Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, agitasi politik terhadap Belanda di Australia mencapai titik puncaknya. Kegiatan itu digalakkan oleh berita-berita yang diterima di Australia tentang rencana para penguasa Belanda untuk menduduki kembali wilayah Indonesia Timur, yang tidak mau menerima hubungan politik yang berbeda antara Indoensia dan Belanda kecuali dalam kerangka kerja Hindia Belanda sebelum perang.
Titik pusat agitasi politik melawan Belanda di Australia adalah klub-klub dan serikat-serikat Indonesia yang kemudian tergabung di dalam Indonesian Independence Committee. Aksi-aksi dikoordinasikan oleh Central Committee of Indonesian Independence (CENKIM) yang berkantor di Brisbane. Kota itu dipilih karena pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan juga berkantor di sana. Tambahan pula di Brisbane banyak tinggal orang Indonesia, entah di kamp-kamp militer yang berdekatan, maupun bekerja di kapal-kapal Belanda yang berlabuh di sekitar kawasan itu.
Upaya-upaya Indonesian Independence Committee dibantu oleh para aktivis Australian-Indonesian Association, yang didirikan di Sydney, Juli 1945, dan yang kemudian gigih sekali mendukung Republik Indonesia. Asosiasi ini menggalang dukungan untuk Indonesia di luar spektrum politik sayap kiri. Di antara pemimpin eksekutifnya terdapat A.H. Elkin (guru besar antropologi pada Universitas Sydney), Uskup Cranwick dari Gereja Inggris, Guy Anderson (Sekretaris Dewan Perdagangan dan Buruh New South Wales), G. Goddard (pengusaha terkemuka di Sydney) dan wakil-wakil dari berbagai organisasi wanita. Kegiatan Asosiasi meliputi penyiaran program-program pro-Indonesa melalui stasiun-stasiun Radio di Sydney, dan pencetakan serta peredaran 20.000 eksemplar Manifesto Politik Republik Indonesia yang dikeluarkan CENKIM (Komite Central bagi Kemerdekaan Indonesia) 1 September 1945, dengan tujuan mengajak seluruh orang Indonesia di Australia menentang Belanda.
Agitasi politik melawan Belanda diarahkan pada dua sasaran : kapal-kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan Australia dan pembangunan kekuatan militer Belanda. Tujuannya ialah menghalangi pengangkutan personil militer dan alat perang Belanda ke Indonesia, serta mengganggu pelatihan-pelatihan dan persiapan militer yang dilakukan Belanda utnuk memulihkan kekuasaannya di Indonesia.
Melalui kontak-kontaknya yang terdahulu dengan WWF di beberapa kota Australia, para veteran Tanah Merah melalui organisasi mereka, Indonesian Political Exile's Association tampil efektif mengimbau serikat-serikat buruh untuk melancarkan pemboikotan terhadap semua kapal-kapal Belanda yang mengangkut piranti keras militer yang mungkin digunakan untuk menindas Republik Indonesia.
Asosiasi itu melengkapi elemen sayap kiri agitasi politik melawan Belanda. Untuk memancing dukungan yang luas dari serikat-serikat buruh Australia, para pemimpin Asosiasi sepakat dengan pejabat WWF, agar pemogokan dilancarkan berdasarkan aturan hukum. Kiat taktis ini secara tidak langsung menambahkan, bahwa di samping imbauan untuk mendukung Republik Indonesia, tema pemogokan dipusatkan pada penundaan gaji yang muncul sebagai akibat "Maklumat No.2" serta tuntutan skala gaji yang sama antara pelaut-pelaut Indonesia dan rekan-rekan mereka yang berkebangsaan Belanda.
Sama efektifya adalah aksi-aksi yang diprakarsai oleh elemen-elemen di luar sayap kiri, terutama yang dilancarkan melalui Komite Sentral bagi Kemerdekaan Indonesia (Central Committee of Indonesian Independence). Aksi-aksi itu ditujukan terhadap orang-orang Indonesia yang tidak berorientasi politik, yang bekerja di Angkatan Bersenjata Belanda. Mereka didesak untuk memutuskan hubungan-hubungannya dengan Belanda.
Pada 12 September 1945, terjadi kerusuhan di antara para wajib militer Indonesi di Casino. Pada 17 September 1945 dilaporkan, 104 orang diantara mereka dijebloskan ke dalam penjara. Dua hari kemudian. laporan-laporan yang diterima Dewan Perdagangan dan Buruh Queensland menyatakan bahwa 100 orang Indonesia lagi ditangkap di Casino setelah Batalyon Teknis Indonesia melakukan pembangkangan pada 15 September 1945.
Para wajib militer Indonesia yang tidak ditangkap juga dilucuti senjatanya. Di kamp Wacol, tempat markas besar Pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan, 230 serdadu asal Indonesia memberikan dukungan terhadap Republik Indonesia. Di kamp Lytton, 240 orang Indonesia ditangkap, dan 100 orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara Geelong. Hingga 1 Oktober 1945, 470 pembangkang Indonesia ditahan di penjara-penjara kecil di sekitar Casino.
Kegiatan masyarakat Indonesia di Australia, baik pelaut yang bekerja di kapal-kapal Belanda, maupun pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang bekerja pada instansi pemerintah Hindia Belanda sebagai serdadu atau pegawai sipil, serta bekas pejuang Indonesia yang dibuang ke Digul dan di masa perang diungsikan Belanda ke Australia dan lain-lain, semuanya ikut berjasa membela negara proklamasi bersama-sama orang-orang Australia yang mempunyai simpati besar terhadap Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment