Pendirian pemerintah Amerika Serikat dalam sengketa Indonesia-Belanda pada mulanya tidak menentu dan mengambang. Sikap itu secara berangsur-angsur berubah dan Amerika Serikat mulai mendukung pihak Indonesia, ketika terbukti bahwa Belanda telah nyata-nyata melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan menggunakan kekerasan untuk menindas aspirasi perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun gerakan nasional Indonesia secara luas didukung oleh pendapat umum Amerika Serikat, karena simpati rakyat telah tertanam secara tradisional terhadap perjuangan rakyat tertindas melawan penjajah, namun secara resmi pemerintah Truman tidak ingin memohjokkan pemerintah Belanda dalam sengketa Indonesia-Belanda.
Perhatian State Department ketika itu tertuju lebih banyak pada masalah Eropa Barat dibanding dengan masalah Asia sebagai akibat kebijakan pengepungan (containment policy) terhadap ancaman pengaruh komunis di Eropa Barat segera sesudah perang berakhir.
Dalam rangka strategi kebijakan pengepungan itu, Eropa Barat dianggap sebagai benteng utama terhadap ekspansi komunis ke Barat. Blokade Berlin, Doktrin Truman untuk Turki dan Yunani, perundingan untuk membentuk NATO (Pakta Pertahan Atlantik Utara) adalah bukti-bukti nyata politik luar negeri Amerika Serikat dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut.
Dalam rangka kebijakan politik luar negeri ini, peran Belanda sebagai Sekutu yang setia dan posisinya dalam cetak biru (blueprint) State Department tidak ingin merugikan pemerintah Belanda dengan mengambil sikap terlalu pro-Indonesia dalam sengketa Indonesia-Belanda.
Dalam kontak pertama antara pemerintah Belanda dan pemerintah Republik Indonesia di bawah pengawasan Inggris, Amerika Serikat tidak campur tangan. Dianggapnya hal ini sebagai kewajiban pemerintah Inggris untuk membantu pihak-pihak yang bertengkar mencari penyelesaian, karena menurut Perjanjian Sekutu, Komando Asia Tenggara di bawah Laksamana Mountbatten bertanggung jawab melikuidasi pasukan pendudukan Jepang di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan mencari penyelesaian politik yang tepat.
Namun ketika pemerintah Belanda melancarkan Aksi Militer Pertamanya terhadap Republik Indonesia dan dalam melakukan hal itu melanggar Persetujuan Linggajati, juga ketika masalah Indonesia itu diletakkan di bawah juridiksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Amerika Serikat mulai terlibat dan sebagai anggota Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai memainkan peranan dalam mencari penyelesaian soal tersebut.
Pendirian Amerika Serikat nampaknya ditujukan untuk mencapai selekas mungkin satu penyelesaian yang mudah dan damai yang akan dapat memuaskan aspirasi bangsa Indonesia, namun sekaligus tidak banyak menyulitkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu Amerika Serikat mendukung resolusi gencatan senjata yang disponsori Australia. Tetapi menentang gagasan untuk menyelesaikan sengketa Indonesia itu melalui arbitrasi sesuai usulan Australia dan ditentang keras oleh Belanda.
Di samping itu wakil Amerika Serikat mengajukan resolusi lain untuk membentuk Komisi Jasa-Jasa Baik yang terdiri dari tiga anggota Dewan, masing-masing pihak memilih satu dan yang ketiga dipilih oleh kedua anggota terpilih. Resolusi ini yang diterima pada 25 Agustus 1947, mempunyai dua tujuan. Pertama, membuka kemungkinan bagi Amerika Serikat untuk dipilih sebagai anggota ketiga dari Komisi itu dan dengan demikian akan terlibat dalam penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda. Kedua, resolusi itu akan mencegah satu resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih mencerminkan keinginan pemerintah Belanda.
Perundingan berikutnya antara pemerintah Belanda dan Republik Indonesia di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akhirnya menghasilkan Persetujuan Renville, terlaksana sebagai hasil tekanan kuat dari wakil Amerika Serikat, Frank Graham atas instruksi State Department. Republik Indonesia dalam perundingan tersebut menerima apa yang disebut garis van Mook - yaitu garis status quo tapal batas militer yang terbentuk sesudah agresi milter Belanda - dan setuju menarik mundur pasukan militer serta pasukan gerilya dari kantong-kantong pertahanan di wilayah Republik Indonesia yang diduduki Belanda.
Hal ini merupakan pil yang sangat pahit untuk ditelan oleh pemerintah Republik Indonesia. Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir dan partai-partai politik menentang Amir Sjarifuddin karena menandatangani persetujuan tersebut sehingga menyebabkan jatuhnya kabinet Sjarifuddin. Sjarifuddin tidak berdaya menghadapi tekanan kuat Amerika Serikat dan jaminan Komisi Jasa-Jasa Baik bahwa perintah gencatan senjata adalah bagian dari package deal yang mencakup penyelesaian politik sengketa Indonesia seperti diuraikan dalam enam butir tambahan Komisi Jasa-Jasa Baik yang dirangkum dalam Persetujuan Renville.
Kemudian ternyata Belanda melanggar pula Persetujuan Renville. Sambil menginjak-injak prinsip-prinsip persetujuan itu dan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk memaksakan penyelesaian sepihak dalam sengketa Indonesia-Belanda. Dalam intervensi saat-saat terakhir untuk mencegah bencana, wakil Amerika Serikat, Merle Cochran, mengajukan apa yang disebut usulan balasannya, tetapi usul itu ditolak oleh Wakil Tinggi Mahkota dan Belanda masih tetap melakukan persiapan aksi militernya.
Cara wakil Belanda di Jakarta mengajukan ultimatumnya kepada pemerintah Republik Indonesia beberapa jam sebelum melancarkan aksi militernya dan mengakhiri perintah gencatan senjata secara sepihak sangat mengecewakan Amerika Serikat termasuk mereka yang tergolong sangat gigih mendukung Belanda di State Department. Sikap pemerintah Belanda yang terus membangkang terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melakukan aksi militernya ini mulai menimbulkan rasa kurang senang di Washington terhadap kebijakan Belanda di Indonesia.
Sementara itu State Department Amerika Serikat nampaknya masih terikat pada kebijakan untuk memberikan prioritas utama terhadap pembangunan kekuatan militer dan ekonomi Eropa Barat. Meskipun mereka sangat tidak menyetujui tindakan Belanda dan mendongkol terhadap pembangkangan Belanda untuk menaati keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat keengganan umum di kalangan banyak pejabat tinggi State Department untuk menerapkan sanksi terhadap Belanda yang dapat melemahkan ekonomi Belanda. Pada gilirannya hal itu dapat merusak ekonomi Eropa Barat secara keseluruhan yang sedang diupayakan membangunnya.
Tapi sejak pertengahan 1948, State Department secara berangsur beralih kepada suatu apresiasi yang lebih baik terhadap Republik Indonesia. Suatu peralihan yang disebabkan oleh sebuah kombinasi alasan dan kekuatan. Dengan adanya kemajuan komunisme di negeri Cina, negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara nampaknya memasuki front perbatasan komunis yang sedang bergerak maju. Ini membuat Amerika Serikat lebih berhati-hati lagi untuk tidak memusuhi sentimen-sentimen di daerah ini. Ditambah, perkembangan intern di dalam Republik Indonesia membuktikan bahwa pertualangan komunis dapat diselesaikannya sendiri. Sejak saat itu, gagasan untuk memperkuat pemerintahan Hatta yang moderat menjadi garis pedoman utama dalam kebijakan Amerika Serikat.
(... bersambung)
No comments:
Post a Comment