Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945 dan menghentikan peperangan mereka melawan Sekutu. Namun pihak Sekutu masih mengkhawatirkan kemungkinan adanya perlawanan oleh pasukan Jepang di beberapa wilayah. Sikap Sekutu yang sangat berhati-hati itu yang mengambil tindakan bijaksana merupakan pedoman yang perlu ditingkatkan mengingat bahwa Jepang masih menduga adanya serbuan pihak Sekutu.
Guna menghindarkan pertumpahan darah serta tindak kekerasan yang tidak perlu terjadi, pemerintah Jepang mengumumkan kembali hal itu melalui siaran radio pada 17 dan 22 Agustus 1945. Selain itu, Kaisar Jepang juga mengirim dua orang utusan yang membawa pesan khusus dari Tenno Heika yang berisi perintah agar pasukan Jepang menghentikan permusuhan dan tembak-menembak. Perintah itu harus dipatuhi. Beberapa pangeran dari Istana Kekaisaran diutus untuk mengunjungi wilayah pertempuran di Cina, Korea dan Asia Selatan.
Dalam hubungan itu, dunia luar tidak pernah mengetahui apakah perintah itu benar-benar diberikan atas nama Tenno Heika. Tetapi, yang jelas Markas Besar Tempur di Saigon pada 18 Agustus 1945 mengeluarkan perintah afar di seluruh front secara serentak menghentikan permusuhan dan tembak-menembak serta memberikan bantuan kepada pendaratan tentara Sekutu. Hal itu merupakan keuntungan bagi para tawanan di kamp interniran karena jika di wilayah itu masih terdapat pasukan yang membangkang sehingga tidak mengindahkan perintah, maka para tawanan perang Sekutu di kamp-kamp akan menjadi korban dan dibantai oleh tentara Jepang.
Pada 18 Agustus 1945 dibentuk RAPWI (Recovery, Repatriation, Relief od Allied Prisoners of War and Internees) oleh Markas Besar SEAC (South East Asia Command) suatu organisasi yang melakukan tugas-tugas berkaitan dengan bekas tawanan perang dan interniran sipil. Anggota RAPWI, yang bertugas merawat dan memelihara para tawanan dan interniran, terbagi dalam regu-regu yang diikutsertakan dengan pasukan pembebasan dan pendudukan Sekutu.
Di daerah yang silit dijangkau melalui darat, dibentuk sejumlah regu kecil RAPWI sebagai gugus depan, kemudian diterjunkan di hutan belukar dari pesawat terbang. Regu ini dilengkapi dengan sarana komunikasi radio sehingga dapat melaporkan lokasi kamp yang mereka temukan dan kemudian dapat dikirimkan bahan pangan dan obat-obatan melalui udara.
Pada bulan Oktober 1945, Belanda juga membentuk RAPWI yang bertujuan untuk membantu penyelesaian para bekas tawanan perang dan interniran sipil di Hindia-Belanda. Namun, sejak semula pembentukan badan tersebut dianggap sudah sangat terlambat sedang persiapannya pun dinilai tidak matang. Mereka juga tidak tahu pasti berapa sebenarnya jumlah bekas tawanan perang Sekutu. Demikian pula mengenai kondisi dan situasi kamp-kamp Jepang di Jawa dan Sumatera.
Hal tersebut diungkapkan oleh Letnan Kolonel Read Collins (yang menangani urusan para interniran di Manila) yang pada bulan September 1945 datang ke Indonesia untuk menyaksikan penyediaan bahan pangan bagi 65.000 penghuni kamp di Jakarta. Keadaannya telah dilaporan di dalam proses persidangan pengadilan militer di Tokyo. Di luar dugaannya semula, dikira bahwa perlakuan yang diterima oleh para tawanan dan interniran itu sama seperti halnya yang dialami oleh tawanan tentara Jepang di kamp-kamp interniran selama perang berlangsung karena perwira tersebut masih terkesan oleh semangat bushido Jepang. Tetapi setelah menyaksikan sendiri kenyataan yang menyedihkan itu, dia mengalami tekanan jiwa.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment