Perang kolonial pertama Belanda terhadap Republik berakhir dengan sangat tidak memuaskan Belanda. Rencananya untuk menduduki Yogyakarta tidak berhasil berkat intervensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Belanda dapat menguasai daerah-daerah tenpat perkebunan besar milik Belanda, sehingga dapat menarik keuntungan dari penghasilan perkebunan-perkebunan itu dan menyelamatkan diri dari kebangkrutan sementara. Namun Panglima tentara Belanda Jenderal Spoor mengatakan bahwa :
"Kekuasaan Belanda di daerah-daerah yang didudukinya, berdiri atas dasar yang sangat goyah."
Belanda menyebut perang kolonialnya sebagai "Aksi Kepolisian" Mr. J. A. Jonkman, Menteri Daerah Seberang Lautan belanda, yang di zaman penjajahan pernah menjadi ketua Volksraad, memberi penilaiannya mengenai hasil yang mereka sebut "Aksi Kepolisian" itu sebagai berikut :
"'Aksi Kepolisian' itu tetap dianggap sebagai peperangan di mata dunia dan di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian usaha untuk menggambarkan bahwa peperangan itu suatu Aksi Kepolisian untuk mengembalikan keamanan dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari teror dan ancaman kekerasan oleh Republik, gagal sama sekali."
Namun Belanda masih belum menerima Republik sebagai faktor politik yang mutlak dalam upaya mencari mencari penyelesaian masalah tata negara di Indonesia. Belanda tetap meneruskan keinginannya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan semula, yaitu pembentukan Negara Indonesia Serikat yang tergabung dengan Belanda dalam suatu Uni Belanda-Indonesia.
Untuk itu Republik harus dipaksa menerima konsep Belanda, dan kalai tetap menolaj maka Republik harus dilenyapkan. Oleh karena itu dalam waktu singkat tujuan politik itu tidak tercapai dengan cara militer, maka perlu dilakukan politik pecah belah, dengan membentuk "negara-negara" di berbagai daerah Indonesia yang semuanya nanti menjadi negara bagian dari Negara Indonesia Serikat. Republik nanti hanya merupakan satu dari sekian banyak negara bagian. Dengan demikian kedudukan Republik menjadi tidak begitu penting lagi dalam susunan Negara Indonesia yang akan datang. Dalam keadaan demikian maka gabungan Uni Belanda-Indonesia akan lebih kokoh. Jika Republik tetap tidak mau, Republik harus dihapuskan dari bumi Indonesia atau dibentuk Negara Indonesia Serikat tanpa Republik. Demikian impian atau khayalan Belanda.
Karena Belanda tidak dapat membangkang terhadap keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda terpaksa menangguhkan niatnya untuk segera melaksanakan rencananya itu, dan mengambil keputusan untuk kembali ke meja perundingan dengan segala keengganan. Atas desakan Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhirnya Belanda menandatangani persetujuan baru dengan Republik Indonesia yang dikenal dengan Persetujuan Renville karena ditandatangani di atas geladak kapal Amerika Serikat yang bernama Renville pada 17 Januari 1948.
(... bersambung ke bagian II)
No comments:
Post a Comment