Setelah Sekutu mendarat di Jakarta, misi Sekutu yang dipimpim Mayor A.G. Greenhigh membuat markasnya di Hotel des Indes dan memanggil Mayor Jenderal Yamaguchi dalam suatu rapat yang dihadiri para wakil urusan tawanan perang dan interniran dari berbagai kamp. Panglima Tertinggi Sekutu dalam perintahnya menegaskan bahwa Jepang untuk sementara harus bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban hukum di daerah yang masih mereka kuasai.
Mayor A.G. Greenhigh berkata :
"These orders of the Supreme Commander of the Allied Forces must be carried out by the Japanese, and if it is necessary for them to use force in order to have those orders carried out, they must use force."
Dalam hubunga itu, Inggris masih
khawatir tentang kemungkinan bahwa Jepang merasa kesal karena kalah
perang dan menjadi tawanan sekalipun telah menyatakan menyerah kepada
Sekutu. Mungkin juga mereka merasa masih berkuasa sehingga menganggap
dirinya sebagai satu-satunya kekuatan yang diserahi tugas keamanan dan
tertib hukum.
Di
antara mereka terdapat yang bertindak disiplin dalam melaksanakan
tugasnya secara efektif dan bersikap baik di kamp interniran. Selain
itu, terdapat orang-orang yang secara sukarela menginternir diri sendiri
dan hanya menunggu kedatangan Sekutu untuk memulangkan mereka. Ada pula
yang menyerahkan senjatanya kepada Indonesia sehingga Republik
Indonesia dapat membela diri dan menangkal tantangan Belanda dan Sekutu.
Keputusan
Sekutu bahwa tentara Jepang untuk sementara menunggu kedatangan Sekutu
untuk dilucuti senjatanya dan kemudian diangkut pulang ke negerinya.
Namun kedatangan Sekutu yang tidak pasti telah menimbulkan kekecewaan
para interniran di kamp-kamp pedalaman Indonesia. Van der Plas sebagai wakil Van Mook harus
menenangkan suasana dan rasa kecewa di kalangan interniran dalam
kamp-kamp yang sebagian besar terdiri dari orang Belanda dan keturunan
Indo Belanda.
Van der Plas yang
kelahiran Bogor dan terkenal sebagai ahli masalah Indonesia, mengaku
sangat menyukai Indonesia. Ia datang ke Indonesia, bersama Laksamana Patterson dengan Kapal HMS Cumberland. Walaupun berita tersebut telah mengecewakan penguni kamp, namun kedatangan Van der Plas tetap mendapat sambutan dari teman dan rekan lamanya.
Sebenarnya persoalan Indonesia bukan lagi masalah lama dan bukan pola masyarakat yang dikenal oleh Van der Plas
pada zaman Hindia-Belanda dulu. Perkembangannya telah berubah akibat
Perang Dunia II dan pengaruh pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia
menyaksikan sendiri bahwa pemerintah Belanda telah kalah perang dan
melarikan diri. Kemudian Belanda juga tidak mampu menyelesaikan masalah
baru itu untuk memperoleh kembali bekas jajahannya dengan kekuatan
sendiri. Belanda membutuhkan bantuan dari Sekutu untuk mengambil alih
wilayahnya dan daerah bekas jajahannya yang kelak akan ditinggalkan oleh
Sekutu.
Perubahan
situasi itu telah mengejutkan mereka yang pernah hidup dalam zaman
penjajahan Belanda. Sebagai contoh, kota Bandung yang letaknya
ditengah-tengah provinsi Jawa Barat sekitar 170 km dari Jakarta, dikenal
sebagai tempat yang ideal untuk bermukim. Pada zaman pendudukan Jepang
terdapat banyak interniran dalam kamp-kamp di kota itu.
David Wehl dalam
bukunya mengungkapkan bahwa seusai perang dan setelah Jepang dinyatakan
kalah maka orang-orang Belanda merasa terganggu oleh sikap dan tindakan
para pemuda Indonesia. Lapangan udara berada di bawah kekuasaan para
pemuda Indonesia tetapi tentara Jepang berupaya untuk merebut kembali
dan mempertahankan hingga kedatangan Brigade ke-37 Sekutu (17 Oktober
1945). Di daerah lain di Indonesia, banyak senjata dan amunisi milik
Jepang jatuh ke tangan Republik Indonesia. Misalnya di Surabaya,
peralatan jatuh ke tangan para pemuda Indonesia yang kemudian digunakan
untuk melawan Sekutu.
Mayor Jenderal E.C. Mansergh OBE MC, Komandan tentara Inggris di Surabaya |
Pertempuran Surabaya (10 November 1945) adalah salah satu contoh perlawanan terhadap Brigade ke-39 Sekutu yang telah mengakibatkan terhentinya operasi RAPWI. Peristiwa itu telah membuat masalah pelaksanaan angkutan APWI di Jakarta dan dibicarakan antara Markas Besar Sekutu dengan Markas Besar Tentara Republik Indonesia. Setelah itu, didirikan organisasi POPDA guna melaksanakan pengangkutan bekas tawanan dan interniran Sekutu dari daerah pedalaman di Jawa Timur dan Jawa Tengah ke Jakarta yang dimulai 24 April 1946 oleh pihak Indonesia.
No comments:
Post a Comment