Translate

Saturday, May 23, 2015

PERANG KOLONIAL TAK MENCAPAI SASARAN (. . . BAGIAN 2)

Tapi belum lagi kering tinta penandatanganan Persetujuan Renville, perang tafsiran dan tuduh-menuduh antara Republik Indonesia dan Belanda sudah berkecamuk. Pasal-pasal kepentingan Republik Indonesia lenyap bagaikan embun di siang hari. Soal plebisit buntu, karena Belanda menuntut plebisit diadakan juga di daerah Republik. Rencana masa peralihan gagal, karena Belanda menuntu penghapusan Tentara Nasional Indonesia dan hubungan luar negeri Republik Indonesia harus selaku negara bagian. Belanda memperketat blokade terhadap Republik Indonesia untuk mencegah perdagangan luar negeri.

Belanda menggunakan segala tipu muslihat untuk memperkuat kedudukannya dan tidak segan-segan menggunakan persetujuan politik untuk menyempurnakan hasil-hasil agresi militernya. Sedangkan Republik Indonesia mengharapkan Persetujuan Renville sebagai alat untuk menguasai kembali daerah-daerah yang direbut Belanda dan juga mengharapkan bahwa hal itu akan melonggarkan blokade yang mencekik leher. Pasal-pasal Renville tersebut ternyata hanya di atas kertas belaka. Perang tafsir dan tuduh-menuduh itu akhirnya berubah menjadi perang militer yang dilancarkan pada 19 Desember 1948 dan dikenal sebagai Aksi Militer Belanda Kedua.

Menurut McT. Kahin, kebijakan Belanda di Indonesia mempunyai tiga sasaran. Pertama, menuntuu agar menggunakan kekuatan militer yang cukup untuk menghancurkan Republik Indonesia dan melebur angkatan bersenjata. Kedua, menuntu afar dilakukan rencana divide and rule yang dilancarkan dalam bentuk indirect rule lewat 15 atau 20 negara (boneka) yang akan menjadi bagian Negara Indonesia Serikat. Ketiga, menuntut dukungan Internasional terhadap rencana ini, melalui penyerahan kedaulatan kepada pemerintah federal Indonesia yang dikuasainya secara tidak langsung.

Sedangkan A.M Taylor menulis :
"Pemerintah Belanda bersedia mengadakan perundingan hanya atas syaratnya sendiri dan dengan penuh tekad melancarkan kebijakan untuk meniadakan kekuasaan Republik dalam Negara Indonesia Serikat yang akan datang."

Taylor menyimpulkan penilaiannya mengenai usul balasan Belanda dalam kata-kata sebagai berikut :
"Usul balasan Belanda menuntut likuidasi Republik Indonesia secara bertahap sebagai kesatuan politik di masa beroperasainya pemerintah sementara Indonesia dan tempatnya digantikan oleh kira-kira sebelas daerah-daerah federal dari Negara Indonesia Serikat."

Berhubungan pada perang kolonial pertama Belanda belum mencapai sasaran untuk menghancurkan Republik Indoensia dengan menduduki Yogyakarta, maka tujuan itu ingin dicapainya dalam perang kolonial kedua yang dilancarkan sesudah melanggar Persetujuan Renville. Sasaran itu memang dapat dicapai setelah secara militer menduduki ibukota yang dianggapnya pest-haard (sumber segala kejahatan) dan menawan hampir seluruh pimpinan pemerintah Republik Indonesia yang dianggap "pengkhianat" dan dengan demikian telah menghapus Republik Indonesia yang dianggapnya "penghalang utama".

Mantan Perdana Menteri Dr. L.J.M Beel, yang menjadi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, menggantikan Letnan Gubernur Jenderal H.J Van Mook, adalah salah seorang tokoh Belanda yang sangat keras keinginannya untuk melenyapkan Republik Indonesia dan membentuk Negara Indonesia Serikat tanpa Republik Indonesia. Untuk menggantikan Republik, akan dibentuk Negara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai Kepala Negara Jawa Tengah ia mencalonkan Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta. Seperti diketahui, Sri Sultan tetap setia kepada Republik Indonesia, bahkan memimpin perjuangan Republik Indonesia di Yogyakarta dan tidak pernah bersedia menerima utusan Belanda yang datang di Yogyakarta untuk menemuinya.

Dr. Beel uang didukung Mr. C. P. F. Romme, Ketua Partai Rakyat Katolik Belanda, merupakan otak dan motor semua pemaksaan penyerangan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, dengan kekuatan militer hampir 140.000 orang termasuk 63.000 tentara KNIL.

Saat memulai penyerangan 19 Desember 1948 itu pun ditentukan tepat satu hari sesudah Dewan Keaman Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris memulai resesnya. Menurut perhitungan Belanda, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah akan dihadapkan dengan satu fait accompli, Republik Indonesia sudah lenyap dari bumi Indonesia.

Apa yang terjadi setelah serangan Belanda kedua kalinya? Memang Belanda berhasil menduduki ibukota dan menawan pemimpin pemerintah. Dr. Beel dengan bangga memberitahukan pemerintahnya bahwa Republik Indonesia telah tamat riwayatnya. Tetapi dalam kenyataannya Republik Indonesia tidak menyerah seperti yang diharapkan Belanda. Segera setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Pemerintah Darurat Republik Indonesia melanjutkan pemerintahan dari Sumatera. Menteri Luar Negeri ad interim Mr. A.A. Maramis dengan izin pemerintah India terus beroperasi di New Delhi dan semua perwakilan Republik Indonesia di luar negeri bekerja lembur tidak kenal lelah. Dan yang lebih hebat lagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman terus menerus meningkat perang gerilya dari pedalaman, walaupun dia ketika itu sedang sakit dan ditandu kemana-mana.

- SELESAI.

PERANG KOLONIAL TAK MENCAPAI SASARAN (. . . BAGIAN 1)

Perang kolonial pertama Belanda terhadap Republik berakhir dengan sangat tidak memuaskan Belanda. Rencananya untuk menduduki Yogyakarta tidak berhasil berkat intervensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Belanda dapat menguasai daerah-daerah tenpat perkebunan besar milik Belanda, sehingga dapat menarik keuntungan dari penghasilan perkebunan-perkebunan itu dan menyelamatkan diri dari kebangkrutan sementara. Namun Panglima tentara Belanda Jenderal Spoor mengatakan bahwa :
"Kekuasaan Belanda di daerah-daerah yang didudukinya, berdiri atas dasar yang sangat goyah."

Belanda menyebut perang kolonialnya sebagai "Aksi Kepolisian" Mr. J. A. Jonkman, Menteri Daerah Seberang Lautan belanda, yang di zaman penjajahan pernah menjadi ketua Volksraad, memberi penilaiannya mengenai hasil yang mereka sebut "Aksi Kepolisian" itu sebagai berikut :
"'Aksi Kepolisian' itu tetap dianggap sebagai peperangan di mata dunia dan di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian usaha untuk menggambarkan bahwa peperangan itu suatu Aksi Kepolisian untuk mengembalikan keamanan dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari teror dan ancaman kekerasan oleh Republik, gagal sama sekali."

Namun Belanda masih belum menerima Republik sebagai faktor politik yang mutlak dalam upaya mencari mencari penyelesaian masalah tata negara di Indonesia. Belanda tetap meneruskan keinginannya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan semula, yaitu pembentukan Negara Indonesia Serikat yang tergabung dengan Belanda dalam suatu Uni Belanda-Indonesia.
Untuk itu Republik harus dipaksa menerima konsep Belanda, dan kalai tetap menolaj maka Republik harus dilenyapkan. Oleh karena itu dalam waktu singkat tujuan politik itu tidak tercapai dengan cara militer, maka perlu dilakukan politik pecah belah, dengan membentuk "negara-negara" di berbagai daerah Indonesia yang semuanya nanti menjadi negara bagian dari Negara Indonesia Serikat. Republik nanti hanya merupakan satu dari sekian banyak negara bagian. Dengan demikian kedudukan Republik menjadi tidak begitu penting lagi dalam susunan Negara Indonesia yang akan datang. Dalam keadaan demikian maka gabungan Uni Belanda-Indonesia akan lebih kokoh. Jika Republik tetap tidak mau, Republik harus dihapuskan dari bumi Indonesia atau dibentuk Negara Indonesia Serikat tanpa Republik. Demikian impian atau khayalan Belanda.

Karena Belanda tidak dapat membangkang terhadap keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda terpaksa menangguhkan niatnya untuk segera melaksanakan rencananya itu, dan mengambil keputusan untuk kembali ke meja perundingan dengan segala keengganan. Atas desakan Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhirnya Belanda menandatangani persetujuan baru dengan Republik Indonesia yang dikenal dengan Persetujuan Renville karena ditandatangani di atas geladak kapal Amerika Serikat yang bernama Renville pada 17 Januari 1948.

(... bersambung ke bagian II)

PERBEDAAN KONTAK DENGAN SEKUTU DAN INDIA

Kontak dengan India tidak dapat disamakan dengan kontak Sekutu yang pada hakikatnya terpaksa menghubungi Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya. Kedatangan Sekutu membuka pintu bagi Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia. Sedangkan kontak dengan India didasarkan pada hubungan baik yang telah tertanam sejak lama, dan keberadaannya di Indonesia adalah untuk membantu Republik Indonesia dalam menghadapi Belanda. Walaupun misalnya India mempunyai Konsulat Jenderal di Jakarta, namun hal itu tidak menghalangi Nehru untuk menunjuk seorang wakil politik di Yogyakarta (tempat kedudukan resmi Pemerintah Republik Indonesia) bernama Yunus yang bertindak sebagai penghubung langsung antara India dan Republik Indonesia.

Melalui perwakilan politik India itu tidak sedikit bantuan yang dapat disalurkan baik berupa obat-obatan, sandang dan sebagainya untuk membantu dan meringankan penderitaan Indonesia. Bantuan-bantuan itu tidak ternilai harganya terutama karena diberikan kepada Indonesia dalam keadaan gawat yang ditimbulkan oleh blokade Belanda sesudah Aksi Militer Pertama. Perwakilan politik India di Yogyakarta itu pada kenyataannya adalah "kantor pos" yang dipergunakan oleh pembesar-pembesar Indonesia untuk mengirimkan pesan-pesan penting kepada perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri.

All India Radio mengadakan siaran dalam bahasa Indonesia. Meskipun siaran itu semata-mata untuk kepentingan India sendiri, namun menurut Aboe Bakar Loebis, ini tidak berarti bahwa program bahasa Indonesia itu tidak ada gunanya bagi kita. Siaran itu tetap berguna, setidak-tidaknya pendengar di tanah air dapat mendengarkan berita-berita dunia, juga yang menyangkut Indonesia dan perjuangannya dalam bentuk warta berita. Umpamanya berita bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengadakan sidangnya mengenai Indonesia mungkin tertangkap dari All India Radio.

Dalam pidatonya di depan Badan Legislatif Pusat India, Nehru mengatakan antara lain mengenai Indonesia bahwa :
"Kita menginginkan mereka mencapai kemenangan dan menegakkan kemerdekaan di Indonesia dan kita akan membantu dan mendukung setiap segi perjuangan mereka. Kita belum mengakui Republik Indonesia menurut pengertian formal sebagai bangsa-bangsa lain, tetapi di dalam prakteknya kita mengakui Republik itu."
 
Dalam perkembangan selanjutnya Nehru benar-benar konsekuen. Setiap ucapannya itu didukung tindakan-tindakan nyata yang dilaksanakan dengan segala kesungguhan, bahkan dianggap apa yang dilakukan Nehru melebihi tindakan suatu negara yang mengakui Indonesia de jure. Apa yang dijanjikan kepada Mohammad Hatta ketika menemuinya di New Delhi, satu persatu pada waktunya dipenuhi.
Dugaan pemimpin Indonesia mengenai kepemimpinan serangan Belanda ternyata tidak meleset. Tidak lama sesudah Mohammad Hatta kembali dari India, Belanda pada 22 Juli 1947 melancarkan agresi pertama. Pada 22 Juli 1947 Soetan Sjahrir terbang ke New Delhi utnuk mengadakan konsultasi dengan Nehru dan dua haru kemudian Nehru muncul dengan keterangan yang mencaci keras tindakan Belanda seperti berikut :
"Apa jadinya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa? Semangat baru Asia tidak dapat menerima keadaan demikian. Tidak ada negara Barat, apa pun kedudukannya yang berhak menggunakan tentaranya melawan rakyat Asia. Apabila hal itu terjadi, Asia tidak akan dapat membiarkannya."
 
Pernyataan tersebut bukan sekedar gertak sambal belaka. Pada 28 Juli 1947, Nehru mengemukakan rencana India utnuk membawa sengketa Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Pasal 34 dari Piagam tersebut. Tindakan India itu disusul oleh Australia dua hari kemudian berdasarkan Pasal 39 dari Piagam tersebut. Masalah Indonesia dibicarakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Agustus 1947.
Diterimanya sengketa Indonesia dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah hal yang tak dapat disangkal sebagai kekalahan besar bagi Belanda, sebaliknya merupakan satu kemenangan besar bagi Republik Indonesia. Sengketa Indonesia-Belanda yang dianggap Belanda selama itu sebagai masalah dalam negerinya mendadak menjadi masalah dunia. Sejak hari itu pembicaraan atau perundingan sengketa Indonesia-Belanda berada di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ternyata sangat mendesak kedudukan Belanda.

Hal itu tercermin dari buku catatan harian Dr. W. Schermerhorn, yang waktu itu anggota perunding Belanda, yang kemudian diterbitkan oleh Dr. Smit dengan nama Het Linggajati Accoord. Dalam buku itu diuraikan bahwa van Mook - setelah Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Agustus 1947, yang memerintahkan kedua pihak supaya mengadakan gencatan senjata- tidak merasa puas, karena agresi militer yang dilancarkannya tidak mencapai sasaran pokok, yaitu pendudukan Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Oleh karena itu, Dr. Van Mook mendesak dengan segala upaya agar pasukan Belanda diizinkan menuju Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik Indonesia itu. Permintaannya itu tidak dikabulkan dan van Kleffens, wakil Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengirimkan kawat kepada pemerintahannya di Den Haag :
"Apabila kita meneruskan operasi militer terhadap Republik Indonesia, dalam keadaan telah menerima gencatan senjata, sanksi pasti akan dikenakan terhadap kita. Kita tidak dapat membangkang terhadap sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping kehilangan muka, kita akan kalah perjuangan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tambah lagi dunia akan membuat cerita kemenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang (pada gilirannya) akan menggunakan setiap kesempatan untuk melakukan sanksi jika perlu."

Sunday, May 17, 2015

KUNJUNGAN INCOGNITO MOHAMMAD HATTA KE INDIA (. . . BAGIAN II)

. . . lanjutan

"Pada hari kedua, kira-kira jam 8.30 Patnaik telah datang dan memberitahukan kepadaku bahwa ia telah bicara dengan Nehru via telepon, dan Nehru menunggu kedatanganku jam 10 pagi. Sambil menunggu waktu akan berangkat ke rumah Nehru, kami bertukar pikiran tentang politik Inggris selama ini. Patnaik banyak pengalamannya dan aku banyak mengetahui politik kemerdekaan India dari buku-buku yang ku baca, antara lain buku memoar Nehru sendiri, yang dikirimkannya kepadaku, waktu aku masih dalam interniran Pemerintahan Hinda Belanda di Banda Naira."

"Setelah datang waktunya untuk berangkat ke rumah Nehru, kami berangkat dan sampai di rumahnya tepat pada waktu yang dijanjikan. Setelah kira-kira lima menit kami bertiga berbicara tentang hal-hal biasa saja, Nehru mengatakan kepada Patnaik supaya ia menunggu di kamar sebelah sebab dia dan aku akan bertukar pikiran secara empat mata. Nehru bertanya tentang apakah yang hendak ku kemukakan kepadanya. Aku menanyakan dapatkah India membantu Republik Indonesia dengan senjata, sebab ada tanda-tanda bahwa pemerintah Belanda akan menyerbu daerah Republik Indonesia."

"Nehru menjawab, bahwa masalah senjata itu sampai beberapa waktu lagi masih di tangan Inggris. Sebab itu India belum dapat membantu Republik Indonesia dengan senjata. India baru dapat membantu Indonesia dengan protes dan mengundang beberapa negara lain bersidang di India, mengadakan resolusi dan protes kepada United Nations, supaya tindakan Belanda itu dihukum. Protes itu tida kdapat diabaikan oleh Belanda. Bagaimanapun juga nama Republik Indonesia dipuji oleh seluruh dunia dan tindakan Belanda dicela secara gengsinya akan jatuh di dunia internasional. Sekalipun Republik Indonesia menderita, kena pukulan yang hebat, tetapi Republik Indonesia yang sudah ada tidak dapat dihilangkan dari peta dunia. Mungkin daerah Republik Indonesia akan diduduki sementara oleh Belanda, tetapi berdasarkan Persetujuan Linggajati seluruh daerah Indonesia pasti akan merdeka. Kalau betul Belanda akan bertindak terhadap Republik Indonesia, tindakan itu merugikan Belanda sendiri. Namanya akan jatuh di mata internasional. Amerika Serikat akan menghentikan bantuan kepada Belanda. Ya, kata Nehru, Republik Indonesia akan menderita kena pukulan pertama, tetapi pukulan itu mengangkat derajat Republik Indonesia untuk selama-lamanya."

"Aku menyesal India tidak dapat segera membantu Republik Indonesia dengan senjata, tetapi aku setuju dengan pandangan Nehru, bahwa pukulan Belanda itu akan menaikkan derajat Republik Indonesia di dunia dan di masa mendatang."

Sesudah Mohammad Hatta kembali, tersiar berita di media massa bahwa India akan membawa masalah Indonesia itu ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah kunjungan rahasia Mohammad Hatta ke New Delhi.

Monday, May 11, 2015

KUNJUNGAN INCOGNITO MOHAMMAD HATTA KE INDIA (. . .BAGIAN I)

India ternyata menjadi sahabat Indonesia yang dapat diandalkan di saat Indonesia sangat membutuhkan bantuan. Ketika hubungan Indonesia-Belanda menjadi genting terutama dalam masa setelah kedua negara menghadapi jalan buntu sesudah penandatanganan Persetujuan Linggajati, Indonesia pertama melihat ke India. Mohammad Hatta yang waktu itu berada di Bukit Tinggi diminta Presiden Soekarno dan Soetan Sjahrir untuk diam-diam terbang ke New Delhi mencari dukungan pemerintah India, hal yang segera dilakukannya dengan menumpang pesawat pribadi B. Patnaik seorang industrialis dan dermawan India. Kunjungan Mohammad Hatta ke India itu penuh dengan segala macam resiko dan harus sangat dirahasiakan. Oleh karena itu Hatta berangkat sebagai co-pilot dengan nama samaran Abdullah.

Meminjam kata Mohammad Hatta :
"Bung Karno menerangkan kepada pilot Patnaik agar membawa aku kepada Nehru, membicarakan dengan Nehru apakah India dapat membantu Indonesia, sebab Belanda sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke daerah Republik Indonesia, dengan mengadakan interpretasi lain terhadap persetujuan Linggajati."

"Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussel tahun 1927 dalam organisasi Liga menentang penjajahan dan untuk kemerdekaan nasional. Sesudah singgah semalam di Kuala Lumpur, tiga hari pula di Rangoon dan stop over di Kalkutta kira-kira jam sembilan malam rombongan sampai di New Delhi."

"Atas anjuran Dr. Sudarsono yang menjadi wakil Republik Indonesia di New Delhi, dari lapangan terbang kami langsung pergi ke Constitution Hall. Constitution Hall itu dibuat oleh tentara Amerika Serikat, waktu mereka dikirim ke India untuk ikut mempertahankan India terhadap Jepang. Setelah Perang Dunia II selesai mereka kembali ke Amerika dan gedung itu dipergunakan sementara oleh Pemerintah India yang baru lahir sebagai gedung tempat Pemerintah merencanakan dan membuat Undang-Undang Dasar mereka dan dinamakan Constitution Hall. Setelah Gedung Parlemen mereka selesai, mereka pindah ke sana dan Gedung Constitution Hall dipergunakan untuk gedung tempat menerima tamu-tamu."

"Pagi-pagi keesokan harinya menurut ukuran India jam 7 aku bangun dan terus mandi. Jam 8 pagi aku sudah mulai sarapan pagi, 8.30 aku sudah selesai... Aku menunggu Patnaik untuk membawa aku pergi ke rumah Nehru. Di waktu itu ia menempati sebuah rumah, yang mulanya tempat kediaman Panglima Tentara Inggris yang berkuasa di India... Waktu aku datang di India peralihan kekuasaan belum selesai. Nehru menjadi Perdana Menteri, tetapi angkatan perang belum selesai diserahkan sama sekali."

"Nehru tidak tahu aku sudah berada di India. Di waktu aku sampai dirumahnya, Patnaik memberitahukan bahwa ada seorang tamu dari Indonesia bernama Abdullah yang akan menyampaikan suatu pesan. Waktu Nehru keluar akan melihat aku, ia marah kepada Patnaik. Mohammad Hatta yang ada disini, mengapa kau katakan bahwa seorang Abdullah yang tidak terkenal."

"Nehru dan aku berpeluk-pelukan dan dimintanya aku tinggal di rumahnya. Aku menolak tinggal di rumahnya berhubung perjalananku dirahasiakan. Aku mengatakan, apabila aku tinggal dirumahnya sebentar saja orang sudah tahu dan rahasia itu sudah terbuka. Aku mengatakan, bahwa aku ingin membicarakan sesuatu hal uang penting bagi Indonesia dengan dia. Ia menjawab supaya aku kembali esok hari, sebab hari itu ia harus menghadiri sidang kabinet yang sudah ditentukan terlebih dahulu."

. . .bersambung ke bagian II.