Ditekankan bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas Sekutu adalah tergantung pada kecepatan penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu, pembesar-pembesar militer Inggris menyatakan sejelas-jelasnya bahwa penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda harus dengan jalan damai. Juru bicara pemerintah Inggris di London dengan kata-kata yang lebih hati-hati mengulangi pendapat yang sama itu.

Satu hal penting yang menentukan kebijakan Inggris untuk mendesak diadakan perundingan adalah kemenangan Partai Buruh dalam pemilihan umum sesudah Jerman kalah. Partai Buruh tidak dapat mengabaikan semangat gerakan kemerdekaan di Asia, yang terdapat di dalam negeri maupun di luar negeri sebagaimana tercermin dalam pendapat yang diutarakan oleh anggota Parlemen partai Buruh seperti Tom Driberg, Horald Davies dan Woodrow Wyatt.

Dalam keadaan demikian van der Plas maupun Van Mook sendiri mulai ikut menyadari pendirian pemerintah Inggris, pemerintah yang masih diperlukannya. Dan mereka mulai berpendapat perlunya mengadakan perundingan untuk mencapai penyelesaian. Langkah pertama untuk mengatasi jalan buntu tersebut adalah konferensi yang diadakan di Singapura pada 10-11 Oktober 1945. Yang hadir dalam konferensi tersebut ialah Laksamana Mountbatten, Jenderal Christison, Laksamana Muda Patterson, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, Dr. van der Plas dan Vice Admiral Helfrich, Panglima Angkatan Bersenjata Belanda di Timur Jauh.

Komando Asia Tenggara menjelaskan dalam konferensi itu bahwa kebijakan Inggris di Indonesia dipengaruhi dua faktor. Pertama, pemerintah Buruh sangat merasa prihatin terhadap kekerasan yang dilakukan oleh tentara Inggris di Indonesia. Sangat dikhawatirkan berulangnya kembali "Greece Tragedy". Pemerintah Buruh mendesak bahwa dalam melaksanakan tugas Sekutu di Hindia-Belanda, tentara Inggris harus menghindarkan kekerasan sebanyak mungkin. Kedua, Komando Asia Tenggara benar-benar belum siap untuk mengemban tugas yang dipikulkan pada bahunya sesudah Jepang secara mendadak menyerah. Masalahnya terutama terletak pada kekurangan yang sangat gawat dalam fasilitas transpor.

Dalam hal itu, wakil Inggris dan Belanda selanjutnya membicarakan prinsip-prinsip kebijakan umum yang bakal mereka ajukan kepada masing-masing pemerintah untuk disetujui. Telah disepakati pula bahwa pemerintah Belanda di Indonesia adalah satu-satunya penguasa di Indonesia. Sebagai imbalannya Inggris menuntut agar Belanda meninggalkan pendiriannya yang negatif terhadap perundingan politik dengan pemimpin Republik Indonesia. Tanpa konsesi itu Laksamana Mountbatten khawatir bahwa operasi militer yang ditingkatkan oleh tentara Inggris dan India untuk mencapai sasaran yang ditentukan, akan menghadapi kesukaran yang sulit diatasi yang akan datang dari London dan India.

Meskipun Van Mook memprotes tuntutan itu Komando Asia Tenggara tetap bersikeras agar pemimpin dari kelompok Indonesia diundang untuk menghadiri perundingan dan di dalamnya Presiden Soekarno harus diikutsertakan. Dalam keadaan demikian Van Mook tidak dapat berbuat lain bahkan berkesimpulan perundingan dengan pemimpin Republik Indonesia adalah conditio sine qua non demi memperoleh imbalan dari pihak Inggris. Dia kemudian mengajukan usul kepada pemerintahnya di Den Haag untuk meninggalkan sikap keras kepala guna mengadakan perundingan dengan pemimpin Republik Indonesia.

Menyadari sikap kaku Belanda yang enggan berunding dengan pemimpin Republik Indonesia tidak dapat lebih lama dipertahankan, apalagi sesudah menyaksikan pertempuran Surabaya, pemerintah Belanda akhirnya menerima usul Van Mook. Bagaimanapun pemerintah Belanda masih bersikeras bahwa Letnan Gubernur Jenderal mengadakan pembicaraan hanya dengan orang Indonesia yang "baik". Pribadi seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan kolaborator lain dengan Jepang masih belum dapat diterima, karena berunding dengan rezim Presiden Soekarno adalah kurang terhormat dan tidak berguna. Dikemukakan bahwa dasar pembicaraan harus berpangkal tolak pada pidato Ratu Wilhelmina 7 Desember 1942.

Soekarno adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. Menolak untuk berbicara dengannya berarti menolak seluruh hubungan dengan Republik Indonesia. Mempertahankan pendirian itu secara terus menerus akan menimbulkan kesulitan dengan Inggris. Belanda tidak berada dalam keadaan yang dapat mengambil resiko hilangnya goodwill Inggris. Oleh karena itu Van Mook terpaksa mengakui bahwa tidak mungkin baginya untuk mematuhi seluruh perintah Den Haag untuk tidak berunding. (...bersambung ke bagian II)

No comments:

Post a Comment