Translate

Sunday, September 20, 2015

KONTAK DENGAN AMERIKA SERIKAT (BAGIAN 1)

Pendirian pemerintah Amerika Serikat dalam sengketa Indonesia-Belanda pada mulanya tidak menentu dan mengambang. Sikap itu secara berangsur-angsur berubah dan Amerika Serikat mulai mendukung pihak Indonesia, ketika terbukti bahwa Belanda telah nyata-nyata melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan menggunakan kekerasan untuk menindas aspirasi perjuangan bangsa Indonesia.

Meskipun gerakan nasional Indonesia secara luas didukung oleh pendapat umum Amerika Serikat, karena simpati rakyat telah tertanam secara tradisional terhadap perjuangan rakyat tertindas melawan penjajah, namun secara resmi pemerintah Truman tidak ingin memohjokkan pemerintah Belanda dalam sengketa Indonesia-Belanda.

Perhatian State Department ketika itu tertuju lebih banyak pada masalah Eropa Barat dibanding dengan masalah Asia sebagai akibat kebijakan pengepungan (containment policy) terhadap ancaman pengaruh komunis di Eropa Barat segera sesudah perang berakhir.

Dalam rangka strategi kebijakan pengepungan itu, Eropa Barat dianggap sebagai benteng utama terhadap ekspansi komunis ke Barat. Blokade Berlin, Doktrin Truman untuk Turki dan Yunani, perundingan untuk membentuk NATO (Pakta Pertahan Atlantik Utara) adalah bukti-bukti nyata politik luar negeri Amerika Serikat dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dalam rangka kebijakan politik luar negeri ini, peran Belanda sebagai Sekutu yang setia dan posisinya dalam cetak biru (blueprint) State Department tidak ingin merugikan pemerintah Belanda dengan mengambil sikap terlalu pro-Indonesia dalam sengketa Indonesia-Belanda.

Dalam kontak pertama antara pemerintah Belanda dan pemerintah Republik Indonesia di bawah pengawasan Inggris, Amerika Serikat tidak campur tangan. Dianggapnya hal ini sebagai kewajiban pemerintah Inggris untuk membantu pihak-pihak yang bertengkar mencari penyelesaian, karena menurut Perjanjian Sekutu, Komando Asia Tenggara di bawah Laksamana Mountbatten bertanggung jawab melikuidasi pasukan pendudukan Jepang di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan mencari penyelesaian politik yang tepat.

Namun ketika pemerintah Belanda melancarkan Aksi Militer Pertamanya terhadap Republik Indonesia dan dalam melakukan hal itu melanggar Persetujuan Linggajati, juga ketika masalah Indonesia itu diletakkan di bawah juridiksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Amerika Serikat mulai terlibat dan sebagai anggota Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai memainkan peranan dalam mencari penyelesaian soal tersebut.

Pendirian Amerika Serikat nampaknya ditujukan untuk mencapai selekas mungkin satu penyelesaian yang mudah dan damai yang akan dapat memuaskan aspirasi bangsa Indonesia, namun sekaligus tidak banyak menyulitkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu Amerika Serikat mendukung resolusi gencatan senjata yang disponsori Australia. Tetapi menentang gagasan untuk menyelesaikan sengketa Indonesia itu melalui arbitrasi sesuai usulan Australia dan ditentang keras oleh Belanda.

Di samping itu wakil Amerika Serikat mengajukan resolusi lain untuk membentuk Komisi Jasa-Jasa Baik yang terdiri dari tiga anggota Dewan, masing-masing pihak memilih satu dan yang ketiga dipilih oleh kedua anggota terpilih. Resolusi ini yang diterima pada 25 Agustus 1947, mempunyai dua tujuan. Pertama, membuka kemungkinan bagi Amerika Serikat untuk dipilih sebagai anggota ketiga dari Komisi itu dan dengan demikian akan terlibat dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda. Kedua, resolusi itu akan mencegah satu resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih mencerminkan keinginan pemerintah Belanda.

Perundingan berikutnya antara pemerintah Belanda dan Republik Indonesia di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akhirnya menghasilkan Persetujuan Renville, terlaksana sebagai hasil tekanan kuat dari wakil Amerika Serikat, Frank Graham atas instruksi State Department. Republik Indonesia dalam perundingan tersebut menerima apa yang disebut garis van Mook - yaitu garis status quo tapal batas militer yang terbentuk sesudah agresi milter Belanda - dan setuju menarik mundur pasukan militer serta pasukan gerilya dari kantong-kantong pertahanan di wilayah Republik Indonesia yang diduduki Belanda.

Hal ini merupakan pil yang sangat pahit untuk ditelan oleh pemerintah Republik Indonesia. Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir dan partai-partai politik menentang Amir Sjarifuddin karena menandatangani persetujuan tersebut sehingga menyebabkan jatuhnya kabinet Sjarifuddin. Sjarifuddin tidak berdaya menghadapi tekanan kuat Amerika Serikat dan jaminan Komisi Jasa-Jasa Baik bahwa perintah gencatan senjata adalah bagian dari package deal yang mencakup penyelesaian politik sengketa Indonesia seperti diuraikan dalam enam butir tambahan Komisi Jasa-Jasa Baik yang dirangkum dalam Persetujuan Renville.

Kemudian ternyata Belanda melanggar pula Persetujuan Renville. Sambil menginjak-injak prinsip-prinsip persetujuan itu dan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk memaksakan penyelesaian sepihak dalam sengketa Indonesia-Belanda. Dalam intervensi saat-saat terakhir untuk mencegah bencana, wakil Amerika Serikat, Merle Cochran, mengajukan apa yang disebut usulan balasannya, tetapi usul itu ditolak oleh Wakil Tinggi Mahkota dan Belanda masih tetap melakukan persiapan aksi militernya.

Cara wakil Belanda di Jakarta mengajukan ultimatumnya kepada pemerintah Republik Indonesia beberapa jam sebelum melancarkan aksi militernya dan mengakhiri perintah gencatan senjata secara sepihak sangat mengecewakan Amerika Serikat termasuk mereka yang tergolong sangat gigih mendukung Belanda di State Department. Sikap pemerintah Belanda yang terus membangkang terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melakukan aksi militernya ini mulai menimbulkan rasa kurang senang di Washington terhadap kebijakan Belanda di Indonesia.

Sementara itu State Department Amerika Serikat nampaknya masih terikat pada kebijakan untuk memberikan prioritas utama terhadap pembangunan kekuatan militer dan ekonomi Eropa Barat. Meskipun mereka sangat tidak menyetujui tindakan Belanda dan mendongkol terhadap pembangkangan Belanda untuk menaati keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat keengganan umum di kalangan banyak pejabat tinggi State Department untuk menerapkan sanksi terhadap Belanda yang dapat melemahkan ekonomi Belanda. Pada gilirannya hal itu dapat merusak ekonomi Eropa Barat secara keseluruhan yang sedang diupayakan membangunnya.

Tapi sejak pertengahan 1948, State Department secara berangsur beralih kepada suatu apresiasi yang lebih baik terhadap Republik Indonesia. Suatu peralihan yang disebabkan oleh sebuah kombinasi alasan dan kekuatan. Dengan adanya kemajuan komunisme di negeri Cina, negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara nampaknya memasuki front perbatasan komunis yang sedang bergerak maju. Ini membuat Amerika Serikat lebih berhati-hati lagi untuk tidak memusuhi sentimen-sentimen di daerah ini. Ditambah, perkembangan intern di dalam Republik Indonesia membuktikan bahwa pertualangan komunis dapat diselesaikannya sendiri. Sejak saat itu, gagasan untuk memperkuat pemerintahan Hatta yang moderat menjadi garis pedoman utama dalam kebijakan Amerika Serikat.

(... bersambung)

Saturday, September 19, 2015

SIKAP PEMERINTAH AUSTRALIAN LABOUR PARTY TERHADAP INDONESIA (BAGIAN 2)

(... lanjutan)

Keraguan terhadap kemampuan pemerintah Hindia Belanda di pasca perang menjamin kestabilan wilayah di Hindia Belanda, di tempat gerakan nasionalis sedang berkembang dengan hebatnya, sering membuat kalangan pemerintah Australia bersikap maju-mundur. Keinginan Australia untuk melakukan kerja sama dan hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda mencerminkan upaya penyesuaian sikap anti-kolonialisme Partai Buruh dengan kepentingan pertahanan Australia dalam suatu pendekatan yang memberikan prioritas bagi adanya suatu kebijakan bertetangga baik.

Ketika menekankan pendekatan Australia secara bertahap hubungan dengan rakyat Asia Tenggara yang baru bangkit secara politis, Evatt menambahkan :
"Australia berkepentingan langsung dengan perkembangan-perkembangan politik ini serta akibat-akibatnya. Begitu rakyat Asia Tenggara melepaskan diri dari penjajahan atas keputusan pemerintah-pemerintah di Eropa, maka kepentingan Australia terhadap negara-negara Asia Tenggara semakin meningkat."

Menjelang tahun 1945 jelas bahwa pemerintah Australia telah bergerak agak jauh dari netralitas semula ke suatu posisi yang lebih simpatik terhadap pihak Republik Indonesia. Meskipun dilakukan tidak begitu pasti. Hanya dengan Persetujuan Linggajati memberikan status de facto kepada Republik , Departemen Luar Negeri Australia mulai mendorong berkembangnya hubungan resmi antara pemerintah Australia dan pemerintah Republik Indonesia.

Di dalam tubuh pemerintah sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai kecepatan dan sampai sejauh mana Australia harus mendukung Republik Indonesia. Dengan tumbuhnya sikap Belanda yang semakin serakah, keinginan pemerintah Australia untuk membantu Republik Indonesia semakin tumbuh. Pada bulan Maret 1946 H.V. Evatt menegaskan secara terbuka dukungan pemerintah Australia bagi diwujudkannya pemerintah sendiri oleh rakyat Indonesia.

Pemerintah ALP senantuasa menginginkan penyelesaian damai dalam sengketa Hindia - Belanda antara kedua pihak. Oleh karena itu ketika pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk menyelesaikannya dengan cara kekerasan dan melancarkan operasi militer pada 21 Juli 1947 dengan mengabaikan Persetujuan Linggajati, dukungan pemerintah Buruh Australia terhadap Republik Indonesia semakin bertambah pasti. Bahkan membawa persoalan itu ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama-sama India.

Ketika resolusi Amerika Serikat yang berisi tawaran jasa baik kepada kedua pihak dan menawarkan, jika diminta, untuk membantu dalam menyelesaikan pertikaian melalui satu komisi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsam diterima pada 25 Agustus 1947, maka lahirlah Komisi Jasa-Jasa Baik (Good Offices Committee). Komisi itu terdiri dari tiga anggota, masing-masing pihak menunjuk satu anggota dan anggota ketiga ditunjuk oleh kedua anggota lainnya. Australia ditunjuk Indonesia untuk menjadi anggota Komisi Jasa-Jasa Baik. Sejak Australia bersedia menerima tawaran Indonesia itu, maka praktis Australia bersedia menjadi pendukung Republik Indonesia yang menonjol selama tahun 1947-1949, dukungan untuk Republik Indonesia tidak terbantah.

Di dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Australia terus memperjuangkan kepentingan-kepentingan Republik Indonesia. Pada 12 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima satu usulan, yang sebelumnya telah diperdebatkan oleh Australia pada 31 Juli 1947, yaitu bahwa wakil Republik Indonesia hendaknya diperbolehkan mengikuti perdebatan-perdebatan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang masalah Indonesia. Australia secara persuasif berupaya meyakinkan bahwa walaupun Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mengakui Republik Indonesia sebagai satu negara menurut hukum Internasional, namun Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui bahwa Republik Indonesia adalah satu pihak yang berselisih.

Ketika Belanda melancarkan Aksi Militer Kedua bulan Desember 1948, Australia menentang upaya militer Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia, yang oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa diakui sebagai satu pihak yang mempunyai kedudukan sederajat dalam persengketaan Indonesia-Belanda. Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Australia memberikan dukungan yang besar kepada Republik Indonesia, dan secara umum membantu menarik perhatian internasional terhadap sengketa yang belum terselesaikan itu. Sebagai pihak yang dipilih oleh Republik Indonesia untuk menjadi anggota Komisi Jasa-Jasa Baik, Australia secara sungguh-sungguh melindungi Republik Indonesia, baik dalam Dewan Keamanan itu maupun dalam Komisi Tiga Negara. Secara historis sampai berlangsungnya Konferensi Meja Bundar, Australia telah mencapai satu hubungan khusus dengan Indonesia.

SIKAP PEMERINTAH AUSTRALIAN LABOUR PARTY TERHADAP INDONESIA (BAGIAN 1)

Pada tahap permulaan, pendirian pemerintah buruh Australia terhadap Indonesia dinyatakan oleh dua juru bicara yang berbeda. Perdana Menteri J.B. Chifley dan Menteri Luar Negeri H.V. Evatt, yang kadang-kadang tidak berbicara dalam bahasa yang sama.

Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri, Evatt menjabat hakim Mahkamah Tinggi Australia, dengan latar belakang karir hukum yang mengesankan.

Di lain pihak, Perdana Menteri Chifley  merupakan contoh khas orang Serikat Buruh, yang merangkak ke puncak dengan lambat, melalui gerakan Serikat Buruh. Meski dia berbeda dari H.V. Evatt baik dari segi pengetahuan maupun pengalaman di bidang internasional, pernyataan-pernyataan J.B. Chifley tentang kolonialisme mencerminkan antagonisme yang lebih kuat daripada yang bisa diharapkan dari Evatt.

Pandangan J.B. Chifley mengenai kebijakan Belanda di Indonesia sebelum Perang Dunia II tidaklah menyenangkan. Pandangan itu katanya, "hidup sangat mendalam meresapnya Gerakan Serikat Buruh yang tidak jarang dianut oleh beberapa orang komunis." Dia percaya bahwa situasi sebelum perang tidak akan berulah lagi dan bahwa Belanda sudah ditampik oleh gelombang nasionalisme Indonesia.
Dia juga mengingatkan untuk tidak memandang rendah kekuatan nasionalisme Asia, terutama bila menyangkut Indonesia dan India, yang tidak boleh dilihat sebagai pengejawantahan komunisme. Chifley juga membuat perbandingan antara kebijakan uang dijalankan Belanda dan Inggris pada masa sebelum perang di Asia :
"Jika saja Inggris tidak memberikan kemerdekaan kepada India, Pakistan dan Srilanka, seluruh dunia Timur akan menyala dalam api hari ini"

Sementara itu, Evatt mengambil sikap yang resmi dan berhati-hati. Tanggapannya terhadap masalah Indonesia sesuai dengan pandangan-pandangannya mengenai prinsip-prinsip umum Piagam Perserikatan  Bangsa-Bangsa, terutama yang berkenaan dengan hak untuk memerintah negeri sendiri dan penyelesaian sengketa melalui jalan damai. Karena itu ia lebih cenderung pada perkembangan bertahap dalam penyelesaian masalah Indonesia. Pada 3 Maret  1946 ia menyatakan di depan parlemen:
"Garis-garis penyelesaian yang mungkin ditempuh... tersirat dalam pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengikat setiap anggota agar berusaha membantu rakyatnya yang tergantung untuk menumbuhkan nasib sendiri... Usulan paling akhir dari pemerintah Hindia Belanda nampaknya... merupakan kemajuan besar menuju sebuah penyelesaian yang memuaskan. Sementara kedaulatan Belanda tetap dipelihara, diaturlah syarat-syarat untuk sebuah peningkatan pemerintah lokal."

Sikap berhati-hati itu mungkin bertolak dari pertimbangan bahwa dukungan yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia pada saat itu tidaklah bijaksana, karena dapat menutup jalan bagi pilihan-pilihan alternatif, andaikata diperlukan sebuah peninjauan kembali terhadap situasi. Seperti yang ditulis The Economist :
"Paling tidak Evatt bersikap hati-hati untuk tidak mengikatkan pemerintahannya sedemikian jauh, sehingga tak bisa surut kembali."

Pendirian H.V. Evatt mulai bergeser dengan makin majunya perundingan antara Belanda dan Indonesia. Pada 3 September 1942, Menteri Luar Negeri Evatt mengumumkan bahwa pemerintah Australia menganut pandangan anti-kolonial seperti yang telah dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam Piagam Atlantik. Ia menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang luas dari Piagam tersebut akan menjadi patokan masa depan wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. 
Namun pertimbangan keamanan selalu mempengaruhi pendiriannya terhadap pemerintah Hindia Belanda yang berdomisili di Australia selama Perang Pasifik dan di masa pasca perang akan dapat menciptakan stabilitas di Hindia Belanda. Pemerintah ALP (Australian Labour Party) dan umumnya pemerintah Australia sebelumnya senantiasa menginginkan adanya wilayah aman dan stabil di sebelah utara yang dapat memayungi Australia dengan mencegah kemungkinan ancaman yang datang dari arah itu.

(... BERSAMBUNG KE BAGIAN 2)

Tuesday, September 1, 2015

KEGIATAN MASYARAKAT INDONESIA DI AUSTRALIA

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, agitasi politik terhadap Belanda di Australia mencapai titik puncaknya. Kegiatan itu digalakkan oleh berita-berita yang diterima di Australia tentang rencana para penguasa Belanda untuk menduduki kembali wilayah Indonesia Timur, yang tidak mau menerima hubungan politik yang berbeda antara Indoensia dan Belanda kecuali dalam kerangka kerja Hindia Belanda sebelum perang.

Titik pusat agitasi politik melawan Belanda di Australia adalah klub-klub dan serikat-serikat Indonesia yang kemudian tergabung di dalam Indonesian Independence Committee. Aksi-aksi dikoordinasikan oleh Central Committee of Indonesian Independence (CENKIM) yang berkantor di Brisbane. Kota itu dipilih karena pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan juga berkantor di sana. Tambahan pula di Brisbane banyak tinggal orang Indonesia, entah di kamp-kamp militer yang berdekatan, maupun bekerja di kapal-kapal Belanda yang berlabuh di sekitar kawasan itu.

Upaya-upaya Indonesian Independence Committee dibantu oleh para aktivis Australian-Indonesian Association, yang didirikan di Sydney, Juli 1945, dan yang kemudian gigih sekali mendukung Republik Indonesia. Asosiasi ini menggalang dukungan untuk Indonesia di luar spektrum politik sayap kiri. Di antara pemimpin eksekutifnya terdapat A.H. Elkin (guru besar antropologi pada Universitas Sydney), Uskup Cranwick dari Gereja Inggris, Guy Anderson (Sekretaris Dewan Perdagangan dan Buruh New South Wales), G. Goddard (pengusaha terkemuka di Sydney) dan wakil-wakil dari berbagai organisasi wanita. Kegiatan Asosiasi meliputi penyiaran program-program pro-Indonesa melalui stasiun-stasiun Radio di Sydney, dan pencetakan serta peredaran 20.000 eksemplar Manifesto Politik Republik Indonesia yang dikeluarkan CENKIM (Komite Central bagi Kemerdekaan Indonesia) 1 September 1945, dengan tujuan mengajak seluruh orang Indonesia di Australia menentang Belanda.

Agitasi politik melawan Belanda diarahkan pada dua sasaran : kapal-kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan Australia dan pembangunan kekuatan militer Belanda. Tujuannya ialah menghalangi pengangkutan personil militer dan alat perang Belanda ke Indonesia, serta mengganggu pelatihan-pelatihan dan persiapan militer yang dilakukan Belanda utnuk memulihkan kekuasaannya di Indonesia.

Melalui kontak-kontaknya yang terdahulu dengan WWF di beberapa kota Australia, para veteran Tanah Merah melalui organisasi mereka, Indonesian Political Exile's Association tampil efektif mengimbau serikat-serikat buruh untuk melancarkan pemboikotan terhadap semua kapal-kapal Belanda yang mengangkut piranti keras militer yang mungkin digunakan untuk menindas Republik Indonesia.

Asosiasi itu melengkapi elemen sayap kiri agitasi politik melawan Belanda. Untuk memancing dukungan yang luas dari serikat-serikat buruh Australia, para pemimpin Asosiasi sepakat dengan pejabat WWF, agar pemogokan dilancarkan berdasarkan aturan hukum. Kiat taktis ini secara tidak langsung menambahkan, bahwa di samping imbauan untuk mendukung Republik Indonesia, tema pemogokan dipusatkan pada penundaan gaji yang muncul sebagai akibat "Maklumat No.2" serta tuntutan skala gaji yang sama antara pelaut-pelaut Indonesia dan rekan-rekan mereka yang berkebangsaan Belanda.

Sama efektifya adalah aksi-aksi yang diprakarsai oleh elemen-elemen di luar sayap kiri, terutama yang dilancarkan melalui Komite Sentral bagi Kemerdekaan Indonesia (Central Committee of Indonesian Independence). Aksi-aksi itu ditujukan terhadap orang-orang Indonesia yang tidak berorientasi politik, yang bekerja di Angkatan Bersenjata Belanda. Mereka didesak untuk memutuskan hubungan-hubungannya dengan Belanda.

Pada 12 September 1945, terjadi kerusuhan di antara para wajib militer Indonesi di Casino. Pada 17 September 1945 dilaporkan, 104 orang diantara mereka dijebloskan ke dalam penjara. Dua hari kemudian. laporan-laporan yang diterima Dewan Perdagangan dan Buruh Queensland menyatakan bahwa 100 orang Indonesia lagi ditangkap di Casino setelah Batalyon Teknis Indonesia melakukan pembangkangan pada 15 September 1945.

Para wajib militer Indonesia yang tidak ditangkap juga dilucuti senjatanya. Di kamp Wacol, tempat markas besar Pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan, 230 serdadu asal Indonesia memberikan dukungan terhadap Republik Indonesia. Di kamp Lytton, 240 orang Indonesia ditangkap, dan 100 orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara Geelong. Hingga 1 Oktober 1945, 470 pembangkang Indonesia ditahan di penjara-penjara kecil di sekitar Casino.

Kegiatan masyarakat Indonesia di Australia, baik pelaut yang bekerja di kapal-kapal Belanda, maupun pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang bekerja pada instansi pemerintah Hindia Belanda sebagai serdadu atau pegawai sipil, serta bekas pejuang Indonesia yang dibuang ke Digul dan di masa perang diungsikan Belanda ke Australia dan lain-lain, semuanya ikut berjasa membela negara proklamasi bersama-sama orang-orang Australia yang mempunyai simpati besar terhadap Republik Indonesia.