Pada tahap permulaan, pendirian pemerintah buruh Australia terhadap Indonesia dinyatakan oleh dua juru bicara yang berbeda. Perdana Menteri J.B. Chifley dan Menteri Luar Negeri H.V. Evatt, yang kadang-kadang tidak berbicara dalam bahasa yang sama.
Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri, Evatt menjabat hakim Mahkamah Tinggi Australia, dengan latar belakang karir hukum yang mengesankan.
Di lain pihak, Perdana Menteri Chifley merupakan contoh khas orang Serikat Buruh, yang merangkak ke puncak dengan lambat, melalui gerakan Serikat Buruh. Meski dia berbeda dari H.V. Evatt baik dari segi pengetahuan maupun pengalaman di bidang internasional, pernyataan-pernyataan J.B. Chifley tentang kolonialisme mencerminkan antagonisme yang lebih kuat daripada yang bisa diharapkan dari Evatt.
Pandangan J.B. Chifley mengenai kebijakan Belanda di Indonesia sebelum Perang Dunia II tidaklah menyenangkan. Pandangan itu katanya, "hidup sangat mendalam meresapnya Gerakan Serikat Buruh yang tidak jarang dianut oleh beberapa orang komunis." Dia percaya bahwa situasi sebelum perang tidak akan berulah lagi dan bahwa Belanda sudah ditampik oleh gelombang nasionalisme Indonesia.
Dia juga mengingatkan untuk tidak memandang rendah kekuatan nasionalisme Asia, terutama bila menyangkut Indonesia dan India, yang tidak boleh dilihat sebagai pengejawantahan komunisme. Chifley juga membuat perbandingan antara kebijakan uang dijalankan Belanda dan Inggris pada masa sebelum perang di Asia :
"Jika saja Inggris tidak memberikan kemerdekaan kepada India, Pakistan dan Srilanka, seluruh dunia Timur akan menyala dalam api hari ini"
Sementara itu, Evatt mengambil sikap yang resmi dan berhati-hati. Tanggapannya terhadap masalah Indonesia sesuai dengan pandangan-pandangannya mengenai prinsip-prinsip umum Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama yang berkenaan dengan hak untuk memerintah negeri sendiri dan penyelesaian sengketa melalui jalan damai. Karena itu ia lebih cenderung pada perkembangan bertahap dalam penyelesaian masalah Indonesia. Pada 3 Maret 1946 ia menyatakan di depan parlemen:
"Garis-garis penyelesaian yang mungkin ditempuh... tersirat dalam pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengikat setiap anggota agar berusaha membantu rakyatnya yang tergantung untuk menumbuhkan nasib sendiri... Usulan paling akhir dari pemerintah Hindia Belanda nampaknya... merupakan kemajuan besar menuju sebuah penyelesaian yang memuaskan. Sementara kedaulatan Belanda tetap dipelihara, diaturlah syarat-syarat untuk sebuah peningkatan pemerintah lokal."
Sikap berhati-hati itu mungkin bertolak dari pertimbangan bahwa dukungan yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia pada saat itu tidaklah bijaksana, karena dapat menutup jalan bagi pilihan-pilihan alternatif, andaikata diperlukan sebuah peninjauan kembali terhadap situasi. Seperti yang ditulis The Economist :
"Paling tidak Evatt bersikap hati-hati untuk tidak mengikatkan pemerintahannya sedemikian jauh, sehingga tak bisa surut kembali."
Pendirian H.V. Evatt mulai bergeser dengan makin majunya perundingan antara Belanda dan Indonesia. Pada 3 September 1942, Menteri Luar Negeri Evatt mengumumkan bahwa pemerintah Australia menganut pandangan anti-kolonial seperti yang telah dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam Piagam Atlantik. Ia menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang luas dari Piagam tersebut akan menjadi patokan masa depan wilayah Pasifik dan Asia Tenggara.
Namun pertimbangan keamanan selalu mempengaruhi pendiriannya terhadap pemerintah Hindia Belanda yang berdomisili di Australia selama Perang Pasifik dan di masa pasca perang akan dapat menciptakan stabilitas di Hindia Belanda. Pemerintah ALP (Australian Labour Party) dan umumnya pemerintah Australia sebelumnya senantiasa menginginkan adanya wilayah aman dan stabil di sebelah utara yang dapat memayungi Australia dengan mencegah kemungkinan ancaman yang datang dari arah itu.
(... BERSAMBUNG KE BAGIAN 2)
No comments:
Post a Comment