Translate

Saturday, May 23, 2015

PERBEDAAN KONTAK DENGAN SEKUTU DAN INDIA

Kontak dengan India tidak dapat disamakan dengan kontak Sekutu yang pada hakikatnya terpaksa menghubungi Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya. Kedatangan Sekutu membuka pintu bagi Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia. Sedangkan kontak dengan India didasarkan pada hubungan baik yang telah tertanam sejak lama, dan keberadaannya di Indonesia adalah untuk membantu Republik Indonesia dalam menghadapi Belanda. Walaupun misalnya India mempunyai Konsulat Jenderal di Jakarta, namun hal itu tidak menghalangi Nehru untuk menunjuk seorang wakil politik di Yogyakarta (tempat kedudukan resmi Pemerintah Republik Indonesia) bernama Yunus yang bertindak sebagai penghubung langsung antara India dan Republik Indonesia.

Melalui perwakilan politik India itu tidak sedikit bantuan yang dapat disalurkan baik berupa obat-obatan, sandang dan sebagainya untuk membantu dan meringankan penderitaan Indonesia. Bantuan-bantuan itu tidak ternilai harganya terutama karena diberikan kepada Indonesia dalam keadaan gawat yang ditimbulkan oleh blokade Belanda sesudah Aksi Militer Pertama. Perwakilan politik India di Yogyakarta itu pada kenyataannya adalah "kantor pos" yang dipergunakan oleh pembesar-pembesar Indonesia untuk mengirimkan pesan-pesan penting kepada perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri.

All India Radio mengadakan siaran dalam bahasa Indonesia. Meskipun siaran itu semata-mata untuk kepentingan India sendiri, namun menurut Aboe Bakar Loebis, ini tidak berarti bahwa program bahasa Indonesia itu tidak ada gunanya bagi kita. Siaran itu tetap berguna, setidak-tidaknya pendengar di tanah air dapat mendengarkan berita-berita dunia, juga yang menyangkut Indonesia dan perjuangannya dalam bentuk warta berita. Umpamanya berita bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengadakan sidangnya mengenai Indonesia mungkin tertangkap dari All India Radio.

Dalam pidatonya di depan Badan Legislatif Pusat India, Nehru mengatakan antara lain mengenai Indonesia bahwa :
"Kita menginginkan mereka mencapai kemenangan dan menegakkan kemerdekaan di Indonesia dan kita akan membantu dan mendukung setiap segi perjuangan mereka. Kita belum mengakui Republik Indonesia menurut pengertian formal sebagai bangsa-bangsa lain, tetapi di dalam prakteknya kita mengakui Republik itu."
 
Dalam perkembangan selanjutnya Nehru benar-benar konsekuen. Setiap ucapannya itu didukung tindakan-tindakan nyata yang dilaksanakan dengan segala kesungguhan, bahkan dianggap apa yang dilakukan Nehru melebihi tindakan suatu negara yang mengakui Indonesia de jure. Apa yang dijanjikan kepada Mohammad Hatta ketika menemuinya di New Delhi, satu persatu pada waktunya dipenuhi.
Dugaan pemimpin Indonesia mengenai kepemimpinan serangan Belanda ternyata tidak meleset. Tidak lama sesudah Mohammad Hatta kembali dari India, Belanda pada 22 Juli 1947 melancarkan agresi pertama. Pada 22 Juli 1947 Soetan Sjahrir terbang ke New Delhi utnuk mengadakan konsultasi dengan Nehru dan dua haru kemudian Nehru muncul dengan keterangan yang mencaci keras tindakan Belanda seperti berikut :
"Apa jadinya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa? Semangat baru Asia tidak dapat menerima keadaan demikian. Tidak ada negara Barat, apa pun kedudukannya yang berhak menggunakan tentaranya melawan rakyat Asia. Apabila hal itu terjadi, Asia tidak akan dapat membiarkannya."
 
Pernyataan tersebut bukan sekedar gertak sambal belaka. Pada 28 Juli 1947, Nehru mengemukakan rencana India utnuk membawa sengketa Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Pasal 34 dari Piagam tersebut. Tindakan India itu disusul oleh Australia dua hari kemudian berdasarkan Pasal 39 dari Piagam tersebut. Masalah Indonesia dibicarakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Agustus 1947.
Diterimanya sengketa Indonesia dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah hal yang tak dapat disangkal sebagai kekalahan besar bagi Belanda, sebaliknya merupakan satu kemenangan besar bagi Republik Indonesia. Sengketa Indonesia-Belanda yang dianggap Belanda selama itu sebagai masalah dalam negerinya mendadak menjadi masalah dunia. Sejak hari itu pembicaraan atau perundingan sengketa Indonesia-Belanda berada di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ternyata sangat mendesak kedudukan Belanda.

Hal itu tercermin dari buku catatan harian Dr. W. Schermerhorn, yang waktu itu anggota perunding Belanda, yang kemudian diterbitkan oleh Dr. Smit dengan nama Het Linggajati Accoord. Dalam buku itu diuraikan bahwa van Mook - setelah Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Agustus 1947, yang memerintahkan kedua pihak supaya mengadakan gencatan senjata- tidak merasa puas, karena agresi militer yang dilancarkannya tidak mencapai sasaran pokok, yaitu pendudukan Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Oleh karena itu, Dr. Van Mook mendesak dengan segala upaya agar pasukan Belanda diizinkan menuju Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik Indonesia itu. Permintaannya itu tidak dikabulkan dan van Kleffens, wakil Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengirimkan kawat kepada pemerintahannya di Den Haag :
"Apabila kita meneruskan operasi militer terhadap Republik Indonesia, dalam keadaan telah menerima gencatan senjata, sanksi pasti akan dikenakan terhadap kita. Kita tidak dapat membangkang terhadap sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping kehilangan muka, kita akan kalah perjuangan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tambah lagi dunia akan membuat cerita kemenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang (pada gilirannya) akan menggunakan setiap kesempatan untuk melakukan sanksi jika perlu."

No comments:

Post a Comment